Suami Shalih Suami Idaman

suami shalih suami idaman

Suami Shalih Suami Idaman – Bila masa kanak-kanak secara perlahan telah beranjak pergi meninggalkan kehidupan anak Adam, maka predikat baru sebagai remaja pun datang untuk menyongsong kehidupan manusia dewasa yang mandiri. Ada sesuatu yang terasa hadir mengisi indahnya hidup, itulah cinta. Bukan sembarang cinta, tapi cinta kepada lawan jenis. Wanita cinta laki-laki dan sebaliknya.

Saat itu, seorang anak manusia harus benar-benar tanggap, ke mana dan di mana harus mempersilakan perasaan itu hanya boleh dipersilakan melalui jalur pernikahan. Pernikahan adalah sebuah perjalanan Panjang penuh seni yang terkadang berliku, berawal darimencari calon pendamping hidup. Seseorang harus mempunyai kriteria yang jelas agar pilihannya sesuai dengan harapan. Meskipun tidak semua kriteria terpenuhi, tapi minimalnya tidak meleset terlalu jauh.

Inilah beberapa kriteria yang seharusnya menjadi pertimbangan utama seorang wanita dalam memilih pasangan hidupnya.

  1. Pria yang baik agama dan akhlaknya.

Dari Abu Hatim al Muzani rodhiallahuánhu berkata bahwa Rasullullah Shallallahu álaihi wassallam bersabda :

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌل كَبِيْرٌ

Apabila ada seorang yang kalian ridho agama dan akhlaknya datang pada kalian, maka nikahkanlah. Kalua tidak maka akan jadi fitnah dan kerusakan besar di bumi.”(HR. at-Tirmidzi 2/274/1092, Ibnu Majah 1/606, al-Hakim 2/164 dengan sanad hasan, Shihih Tarmidzi 866)

  • Mampu memberi nafkah lahir dan bathin

Dari Abdulloh bin Masúd rodhiallahuánhu dari Rasullullah Shallallahu álaihi wassallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

”wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu baáh, maka hendaklah dia menikah. Namun barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa akan mampu menjadi penghalang baginya.” (HR. al-Bukhori 5056, Muslim 1400)

Artiالْبَاءَةَ  adalah jima’ (bersebadan) dan nafkah keluarga. (Fathul Bari 9/110, Syarah Shohih Muslim 3/546)

  • Penyantun dan penyayang pada istri dan keluarga

Imam Muslim (1480) meriwayatkan bahwa Fathimah binti Qois dicerai oleh Abu Amr bin Hafs. Tatkala sudah selesai masa iddahnya, beliau dilamar oleh Muáwiyyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Hal ini disampaikan kepada Rasullullah Shallallahu álaihi wassallam maka beliau bersabda :

“adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kata kiasan untuk lelaki yang suka memukul). Adapun Muáwiyyah dia itu orang miskin yang tidak punya harta. Menikahlah engkau dengan Usamah bin Zaid”

  • Berasal dari keturunan yang baik-baik

Garis keturunan mempunyai pengaruh pada fisik dan karakter seseorang, sebagaimana diisyaratkan oleh Rosullullah Shallallahu álaihi wassallam dalam hadits berikut :

Dari Abu Hurairoh rodhiallahuánhu berkata : seorang laki-laki dari Bani Fazaroh dating kepada Rosullullah Shallallahu álaihi wassallam dan berkata ‘’sesungguhnya istriku melahirkan anak berkulit hitam.’’ Maka beliau berkata, ‘’apakah engkau memilki unta? ‘’punya,’’ jawabnya, ‘’apa warnanya, ‘’katabeliau selanjutnya. Dia menjawab, ‘’merah.’’Rosullullah Shallallahu álaihi wassallam bertanya lagi, ‘’ apakah ada yang berwarna hitam kecoklatan?’’ Dia jawab, ‘’ada. ‘’darimana asalnya?’’ tanya Rosullullah Shallallahu álaihi wassallam. Dia menjawab, ‘’barangkali karena pengaruh garis keturunan nenek moyangnya.’’ (HR. al-Bukhori 9/390, Muslim 1500)

Hal ini ditegaskan lagi oleh beliau dalam sabdanya:

‘’Pilihlah (wanita baik-baik) untuk benih keturunanmu.’’ (HR. Ibnu Majah 1/607), Daruquthni 416, al-Hakim 2/163 dengan sanad shohih sampai pada lafazh ini. Lihat ash-shohihah 3/56/1067. Adapun riwayat dengan beberapa tambahan adalah riwayat lemah bahkan palsu. Lihat adh-Dhoifah 2/159/730 dan 7/404/3394)

Berkata Imam al-Munawi: ‘’Yaitu janganlah kalian meletakkan benih kalian kesuali pada garis keturunan yang suci.’’ (Faidul Qodir 3/288)

  • Bertanggung jawab

Karena beban lelaki dalam keluarga adalah sebagai pemimpin dan pengatur keluarga, maka hendaknya dia seorang yang bertanggung jawab, sebagaimana firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. an-Nisa’ [4]:34)

Juga Firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri mu dan keluargamu dari api neraka. (QS. at-Tahrim [66]: 6)

  • Bukan dari keluarga dekat ?

