Taubatlah Sebelum Terlambat

taubatlah sebelum terlambat

Taubatlah Sebelum Terlambat – Taubat dari dosa dengan kembali kepada Zat yang Maha Mengetahui yang ghaib T adalah titik tolak para salik (orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah), modal orang-orang yang beruntung, dan langkah awal orang-orang yang ingin menuju Allah. Ia merupakan kunci istiqamah orang-orang yang condong dan ajang seleksi bagi orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Taubat adalah persinggahan pertama, pertengahan, dan terakhir. Hamba yang sedang meniti jalan kepada Allah tidak pernah meninggalkan taubat, hingga ajal datang menjemputnya. Jika ia beralih menuju persinggahan yang lain, ia akan membawanya, menyertakannya, dan singgah bersamanya. Dengan demikian, taubat adalah permulaan dan penghujung jalan. Allah Rahimahullah berfirman:

… وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (2)

Artinya: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nûr: 31).

Ayat ini tercantum di dalam surat Madaniyah.” Melalui ayat tersebut, Allah berbicara kepada orang-orang yang beriman dan makhluk pilihan-Nya agar bertaubat kepada-Nya, setelah mereka beriman, bersabar, berhijrah, dan berjuang. Dia kemudian mengaitkan keberuntungan dengan taubat dan menggunakan kata “la’alla (supaya)”, sebagai indikasi bahwa jika kalian bertaubat, berarti kalian telah berharap akan keberuntungan. Karena, hanya orang-orang yang bertaubat saja yang mengharap keberuntungan-semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan mereka.

Allah ﷻ juga berfirman:

… وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (3)

“Barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Hujurât: 11)

Berdasarkan ayat di atas, manusia terbagi menjadi dua, yaitu hamba yang bertaubat dan yang zalim. Tidak ada kelompok hamba yang ketiga. Sedangkan sebutan zalim disematkan kepada siapa saja yang tidak mau bertaubat. Tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang tidak bertaubat, karena kebodohannya kepada Rabb-nya dan hak-Nya, tidak tahu cela dirinya dan kerusakan amalnya. Nabi ﷺ bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, sesungguhnya dalam satu hari aku bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali.”[1]

Itulah Rasulullah, padahal beliau adalah makhluk yang paling mengetahui Allah.

Taubat berarti kembalinya seorang hamba kepada Allah serta meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan jalan orang-orang yang sesat (Nasrani).

Apa Sajakah Syarat Taubat?

Apabila suatu dosa berkenaan dengan hak Allah, maka syarat taubatnya ada tiga, yaitu menyesal atas dosa yang dikerjakannya, menghentikan perbuatan dosanya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya.

Pertama, penyesalan. Taubat hanya akan terwujud bila disertai penyesalan. Karena, orang yang tidak menyesali perbuatan buruknya hal itu merupakan bukti kerelaannya pada perbuatan tersebut dan akan mengulanginya kembali.

Kedua, menghentikan perbuatan dosa. Karena, mustahil bila taubat dilakukan sambil melakukan perbuatan dosa.

Ketiga, bertekad kuat untuk tidak mengulangi. Secara mendasar, syarat ini bertopang pada keikhlasan niat dan kejujurannya. Sebagian ulama mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa yang sama. Mereka juga mengatakan, “Kapan ia kembali melakukannya, berarti taubatnya batal, tidak sah.”

Tetapi, mayoritas ulama tidak menganggap hal ini sebagai syarat dalam bertaubat Karena alangkah banyaknya orang yang ingin sehat, tapi mengkonsumsi makanan yang membahayakannya.

Namun, apabila suatu dosa juga menyangkut hak anak Adam, maka orang yang bertaubat harus memperbaiki apa yang telah ia rusak, atau meminta kerelaan kepada orang yang ia langgar haknya. Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ كَانَ لِأَخِيهِ مَظْلَمَةٌ مِنْ مَالٍ أَوْ عِرْضٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ مِنْ قَبْلِ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهُمْ إِلَّا الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ

Artinya: “Barangsiapa pernah berbuat zalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya, hendaklah ia meminta kerelaan saudaranya pada hari ini (semasa hidup), sebelum dinar dan dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan,”[2]

Dosa ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak Allah dan hak anak Adam. Maka, cara bertaubatnya ialah dengan meminta kerelaan kepada anak Adam karena itu adalah haknya, dan menyesal sebagai bentuk tanggung jawab antara dirinya dan Allah, karena itu adalah hak-Nya.

Taubat Khusus

◆ Bila kezaliman itu berupa pencemaran kehormatan manusia, seperti ghibah atau qadzaf (menuduh seorang muslim berzina), maka apakah disyaratkan untuk memberitahukannya?

Abu Hanifah, Malik, dan ulama lain mensyaratkan untuk memberitahukan. Mereka berhujah dengan hadits di atas.

