
Problematika Rumah Tangga (bagian 1) – Berikut ini adalah berbagai kisah yang dapat kita ambil pelajarannya. Berbagai problematika rumah tangga yang kami angkat ini, semoga dapat menjadi pelajaran yang berharga, serta kita pun akan dapat memetik buah hikmah yang terkandung di dalamnya.
Jual Mahal, Akhirnya Kecewa
Sebagian gadis dengan gampang menolak lamaran seorang laki-laki yang baik dan soleh tanpa alasan yang benar. Penolakan itu seringkali hanya dikarenakan perasaan bangga diri yang berlebihan atau dengan beralasan ingin meneruskan studi, atau pihak wanita melihat calon suami dianggap tidak cocok dan kurang serasi menurut ukuran hawa nafsunya bukan menurut selera agama sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ.
Artinya: “Apabila anda didatangi oarang yang anda sukai agama dan akhlaknya, maka kawinkan ia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar. “[1]
Setiap ada pelamar yang datang, ia beranggapan bahwa yang dahulu lebih baik atau ia ingin mencari yang lebih baik lagi. Sementara di luar sana, para lelaki takut untuk melamarnya karena tidak ingin kecewa ditolak seperti para pendahulunya. Setelah sekian lama, akhirnya takdirpun menghampiri. Seorang pria datang meminangnya. Namun apa yang didapatkannya? Pria itu sungguh tidak serasi dengan umurnya. Oleh karena itu Nabi Muhammad menegaskan kepada Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu,
ثَلَاثَةٌ يَا عَلِي لَا تُؤَخِّرْهُنَّ الصَّلَاةُ إِذَا أَنَتْ وَالجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُوًا.
Artinya: “Ada tiga perkara janganlah boleh ditunda-tunda, yaitu shalat ketika telah masuk waktunya, jenazah ketika telah siap (diurus), dan bujangan ketika telah menemukan jodoh yang serasi. “[2]
Ada seorang gadis belia yang dikaruniai berbagai kelebihan dalam bentuk ciptaan dan penampilan yang membuat para pemuda tergila-gila padanya, namun sangat disayangkan terlalu emosional dan bernalar pendek. Setiap ada orang yang datang untuk melamarnya, pihak orang tua terlalu banyak harapan atau bahkan meremehkan, sehingga sang gadis semakin angkuh, sombong dan merasa tidak ada laki-laki yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.
Orang tua selalu khawatir terhadap masa depan anaknya, mereka ingin anaknya hidup bahagia dan mendapatkan jodoh seorang laki-laki yang saleh dan dikaruniai anak-anak yang saleh pula. Tanpa mereka sadari waktu berjalan sangat cepat. Ibarat bunga yang bermekaran, lambat laun putrinya menjadi perawan tua. Umur telah terkikis dan ditelan oleh keangkuhan. Lelaki yang diharapkan tak juga kunjung tiba. Kemudian semua berakhir dengan keputusasaan. la semakin merana dan kesepian.
Ketika ia menengok ke tempat lain, ia pun menyaksikan seorang wanita bercanda bahagia bersama suami dan anak- anaknya. Ia semakin gelisah. Harapannya sirna. Yang tersisa hayalan kekecewaan dan kegelisahan. Orang tua pun menjadi sasaran untuk melampiaskan kekecewaan dan kekesalan. Sambil menangis ia berkata, “Aku tidak tahu kalau menjadi begini akibatnya, kenapa kalian tidak memberi pertimbangan yang baik kepadaku?”
Sungguh tepat nasihat Hasan Bashri kepada seseorang yang pernah bertanya, “Saya memiliki anak perempuan. Dengan siapa, menurut anda, seharusnya saya nikahkan? Beliau menjawab, “Nikahkanlah dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, maka ia akan memuliakannya. Jika ia marah kepadanya ia tidak akan menzhaliminya, “[3]
Akhirnya dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang sudah lanjut usia. Ia harus menelan pil pahit dan menanggung berbagai beban untuk melayani suami yang sudah lanjut usia dan bertubuh lemah. Mereka tidak dikaruniai keturunan. Hidupnya seperti hanya sekedar untuk menghabiskan waktu dengan kehampaan.