Ada sebuah keyakinan yang masih kuat berkembang, yaitu bahwa menikah dengan keluarga dekat akan mengakibatkan lahirnya keturunan yang lemah fisik maupun mental. Benarkah? Agaknya keyakinan ini perlu ditinjau kembali, karena tidak berdasar, baik secara syar’I maupun medis.

Secara syar’I, tidak ada satupun nash yang melarang menikah dengan keluarga dekat. Hanya ada satu riwayat dengan lafazh:

‘’Menikahlah kalian dengan orang jauh, jangan sampai anak keturunan kalian menjadi lemah.’’ (Riwayat ini disebutkan sebagai sebuah hadits oleh beberapa kitab fikih dan Bahasa semisal Lisanul Arob 14/489, an-Nihayah fi Ghoribil Hadits oleh­ Ibnul Atsir 3/106, juga Ghoribul Hadits oleh Ibnu Qutaidah 3/733)

Berkata Imam Ibnu Sholah: ‘’saya tidak menemukannya mempunyai asal-usul yang terpercaya.’’ Pernyataan ini disepakati oleh Imam al-Iroqi dalam Takhrij Ihya’ 2/40 dan al Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talkhis al-Habir 3/1158. Imam Ibnu Qutaibah memasukkan hadits ini pada kelompok hadits-hadits yang disebutkan oleh Ahlul Lughoh (Bahasa) namun tidak diketahui sanadnya.

Adapun tinjauan medis, dr. al-Kabariti, spesialis ilmu Genetika dari Kuwait, berkata: ‘’Keyakinan bahwa menikah dengan keluarga dekat bisa menyebabkan penyakit keturunan merupakan sebuah keyakinan yang salah. Karena dalam riset ilmiah tidak ditemukan perbedaan antara masyarakat yang biasa menikah dengan orang jauh maupun dengan keluarga dekat.’’ (Al-Hayah az-Zaujiyah as-Saídah oleh Abdul Hamid Khozar hlm. 76)

Syaikh Shalih Fauzan rohimahullah pernah ditanya tentang pendapat sebagian orang bahwa seorang gadis apabila menikah dengan saudara sepupu atau keluarga dekat lainnya akan menyebabkan lahirnya anak yang cacat. Jawab beliau: “Pendapat ini tidak benar. Menikah dengan saudara sepupu atau pun orang lain yang masih kerabat tidak menyebabkan lahirnya anak yang lemah dan cacat, baik fisik maupun mental. Ini adalah sebuah keyakinan yang salah. Memang sebagian ulama berpendapat sebaiknya menikah dengan orang yang bukan kerabatnya, karena bias melahirkan anak yang lebih cerdas. Namun ini bukan berarti akan lahir anak yang cacat. Tidak satu pun ulama yang pernah mengatakannya. Rosulullah Shallallahu álaihi wassallam sendiri menikahkan putrinya, Fatimah dengan saudara sepupunya, Ali Bin Abi Thalib. Dan banyak sahabat yang menikah dengan kerabat nya”. (Al-Muntaqo min Fatawa Syaikh Fauzan 5/257).

Syaikh Muhammad bin Utsaimin rohimahullah saat ditanya tentang pernikaha dengan orang jauh, lebih baik untuk masa depan anak, beliau menjawab : “hal ini disebutkan oleh sebagian Ulama, karna memang garis keturunan mempunyai pengaruh pada fisik maupun mental seseorang. Namun Rasulullah Shallallahu álaihi wassallam bersabda (Artinya) : “seorang wanita dinikahi karena 4 perkara : harta, keturunan, kecantikan dan agama. Maka pilihlah yang taat beragama, maka kamu akan beruntung.”maka patokkan untuk meminang seorang wanita adalah Agamanya. Semakin dia taat beragama dan cantic, maka dialah yang paling utama. Samasaja, apakah dia kerabat atupun bukan. Ketaatan beragamanya akan mampu menjaga harta dan anaknya, dan kecantikan akan bisa memenuhi kebutuhannya sehingga tidak berpaling kepada wanita lain. “ (Fatawa Islamiyah 3/108 dengan ringkas)

  • Kriteria lainnya.

Kriteria yang paling pokok dalam memilih pasangan hidup adalah factor agaman dan akhlaknya. Jika itu telah didapatkan, maka boleh bagi seorang wanita untuk memandang factor lainnya. Misalnya keserasian dalam umur, status social, ketampanan dan lainnya. Tapi perlu ditegaskan bahwa ini semua setelah factor agama dan akhlaknya. Karena semakin banyak unsur kesamaan, maka insyaAllah akan semakin bias meminimalkan permaslahan rumah tangga.

Saat berbicacara tentang calon istri, Syaikh Musthofa al-Addawi berkata : “apabila seorang wanita memiliki ketaatan beragama, kecantikan, keturunan yang baik dan kekayaan, maka itu lebih utama daripada seorang wanita hanya taat beragama namun tidak memiliki lainnya. Dalam artian, seorang wanita yang cantik lagi taat beragama itu lebih baik daripada, yang taat beragama namun tidak cantic. Namun apabila seorang wanita cantik, keturunan baik, kaya akan tetapi tidak taat beragama, maka tidak diragukan lagi bahwa wanita yang taat beragama lebih utama.”(Jami’Ahkam Nisa’3/215, 5/327)

Sumber :

Majalah Al-Mawaddah Vol. 37 Shofar 1432 H, Januari – Februari 2011 M,

Penulis: Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf

Diringkas oleh: Supriyadi

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.