Pendapat lain menyatakan bahwa tidak disyaratkan untuk memberitahukan. Tapi, cukup baginya bertaubat kepada Allah, dan menyebut orang yang dighibahi atau yang dituduh berzina dengan mengatakan yang sebaliknya di tempat-tempat ia mengghibah atau menuduhnya berzina, serta memohonkan ampun untuknya kepada Allah.

Yang terakhir ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau beralasan bahwa pemberitahuannya akan menimbulkan kerusakan dan tidak membuahkan maslahat. Selain itu, Allah juga tidak membolehkannya, lebih-lebih mewajibkan atau memerintahkannya.

Taubat orang yang meng-ghasab harta benda ialah dengan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Jika ia tidak bisa mengembalikan apa yang telah diambilnya karena ia tidak mengenal pemiliknya, atau hutang-hutangnya yang menumpuk, atau karena alasan lainnya, maka ia wajib menyedekahkan harta benda tersebut atas nama para pemiliknya.

Kelak, pada hari pemenuhan hak-hak di akhirat, orang-orang yang dighasab harta bendanya memiliki dua pilihan. Pertama, memperbolehkan orang yang ghasab menyedekahkan harta bendanya yang dighasab dan pahala sedekahnya untuk mereka. Atau yang kedua, mereka tidak mengizinkan orang tersebut menyedekahkannya serta mereka mengambil kebaikannya sesuai kadar harta benda mereka dan pahala sedekah tadi untuk orang yang ghasab, karena Allah tidak membatalkan pahala sedekah tadi.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia pernah membeli seorang jariyah (budak perempuan) dari seseorang. Lalu, Ibnu Mas’ud masuk ke dalam rumah untuk mengambil sejumlah uang yang akan dibayarkan. Tapi ketika ia keluar, pemilik jariyah tersebut telah pergi. Ia menunggunya hingga tidak ada harapan pemilik jariyah tadi kembali. Ia kemudian menyedekahkan uang tadi dan berkata, “Ya Allah, pahala sedekah ini aku berikan kepada pemilik budak perempuan yang aku beli. Bila ia (pemiliik budak tersebut) rela, maka pahalanya untuknya. Dan jika ia tidak rela, maka pahalanya untukku dan dia mendapat kebaikanku sesuai kadarnya.”

Taubat orang yang menerima ganti rugi dari orang lain dengan barang haram dan ganti ruginya telah ia terima, seperti dari hasil menjual minuman keras, bernyanyi, atau kesaksian palsu kemudian ia bertaubat sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya.

Maka segolongan ulama berpendapat bahwa ia wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, karena ia tidak berhak menerimanya kecuali menurut ketentuan yang diperbolehkan oleh syariat

Ulama lain berpendapat dan inilah pendapat yang benar-insya Allah-cara taubatnya adalah dengan menyedekahkan uang tersebut. Bagaimana mungkin ia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya yang dipakai untuk menyokong perbuatan maksiat kepada Allah?

Demikian pula cara taubat bagi orang yang hartanya bercampur antara harta yang halal dan yang haram, sementara ia tidak bisa memilah-milahnya. Dalam hal ini ia harus memperkirakan jumlah harta yang haram, lalu menyedekahkannya dan membersihkan sisa hartanya. Wallahu a’lamu.

Sebuah Kasus

Apakah taubat seseorang membuatnya kembali ke derajat sebelum dia melakukan dosa ataukah tidak?

Segolongan ulama berpendapat bahwa ia kembali ke derajatnya semula. Sebab, taubat bisa menghapus dosa secara keseluruhan dan menjadikannya seolah-olah tidak pernah ada.

Ulama lain berpendapat bahwa ia tidak kembali ke derajat dan kondisi semula. Karena ia masih dalam keadaan berhenti, yang semestinya ia naik ke atas. Akibat perbuatan dosanya, berarti ia dalam keadaan turun ke bawah. Bila ia bertaubat, itu berarti kadar derajatnya telah berkurang, yang seharusnya ia sudah bersiap-siap untuk naik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menuturkan, “Yang benar adalah di antara orang- orang yang bertaubat ada yang tidak bisa kembali ke derajatnya semula. Namun, ada pula yang justru bisa kembali ke derajat yang lebih tinggi, sehingga ia menjadi lebih haik daripada keadaannya sebelum berbuat dosa. Sebagaimana Dawud, sesudah Jertaubat keadaannya lebih baik daripada keadaannya sebelum berbuat dosa.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Dalam hal ini ada sebuah perumpamaan. Seorang musafir yang melewati jalan dengan tenang dan aman, kadang ia berlari, berjalan, beristirahat, dan tidur. Saat itulah tiba-tiba ia mendapati naungan pohon yang rimbun, air yang dingin, dan taman yang indah. Nafsunya pun mengajaknya singgah ke tempat tersebut. Lalu ia pun singgah.

Ketika itu seorang musuh menyergapnya, membawanya, mengikatnya, dan melarangnya meneruskan perjalanan. Orang ini yakin bahwa ia akan celaka. Ia mengira bahwa dirinya telah mati. Ia pun digelayuti kesenduan karena perjalanannya menuju tujuan terhambat.