Cerai Jatuh Tiga, Keduanya Masih Cinta
Ada seorang wanita berumah tangga cukup lama, mengadu kepada saya. Suaminya sering kali melontarkan kata-kata cerai kepadanya, bahkan hampir setiap terjadi percekcokkan dan suasana semakin memanas, selalu berakhir dengan ancaman cerai. Puncaknya, sang istri sudah tidak betah lagi hidup bersamanya, bahkan menantang suaminya untuk mewujud. kan ancamannya.
Dia menyatakan bahwa selama hidup berumah tangga dengan suaminya belum pernah merasakan ketenteraman dan kebahagiaan, padahal sebetulnya keduanya masih memendam rasa cinta dan berat hati untuk berpisah, apalagi dengan pertimbangan masa depan anak-anak.
Karier dan usia di ambang senja, maka untuk mengambil putusan cerai sangat sulit diwujudkan. Namun saat terbentur norma agama, sepahit apa pun harus ia jalankan. Karena hukum Islam memutuskan, siapa yang sudah menjatuhkan talak tiga, maka tidak boleh rujuk kembali kecuali dengan terpaksa merelakan istrinya menikah dengan laki-laki lain melalui pernikahan syar’i, bukan pernikahan tahlil yang hanya sekedar menghalalkan untuk suami yang pertama, bahkan laki-laki kedua menikahi si wanita dengan pernikahan atas dasar suka dan telah berhubungan intim, setelah itu terjadi perceraian baik dengan dithalaq maupun dengan meninggal, maka laki-laki pertama boleh menikahinya setelah habis masa ‘iddahnya.
Putusan agama semacam itu bukan kejam, bahkan memberi peluang kepada keduanya untuk merenung dan mencoba merubah nasib hidup, barangkali dengan laki-laki lain ia mendapatkan kecocokan dan keharmonisan, sementara sang suami yang selamanya dipercaya Allah untuk memegang putusan cerai karena kejantanan dan kesempurnaan akalnya, ternyata kurang amanah, sehingga perlu diperingatkan dengan keras sebagai bentuk pelajaran agar tidak terulang bila menikah dengan wanita lain. Bahasa kasarnya seakan dikatakan kepadanya “Rasakan akibatnya, istrimu diambil orang lain”. Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain, kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230).
Bila Allah mentakdirkan wanita tersebut bercerai lagi dari suaminya yang kedua, maka boleh kembali kepada suaminya yang pertama, namun demikian itu mustahil, apalagi saat sang istri berbahagia dengan suaminya yang kedua. Memang romantika hidup kadang unik sekaligus pahit dirasakan. Tetapi begitulah ketetapan takdir, bila Allah telah menghendaki, tidak ada yang mampu menolaknya.
Pertengkaran dalam kehidupan pasutri, suatu hal yang biasa, ibarat garam yang berfungsi sebagai penyedap rasa, aroma terapi dan selingan romantisme kehidupan.
Dan hendaknya pertentangan itu dibatasi hanya semata dalam kontek diskusi untuk mencari solusi dan memecahkan masalah bersama, sehingga adu mulut pun akan berakhir dengan happy ending, karena keputusan bijak dapat diterima semua pihak. Namun bila cekcok sudah berskala besar, berakibat fatal, keduanya tidak mampu mencari titik temu, anak-anak menjadi korban, masing-masing bersikukuh pada egoismenya dan keras kepala pada pendirian, bahkan saling damprat dan menghardik, padahal pendirian tersebut belum teruji kebenarannya, jelas demikian itu tidak lagi berfungsi sebagai romantika kehidupan atau garam menyedap masakan, tetapi telah menjadi racun yang mengancam kehidupan rumah tangga dan memburaikan ikatan perkawinan.
