Perintah Zuhud Terhadap Dunia

Perintah Zuhud Terhadap Dunia

Perintah Zuhud Terhadap Dunia. Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata, “Seorang sahabat menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku. suatu perbuatan yang jika aku lakukan, aku akan dicintai oleh Allah dan manusia Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

ازْهَدْ في الدُّنْيَا يُحبَّكَ اللهُ، وَازْهَدُ فِيمَا عِندَ النَّاسِ يُحبك الناس

Artinya:

“Zuhudlah dari dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah dari apa yang ada pada manusia, niscaya mereka akan mencintaimu”.  (HR. Ibnu Majah, dan lainnya dengan sanad yang hasan)

 

Hadis ini menjelaskan tentang keutamaan zuhud. Zuhud ada dua macam, yaitu 1) zuhud terhadap dunia, inilah mendatangkan kecintaan Allah terhadap seseorang: dan 2) zuhud terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain, artinya kita tidak berharap/minta/dikasih dari orang lain.

Zuhud Terhadap Dunia

Orang yang zuhud terhadap dunia akan dicintai oleh Allah karena Allah mencela orang-orang yang mendahulukan kehidupan dunia dan pada kehidupan akhirat.

Dalam hadis  Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Artinya:

“Seandainya dunia itu nilainya di sisi Allah seperti sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan minuman kepada seorang kafir.”[1]

 

Karena dunia tidak ada nilainya di sisi Allah, maka Allah berikan juga kepada orang kafir. Seandainya dunia itu bernilai, maka Allah tidak akan memberikan sama sekali kepada orang kafir dan akan Allah khususkan saja bagi orang beriman. Kenyataannya, Allah memberikan dunia kepada orang kafir sebagaimana juga Allah berikan dunia kepada orang mukmin.

Namun saya ingatkan! Jangan disalah pahami bahwasanya tidak boleh mencari dunia sama sekali. Dunia itu tercela bukan karena zatnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam. Beliau menyebutkan bahwasanya dunia itu tercela bukan karena zatnya tetapi karena kebanyakan manusia mendahulukan dunia daripada akhirat. Dunia tercela tatkala manusia menjadikan dunia sebagai tujuannya.

Dan celaan tidak juga tertuju kepada tempat dunia yaitu bumi yang telah Allah jadikan sebagai hamparan dan tempat tinggal bagi anak keturunan Adam. Dan tidak pula celaan tertuju kepada apa-apa yang Allah siapkan di dunia seperti gunung, lautan, sungai, logam-logam, tidak juga tertuju kepada apa yang Allah tumbuhkan di bumi, seperti pepohonan dan tanaman, dan tidak juga tertuju pada apa yang Allah tebarkan di bumi seperti hewan- hewan dan yang lainnya. Sesungguhnya itu semua merupakan karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya yang penuh manfaat bagi mereka. Celaan hanyalah tertuju kepada perbuatan dan sikap hamba yang mereka lakukan terhadap dunia, karena kebanyakan perbuatan mereka terjadi tidak sesuai dengan yang akan tetapi terjadi dengan kondisi yang memberi kemudaratan bagi mereka atau tidak bermanfaat bagi mereka.

Jadi, dunia ini pada zatnya sendiri tidak tercela karena dunia ini bisa bermata dua; bisa bermanfaat untuk akhirat seseorang dan bisa juga mencelakakan akhirat seseorang. Bukankah dalam banyak ayat Kitab Suci al-Qur’an dan hadis Rasulullah dianjurkan untuk bersedekah, memberi manfaat, memberi hadiah, menyenangkan orang lain?

Kita beri hadiah dan pekerjaan kepada orang lain, kita membantu orang lain. Ini semua berkaitan dengan dunia. Semua butuh dengan dunia, jadi beramal saleh membutuhkan kepemilikan berbagai hal di dunia.

Oleh karenanya, dunia itu menjadi terpuji tatkala dijadikan sarana untuk mencapai akhirat dan bukan menjadi tujuan utama. Oleh karenanya, di antara doa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah:

وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أكبر همنا

Artinya:

“Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia ini sebagai tujuan utama kehidupan kami”[2]

 

Seseorang yang menjadikan dunia sebagai puncak tujuannya, maka dia akan lelah. Bahkan orang kaya pun akan lelah. Anda kira orang kaya tatkala mencapai harta yang begitu banyak, dia tidak lelah? Dia lelah, meskipun dia seorang bos yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Dia akan lelah berfikir, kalau ada kerugian dan musibah maka dia akan pusing stres, karena dia menjadikan dunia sebagai tujuannya.

Tetapi kalau orang kaya yang menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat, dia akan bekerja dengan senang (bahagia) karena saat bekerja dia tahu bahwa hartanya akan digunakan untuk berinfak di jalan Allah. Tatkala membantu fakir miskin, dia gembira. Tatkala membangun pondok atau masjid, dia bahagia. Tatkala pondoknya ditempati oleh orang (untuk belajar), dia bahagia. Bisa berbakti kepada orang tua, dia bahagia. Oleh karenanya, jika seseorang menjadikan dunia sebagai tujuannya (maka) dia akan tersiksa dan sengsara. Dan barang siapa yang menjadikan dunia bukan sebagai tujuannya (maka) dia akan zuhud terhadap dunia. Meskipun dia memiliki dunia yang banyak tetapi dunia tidak masuk ke hatinya dan hanya di tangannya karena dia tahu dunia itu hanyalah alat untuk mencapai akhirat, bukan tujuan.

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang zuhud sehingga kita dicintai oleh Allah.