Dalam hatinya terbesit beberapa prasangka. Tiba-tiba ayahnya yang penyayang berdiri di hadapannya. Ia melepaskan ikatannya dan berkata kepadanya, “Teruskanlah perjalanan dan waspadalah terhadap musuh ini, karena ia ada di sepanjang jalan yang selalu mengintaimu. Ketahuilah, selama kamu hati-hati dan waspada terhadapnya, ia tidak akan mampu mencelakaimu. Tapi jika kamu lalai, ia akan menyergapmu. Aku akan berjalan di depanmu untuk memandumu menuju rumahmu. Ikutilah jalanku.”

Bila musafir ini cerdas, pandai, bijaksana, dan selalu waspada, tentu ia akan melanjutkan perjalanannya dengan cara lain yang lebih kuat dan lebih baik dari yang pertama. Dan ia akan sampai ke rumah dengan lebih cepat.

Namun, jika ia lalai dari musuhnya dan kembali pada kondisinya yang pertama, tanpa ada tambahan atau pengurangan, tidak lebih waspada dan persiapan, maka ia akan kembali pada kondisi sebelumnya, yaitu dihadapkan pada bahaya seperti yang menimpanya tadi.

Jika ia melakukan semua itu karena ingin memperlambat jalannya, malas, ingat kebaikan, keindahan kebun dan kesegaran airnya, maka ia tidak bisa kembali pada keadaannya semula dan turun dari derajat yang telah ia capai sebelumnya.”

Taubat Nashuha

Allah ﷻ berfirman:

يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَرُ (2)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubailah kepada Allah dengan taubat yang semurni. Murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” (QS. At. Tahrim: 8)

Abu Musa Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Artinya: “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari orang yang berbuat dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada malam hari. Hal ini berlangsung hingga matahari terbit dari barat.”[3]

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ

Artinya: “Barangsiapa yang bertaubat kepada Allah sebelum matahari terbit dari Barat, niscaya Allah menerima taubatnya.”[4]

Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama ia belum sekarat.”[5]

Al-Ghargharah adalah saat nyawa sampai di tenggorokan.

Maksud An-Nushhu dalam bertaubat adalah memurnikannya dari tipu daya kekurangan, dan kerusakan.

Al-Hasan Al-Bashri menuturkan, “Taubat yang murni ialah seorang hamba harus menyesali perbuatan dosanya yang telah lalu sembari bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.”

Al-Kalbi berkata, “Taubat yang murni ialah seorang hamba harus memohon ampun dengan lisan, menyesal dengan hati, dan menahan dengan anggota tubuhnya.”

Sa’id bin Al-Musayyab mengatakan, “Taubat yang semurni-murninya.” Artinya dengan taubat itu kalian harus menasihati diri kalian sendiri.”

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kemurnian dalam bertaubat meliputi tiga hal:

Pertama, mencakup semua dosa yang pernah dilakukan dan tidak ada satu pun dosa yang tertinggal.

Kedua, menguatkan tekad dan kemantapan secara total. Dengan kata lain, tak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Bahkan, ia menyatukan kehendak dan tekadnya seketika itu juga.

> Ketiga, membersihkan taubat dari cela, penyakit-penyakit yang menodai keikhlasan dan tujuannya yang murni karena takut kepada Allah semata, cinta kepada apa yang Dia miliki, dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya.

Tidak seperti orang yang bertaubat karena ingin menjaga kebutuhan, kemuliaan, kedudukan, dan kekuasaannya. Atau karena ingin melindungi kekuatan dan hartanya, menarik simpati dan pujian orang-orang, agar tidak dicela mereka, ingin menguasai orang-orang, memenuhi keinginan nafsunya di dunia, kebangkrutan dan ketidakmampuannya, dan penyakit-penyakit lain yang menodai keshahihan dan kemurnian taubat karena Allah.

Yang pertama berkaitan dengan segala hal yang ditaubati, yang kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat, dan yang ketiga berkaitan dengan Zat yang dimintai taubat.

Dengan demikian, kemurnian taubat yang murni adalah kejujuran dalam taubat, ikhlas dan mencakup semua dosa. Tak diragukan lagi bahwa taubat seperti ini akan menjamin turunnya ampunan, serta penghapusan semua dosa. Itulah taubat yang paling sempurna.

REFERENSI:

Diambil dari buku Tazkiaatun Nafs (Penyucian Jiwa dalam Islam) terjemahan kitab Al-bahru Raiq fiz zuhdi war raqaaiq karya Dr. Ahmad Farid – Jakarta: Ummul Qura, 2012.

Oleh: Sahl Suyono (Staff Pengajar Ponpes Darul-Qur’an wal Hadis OKU Timur)


[1] HR. ?

[2] HR. Al-Bukhari dan At-Tirmizi

[3] HR. Muslim

[4] HR. Muslim

[5] HR. Tirmidzi

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.