Seringkali dalam setiap pertengkaran masing-masing ingin keluar menjadi pemenang, dalam rangka membela prinsip dan ideologi yang telah diyakini. Maka akan dapat dipastikan problem rumah tangga yang muncul akan susah diselesaikan dan semakin mengancam hubungan pasutri. Maka bagi sang suami, jangan gampang melontarkan kata-kata cerai, hilangkan dari kamus hidupmu dan ceraikan kata-kata cerai. Begitu juga sang istri, jangan gampang menantang suami “Bila kau jantan, ceraikan aku!”.
Sedahsyat apapun badai menghantam bahtera rumah tangga, bila kedua pasangan mampu menghadapi dengan lapang dada, kepala dingin, hati tenang, pikiran jernih, dan dengan kesadaran yang tinggi untuk mempertahankan utuhnya ikatan perkawinan, serta agama benar-benar menjadi pedoman dalam menuntaskan berbagai macam problem, Insya Allah semuanya akan bisa diselesaikan secara tuntas.
Hidup Merana, Batin Tersiksa
Sungguh sebuah kejadian sangat kejam. Dalam sebuah harian ibu kota[4] diberitakan, seorang istri dianiaya oleh sang suami lalu dibenamkan ke sungai karena sang istri menuntut cerai, sementara suaminya masih sayang.
Dikisahkan, hal tersebut karena suaminya sering menyiksanya. Kehidupan mereka sudah lama tidak harmonis, bahkan perlakuan kejam dialaminya setiap hari. Terpaksa, ia pun mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya. Demikian itu bimbingan Allah yang diberikan kepada setiap hamba-Nya:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Artinya: “Jika anda khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas ke duanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229).
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu dan pene rimaan ‘iwadh. Khulu’ yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut ‘itwadh.
Pernah juga ada seorang perempuan konsultasi kepada saya, bahwa dia sedang kebingungan dan betul-betul bimbang untuk mengambil keputusan antara terus bertahan hidup bersama suaminya, sementara batin tersiksa atau minta cerai, sedangkan umur sudah mulai tua dan anak-anak semakin ber tambah besar.
Suaminya cuek, malas mencari ilmu agama, gemar dunia mistik dan perdukunan, tidak tangung jawab dalam member nafkah, bahkan dia sebagai ibu rumah tangga dan pengasul anak terpaksa harus naik turun bangunan karena bekerja sebagai kontraktor untuk menyambung hidup keluarga dan anak-anaknya.
Dalam menunaikan tugas, terkadang ia harus mengabai kan perintah agama dalam masalah hijab dan ikhtilath, padahal seorang wanita di manapun harus menghindar dari fitnah dan menjauh dari berbaur dengan laki-laki yang bukan mahram, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ.
Artinya: “Janganlah seorang lelaki berkhulwat dengan wanita tanpa mahram.”[5]
Kejadian diatas hanya contoh kecil dari banyak kasus yang menimpa kaum hawa dinegeri kita. Mereka hidup merana dan batin tersiksa karena punya suami jauh dari agama, kurang amanah, tak bertanggung jawab dan tidak punya rasa takut kepada Allah. Sehingga sang istri yang bersuami tidak ada bedanya dengan hidup menjanda. Ia harus mengatur rumah, mencari nafkah, memasok kebutuhan keluarga, membiayai sekolah anak, dan merawat kesehatan anak dan dirinya serba mandiri. Bahkan terkadang suaminya minta uang kepadanya untuk membeli rokok atau berselingkung dengan pelacur, Naudzubillah mindzalik. Maka kepada laki-laki seperti ini Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
ولَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Artinya: “janganlah anda rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian anda menganiaya mereka barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 231).