→ Perkara Pertama: “Seseorang lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada dengan yang apa ada di tangannya,”

 

Maksud ungkapan ini yaitu seseorang sangat yakin bahwanya rezekinya berada di sisi Allah, bukan bergantung kepada dunia yang ada di tangannya saat ini, apalagi dengan harta yang ada di tangan orang lain (milik orang lain). Ini hanya dapat diwujudkan dengan kekuatan keyakinan. Jika hatinya sudah meyakini akan hal ini, maka

  • la tidak akan mencari harta dengan cara yang haram, karena dia tahu bahwa rezekinya bukan pada harta yang haram.
  • la tidak akan tergantung pada orang lain, karena dia tahu bahwa rezekinya bukan di tangan orang lain.
  • la akan tetap yakin akan rezekinya meskipun di rumahnya tidak ada apa-apa, tentunya dengan tetap la berusaha mencari rezeki.
  • la tidak terpedaya harta yang sedang ada ditangannya, sehingga lupa kepada Allah, seakan-akan rezekinya tergantung pada harta yang sedang ia miliki saat ini

Rezeki seluruh makhluk (telah) Allah jamin berdasarkan firman Allah.

Oleh karenanya, meskipun seseorang memiliki dunia (dia tahu bahwa Allah telah mengaruniakan rezeki kepadanya), namun dia lebih yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah. Ini masalah hat Sebagaimana yang pernah disampaikan pada pembahasan yang lalu, bahwasanya betapa pun besarnya dunia di tangan kita, jangan sampai dimasukkan ke hati, (tetapi) hanya di tangan. Kita yakin bahwasanya dunia ini hanyalah sarana.

Kita yakin apa yang kita miliki sekarang ini akan sima hilang habis dan ada waktunya. Sedangkan yang kekal abadi adalah yang di sisi Allah Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

ما عِندَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِندَ الله باق

Artinya:

“Apa yang kalian miliki akan sirna dan apa yang di sisi Allah akan kekal.” (QS. An-Nahl: 96)

 

Jika kondisi hati seseorang demikian yakinnya, maka dia akan zuhud terhadap dunia, meskipun mungkin memiliki mobil dan rumah yang tetapi dia yakin ini hanyalah sementara, lebih yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah kepadanya, menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat.

Perkara Kedua:

دَ الْعَبْدِ حَامِدُأَن يَسْتَوِي عِنهُ وَذامّه في الحق

“Bagi si hamba sama saja apakah orang lain memuji atau mencelanya.”

 

Dan ini juga berkaitan dengan hati. Ini adalah tanda bahwa dia zuhud terhadap dunia karena pujian itu berkaitan dengan dunia. Orang memuji atau mencela bagi dia sama saja, tidak ada masalah. Yang dia harapkan adalah pujian Allah dan dia juga tidak ingin dicela oleh Allah

Adapun penilaian manusia maka tidak akan ada habisnya. Ketika Anda dipuji juga ada yang mencela, ketika Anda dicela ada juga yang memuji. Siapa pun orangnya pasti pernah dicela dan dipuji, karena ada orang yang cocok dengan kita dan ada yang tidak. Menurut pendapat kita baik tapi menurut pendapat orang lain tidak baik.

Oleh karenanya, orang yang benar-benar zuhud terhadap dunia, tidak perduli dengan komentar-komentar duniawi. Yang dia pikirkan.

adalah bagaimana komentar Allah terhadap dirinya; apakah dia sudah berbuat baik atau belum menurut Allah hu yang selalu menjadi bahan renungannya.

Orang yang zuhud adalah orang yang benar-benar tidak peduli dengan ini semua. Ini adalah zuhud yang luar biasa. Namun sult untuk mencapai derajat ini Kebanyakan orang kalau dicela maka akan marah dan kalau dipuji maka akan besar kepala, dan berharap mendapat pujian terus-menerus. Berarti orang ini belum sampai pada derajat zuhud yang hakiki

Para pembaca yang budiman dan dirahmati oleh Allah, ketiga perkara ini sangat sulit diraih. Namun kita harus terus berusaha melatih diri kita. Saya ringkaskan lagi ketiga perkara tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Seseorang lebih percaya dengan apa yang Allah janjikan baginya di akhirat. Dunia ini hanya sementara yang akan dia tinggalkan dan hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai apa yang Allah janjikan.
  2. Dia yakin bahwa di balik musibah yang menimpanya ada karunia dan kenikmatan yang luar biasa yang Allah siapkan untuk dirinya, meskipun dia kehilangan dunia ini. Dia zuhud, berusaha untuk sabar dan berusaha juga untuk memuji Allah meskipun terkena musibah.
  3. Dia tidak mempedulikan komentar manusia. Baginya, yang dia pedulikan adalah bagaimana komentar Allah; apakah Allah memuji dia ataukah mencelanya. Yang dia pikirkan apakah dia sudah dengan benar menjalankan perintah Allah ataukah malah melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allah, banyak sekali hadis Rasulullah yang memerintahkan kita untuk isti’faf (tidak berharap pada orang lain) dan istighna (tidak butuh kepada orang lain). Dalam hadis, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan doa.

اللهم اكفني عَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Artinya:

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan perkara-perkara yang halal sehinggo aku tidak butuh dengan perkara yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu, ya Allah, sehingga aku tidak butuh kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

 

REFERENSI:

Diringkas oleh Nurul Latifah

Dari”KITABUL JAMI’”, penjelasan hadits-hadits adab dan akhlak. Karya Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A. Ustadz Firanda Andirja Office.

 

[1] HR. Tirmidzi.

[2] HR. At-Tirmidzi

Baca juga:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.