
Ada tiga tipe wanita yang tidak bisa dilamar. Pertama, perempuan yang tidak boleh menikah. Kedua, wanita yang sedang dalam masa iddah. Ketiga, wanita yang pernah didakwahi orang lain.
1. Wanita yang Haram Dinikahi
Yakni, wanita-wanita yang haram dinikahi, baik haram selama-lamanya maupun haram sementara. Sebab, khitbah merupakan usaha pendahuluan menuju pernikahan. Selama pernikahan itu dilarang, maka khitbah pun juga dilarang.
2. Wanita yang sedang dalam masa Iddah
Meski ia masuk dalam keumuman wanita-wanita yang diharamkan sementara waktu, hanya saja ia memiliki hukum dan perincian yang lebih khusus. Maka, hukum khitbah ter- hadap wanita semacam ini akan berbeda sesuai dengan perbedaan kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddah tersebut. Sedangkan, wanita-wanita yang sedang dalam masa iddah tidak akan terlepas dari kondisi-kondisi berikut ini:
a. Wanita dalam Masa Iddah Karena Kematian Suaminya
Ia tidak boleh dilamar oleh seorang laki-laki secara te- rang-terangan, seperti dengan mengatakan, ‘Aku ingin me- nikahimu’ atau ‘Jika masa iddahmu telah selesai, aku akan menikahimu.’ Para ulama telah bersepakat mengenai keha- raman khitbah semacam ini. Akan tetapi, seorang pria boleh mengungkapkan keinginan untuk melamar wanita tersebut tanpa terang-terangan (sindiran).
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِه مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاۤءِ اَوْ اَكْنَنْتُمْ فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ وَلٰكِنْ لَّا تُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا اِلَّآ اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ەۗ وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَه ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu atas kata sindiran untuk meminang perempuan-perempuan atau (keinginan menikah) yang kamu sembunyikan dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Akan tetapi, janganlah kamu berjanji secara diam-diam untuk (menikahi) mereka, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata yang patut (sindiran). Jangan pulalah kamu menetapkan akad nikah sebelum berakhirnya masa idah. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka, takutlah kepada-Nya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”. (QS. Al-Baqarah :235 )
Alasan lainnya adalah jika pihak yang melamar menyatakan lamarannya secara terbuka, dan wanita yang dilamarnya benar-benar menyukainya, maka tidak menutup kemungkinan wanita tersebut akan berbohong tentang berakhirnya masa iddahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu Al-Fatawa, XXXII: 8, “Barangsiapa melakukan hal tersebut (yakni meminang secara terang-terangan kepada wanita yang sedang iddah), maka ia berhak mendapatkan hukuman yang dapat mencegah dirinya dan juga orang-orang semisalnya dari perbuatan tersebut. Laki-laki peminang maupun wanita yang dipinang harus diberi hukuman. Laki-laki tersebut dilarang menikah dengannya sebagai hukuman bagi dirinya, yaitu de- ngan membatalkan keinginannya.”
B. Wanita di Masa Iddah Karena Talaq Raj’i
Wanita seperti ini tidak boleh dilamar secara terbuka. Juga tidak diperbolehkan mengutarakan lamaran yang mengandung sindiran kepadanya karena masih dalam masa iddah akibat talak raj’i. Artinya, wanita tersebut tetap bisa kembali menikah dengan cara ruju’. Artinya, perempuan tersebut masih dalam perlindungan suaminya, dan suami tetap berhak merujuk padanya.
Bahkan Allah pun menamai wanita-wanita yang sedang menjalani Iddah karena talak raj’i dengan istilah istri (zaujah), sebagaimana firman-Nya:
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ ذٰلِكَ يُوْعَظُ بِه مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ ذٰلِكُمْ اَزْكٰى لَكُمْ وَاَطْهَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Apabila kamu (sudah) menceraikan istri(-mu) lalu telah sampai (habis) masa idahnya, janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan (calon) suaminya70) apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang patut. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hal itu lebih bersih bagi (jiwa)-mu dan lebih suci (bagi kehormatanmu). Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)
Walhasil pernikahan yang pertama itu masih tetap berlaku, sementara itu mengungkapkan keinginan meminang dengan sindiran pada waktu itu dianggap sebagai kejahatan istri terhadap suaminya.
Mengekspresikan keinginan untuk melamar, baik secara sinis maupun terang-terangan kepada wanita yang sedang dalam proses iddah karena talak raj’i, terkadang akan menyebabkan wanita tersebut berbohong tentang berakhirnya masa iddahnya, sebagai balas dendam dan keinginan untuk berpisah. . Berdasarkan hal tersebut, para fiqih telah menyepakati larangan berpacaran dengan wanita yang sedang menjalani iddah talaq raj’i.
C. Wanita Masa Iddah dari Talaq Ba’in
Mengusulkan wanita seperti ini secara terang-terangan tidak diperbolehkan, menurut konsensus para ulama. Namun mereka berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya melamar dengan sarkasme (terang-terangan).