Ibu Masuk Penjara Gara-gara Anak
Memiliki anak adalah buah hati, belahan jiwa dan perhiasan dunia, apalagi ketika si buah hati tumbuh besar menjadi anak saleh yang cerdas adalah keuntungan dan kebahagiaan. Sehingga anak menjadi simpanan abadi, tabungan akhirat dan kebanggaan orang tua selamanya, namun harapan tidak selamanya mulus, karena salah menempuh jalur hidup yang benar, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا ۞ إِنَّ السَّفِينَةَ لَا تَجْرِي عَلَى اليَبْسِ
Artinya: “Engkau berharap kesuksesan sementara tidak berjalan pada tempatnya. Sesungguhnya perahu tidak mungkin berlayar di daratan. “[6]
Ada sebuah kasus yang menimpa seorang wanita. Ia memiliki lima anak tapi harus mendekam di penjara. Ia tertangkap basah petugas saat sedang melakukan transaksi ganja. Pada saat saya mengisi kerohanian untuk para napi di LP wanita Tangerang, di sela-sela acara perkenalan, ada seorang ibu setengah baya sambil menangis mengadukan permasalahannya kepada saya. Ia benar-benar sedih dengan kondisi rumah tangga yang dialaminya.
Pasalnya, sang suami tidak bertanggung jawab, jauh dari agama, kasar terhadap anak dan istri, dan wataknya sangat keras. Bahkan selama lima tahun sudah tidak memberi nafkah materi maupun batin. Sang istri pun sering dipukuli dan dimintai uang untuk keperluan macam-macam.
Keinginan si ibu untuk mempunyai anak saleh yang bisa berbakti kepada kedua orang tuanya sangat tinggi. Ia tidak ingin anak-anaknya seperti bapaknya. Akhirnya, ia pun memutuskan memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Ia berharap, anak-anaknya menjadi saleh dan cerdas serta mengerti ilmu agama. Namun karena kondisi ekonominya yang sangat ekstrim, sang ibu yang sudah lelah mencari nafkah dengan cara halal, menempuh jalan pintas. Akhirnya ia terpaksa menjual rumput Aceh alias ganja untuk biaya pesantren anak-anak nya, maka benar sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ.
Artinya: “Sesungguhnya setiap umat ada fitnah (yang merusaknya) dan fitnah umatku dari harta. “[7]
Memang hal buruk dapat dengan mudah dijalani, apalagi di saat keimanan melemah dan kondisi hidup menekan dan hal itu menimpa seorang perempuan yang lemah akal dan agama. Ia menjadi sangat mudah terpengaruh rayuan dan godaan. Bahkan, di antara mereka ada yang melacurkan kehormatannya, hanya karena alasan ekonomi dan membiayai keluarga.
Banyak di antara para sahabat dan generasi salafus shalih yang kondisinya jauh lebih miskin, tapi tidak menjadikan mereka gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk mengais harta. Bahkan mereka tetap bertahan pada prinsipnya, walaupun rayuan iblis mengitarinya.
Kesabaran dan ketawakalan terkadang perlu terus dibina, diasah dan diasuh, terutama ketika menghadapi cobaan kemiskinan. Karena miskin dan kaya, derita dan bahagia, sehat dan sakit adalah ujian dari Allah untuk menguji hamba-Nya, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.
REFERENSI:
Dari “ Dr. Zaenal Abidin, Lc., M.M., Problem Solving Rumah Tangga,( Problematika Rumah Tangga, bagian 1), PT Rumah Media Imam Bonjol”. Diringkas oleh: Nurul Latifah
[1] Shahih: Diriwayatkan Imam at-Tarmidzi dalam Sunannya, no. 1084-1085
[2] Hasan: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 828.
[3] Lihat Uyunul Akhbar, Ibnu Qutaibah ad-Dinawari, 4/ 308.
[4] Harian Terbit, Jakarta, Selasa, 26 Juni 2007, tahun ke 34 No: 7795.
[5] HR. Bukhari, no 3006 dan Muslim, no. 1341
[6] Lihat Tafsir ruhul Ma’ani, al-Alusy, 4/395.
[7] Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 2148.
BACA JUGA :
Leave a Reply