Pendapat Pertama: Boleh melamarnya dengan sarkasme. Inilah pendapat mayoritas ulama mazhab Maliki, Hanbali, dan Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling populer di kalangan mereka. Dalil dan argumen mereka adalah; pertama, keumuman firman Allah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah [2]: 235,
Kedua, hadits riwayat Muslim dari Fatimah binti Qais, bahwa ketika suaminya menceraikannya dengan talak tiga, Nabi bersabda kepadanya, “Selesaikan masa iddahmu di rumah Ibnu Ummu Maktum. orangnya, supaya kamu boleh melepas bajumu. Dan jika masa iddahmu sudah habis, mintalah izin kepadaku.”
Dalam riwayat lain disebutkan, Jangan utamakan aku sebelum orang lain untukmu.’ Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud beliau menggunakan pepatah, Jangan lupakan aku. 10) Imam Nawawi berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil diperbolehkannya melamar dengan sindiran kepada wanita diceraikan ba’in. Dan itu adalah pendapat yang sah menurut kami.”
Ketiga, wanita seperti ini tidak boleh rujuk kepada laki laki yang telah menalaknya, layaknya seorang wanita yang sedang iddah karena kematian suaminya untuk kembali ke pada suaminya. Jadi, keduanya berada dalam satu makna. Dan ini berbeda dengan kondisi seorang wanita yang sedang iddah karena talak raj’i.
Pendapat Kedua: Tidak boleh dakwah, walaupun dengan sarkasme. Demikian pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i. Adapun argumentasi dan argumen mereka adalah:
Pertama, nash yang membolehkan khutbah yang mengandung sindiran sebagaimana terdapat pada ayat tersebut, hanya diperuntukkan bagi wanita yang sedang melakukan iddah karena meninggalnya suaminya. Jadi, hukum ini tidak bisa diterapkan pada wanita yang menjalani iddah selain itu. Kedua, melamar istri orang dengan cara menyindir terkadang menyakiti hati suami yang menolaknya sehingga berubah menjadi permusuhan. Pendapat yang lebih kuat adalah khotbah yang mengandung sarkasme diperbolehkan berdasarkan hadis Fatimah binti Qais.
d. Wanita dalam Masa Iddah Karena Pernikahan yang Rusak atau Batal
Misalnya, wanita yang sedang iddah karena li’an, murtad tad, wanita yang sedang istilma lantaran perzinaan, berpisah karena suatu aib atau karena lemah syahwat dari semacam itu. Jumhur ulama para penganut madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, dan mayoritas pengikut madzhab Hanafi berpen- dapat bahwa khitbah dengan sindiran kepada wanita-wanita semacam itu boleh saja, sesuai dengan keumuman ayat di atas. Dan juga diqiyaskan kepada wanita yang ditalak tiga. Sebab, dalam hal ini hak kekuasaan seorang suami telah terputus.
Kebolehan meminang dengan sindiran ini sebelum masa iddah selesai ini berlaku bagi laki-laki lain yang dihalalkan untuk menikahi wanita tersebut. Adapun suaminya sendiri, ia dihalalkan (boleh) meminang istrinya yang sedang menjala- ni iddah itu dengan cara sindiran ataupun terang-terangan. Berbeda dengan wanita pelaku iddah karena li’an, maka sua- minya tidak halal menikahinya kembali selama-lamanya sete- lah mereka berdua bercerai.
Kesimpulan dari penjelasan di atas : Pertama, meminang dengan cara terang-terangan kepada seluruh wanita yang se- dang menjalani masa iddah diharamkan bagi siapa saja, kecuali bagi suami jika wanita yang ditalak adalah dengan talaq ba’ in sughra. 13) Kedua, wanita yang ditalak dengan talaq ba’ in kubra (talak tiga atau talak total), maka mantan suami tidak boleh meminangnya dengan dua cara tersebut sebelum mantan istrinya dinikahi oleh orang lain. Ketiga, meminang dengan cara sindiran haram dilakukan terhadap wanita yang sedang iddah karena talak raj’i, namun boleh dilakukan terhadap wanita yang sedang menjalani iddah karena talak ba’in atau iddah karena kematian suami.
Arti tashrih adalah lafazh yang jelas dan terang. Misal- nya, seseorang mengucapkan, ‘Aku ingin menikahimu’ atau ia berkata kepada wali perempuan tersebut, ‘Aku ingin meni- kahi si Fulanah. Sedangkan, makna ta’ridh, ada yang mengata- kan bahwa maksudnya adalah kata-kata yang isinya dapat menunjukkan tujuan tertentu atau lainnya. Hanya saja, indi- kasi kepada sesuatu yang dimaksud tersebut lebih kuat. Makna ta’ridh kata-kata yang mengindikasikan keinginan menikahi seseorang atau lainnya. Misalnya, ucapan seorang pria, “Ba- nyak sekali pria yang menginginkan dirimu, siapakah yang akan mendapatkan wanita sepertimu..
Wallahu ta’ala a’lam
Di Tulis Oleh : Syaikh Nada Abu Ahmad
Di Ringkkas Oleh : Anita Sari Ummu Hizam
Di Ambil Dari : Buku Kode Etik Melamar Calon Istri
Baca juga artikel:
Kesempurnaan Islam Dalam Memuliakan Akal
Petikan Faidah dan Kisah dari Daurah 3 Masyaikh Murid Senior Syaikh Al-Albani
Leave a Reply