Kapan Kita Tegas atau Lembut Dalam Mendidik Anak? – Pendidikan merupakan salah satu tonggak terpenting dalam membangun sebuah masyarakat yang baik. Diantara yang sangat penting pendidikan anak-anak adalah generasi masa mendatang. Bagaimana pendidikan yang anak terima saat ini itulah gambaran mereka di masa yang akan datang. Hadits diatas adalah sebuah konsep yang diberikan Rasulullah dalam Pendidikan anak. Darinya dapat kita ambil banyak pelajaran berharga. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersada:
مروا اولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليهم ابناء عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع
Artinya: “Perintahkan anak kalian untuk mengerjakan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah(jika mereka tidak mau shalat) saat mereka umur sepuluh tahun serta pisahkan tempat tidur mereka” (Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, sebagaimana tertera dalam al-Irwa’: 274)
Pertama, wajibnya orang tua memeberikan Pendidikan kepada anaknya semenjak kecil dan belum baligh, bahkan sebelum anak itu lahir. Dimulai dari orang tua harus menata dirinya dengan baik, saat dia memilih pasangan hidup yang tak lain adalah calon pendidik untuk anak-anaknya nanti, diteruskan saat anak masih dalam kandungan hingga persalinan usai. Proses Pendidikan ini akan terus berlanjut sampai anak telah dewasa, bahkan sampai anak menjadi orang tua yang akan meninggal dunia. Sebagaimana Rasulullah membangunkan Fatimah untuk sholat malam padahal tatkala itu ia sudah dewasa. Nabi Ya’qub pun menyempatkan diri mendidik anak-anaknya sesaat sebelum wafat dengan wasiat yang di abadikan Allah dalam surat al-Baqarah: 133. Wasiat tentang tauhid dan pemurnian ibadah hanya kepada Allah.
Kedua, yang diajarkan kepada anak-anak adalah mengenalkan kewajiban-kewajiban syar’i untuk dikerjakan, perkara yang haram untuk ditinggalkan, juga adab dan akhlak yang baik. Lebih dari itu semua adalah akidah Islam yang lurus. Karena apapun yang diterima oelh anak pada saat diamasih kecil, merupakan kebenaran yang akan dia Yakini. Anak yang terdidik disebuah lingkungan tertentu maka begitulah dia akan terbentuk dalam masyarakat mendatang.
Ketiga, umur tujuh tahun adalah umur tamyiz. Jika kita mengamati hubungan manusia sejak awal penciptaan sampai ke matiannya dengan masalah-masalah syar’i akan mengalami fase hidup:
- Dalam alam kandungan
Sejak janin ada di rahim ibu, seorang manusia dianggap telah ada. Oleh karna itu berlakulah beberapa hukum kemanusiaan. Diantaranya adalah janin tersebut dapat mewarisi jika ayah atau ibunya nmeninggal dunia meskipun dia belum lehir. Begitulah pula jika ada yang membunuhnya, misalnya perut iunya dipukul sampai dia gugur, maka si pemunuh wajib membayar diyat (denda).
- Sejak lahir sampai sebelum tamyiz .
Setelah anak lahir, dia adalah manusia yang sempurna. Berlaku padanya semua hukum yang berkaitan dengan manusia, semisal larangan dibunuh, wajib dijaga kehormatan dan darah nya. Hanya saja karena dia masih belum baligh dan akalnya masih lemah maka belum ada beban syari’at baginya .Belum diharamkan yang haram dan belum ada kewajiban atasnya.
Meski demikian wajib bagi wali dan orang tua nya untuk membinasakannya dalam kebaikan dan menghindar dari perbuatan haram. Agar anak tersebut terbiasa dengan nya.
- Mulai umur tamyiz sampai menjelang baligh.
Umur tamyiz adalah fase peralihan dari anak manusia yang masih bayi menuju baligh. Umur tersebut ditandai dengan anak sudai mulai bisa memahami beberapa perkara baik dan buruk untuk ukuran anak kecil, bisa diajak berpikir ringan dan yang semisalnya. Rata rata umur tamyiz adalah umur tujuh tahun, tapi bisa jadi kurang atau malah lebih. Karena satu anak dengan yang lainnya juga berbeda.
Karena itulah Rasulullah memerintahkan untuk mendidik anak shalat, maksimalnya saat anak umur 7 karena pada umur tersebut anak sudah bisa diarahkan dan dididik dengan baik. Anak pada usia ini telah bisa melaksanakan semua jenis ibadah.
- Umur baligh.
Dalam fase ini manusia telah memasuki masa sempurna, sehingga berlaku semua beban syari’at atasnya, juga kewajiban dan keharaman. Amal perbuatan pada umur inilah yang akan dipertanggung jawabkan nantinya pada hari Kiamat. Rasullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يعقل
Artinya: “Pena itu diangkat dari tiga orang:dari orang tidur sampai terbangun, dari anak kecil sampai baligh, dan dari orang gila sampai sadar.” (Shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dan jika manusia mengalami masa tua sampai hilang ingatan serta kesadarannya (masa pikun), sebenarnya dia kembali pada masa sebelum baligh. Terangkat dari semua beban syar’i.
Keempat, bolehnya mendidik dengan ketegasan jika diperlukan dan membawa maslahat. Memang, hukum asal Pendidikan itu dengan lembut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
ان الرفق لا يكون في شيء الا زانه ولا ينزع من شيء الا شانه
Artinya: “Tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HR. Muslim)
Karena memang secara fitrah manusia menyukai kelembutan. Dan dalam dunia pendidikan, jika jiwa merasa senang serta tentram, dengan mudah dia akan menerima apa yang disampaikan kepadanya. Namun ini bukan berarti tidak boleh bersikap keras sama sekali. Rasulullah saja membolehkan untuk memukul anak yang berusia sepuluh tahun dan tidak melaksanakan shalat jika sudah didik sejak kecil, sejak umur tujuh tahun dilatih sebagai pelajaran bagi dia. Namun sebagai orang tua harus pandai-pandai menepatkan diri, kapan kita harus bersikap keras dalam pendidikan anak-anaknya dan kapan harus bersikap lembut. Itulah sebagian hikmah (kebijaksanaan) yang allah berikan kepada hambanya.
Kelima, bolehnya memukul anak jika tidak membahayakan jiwa dan fisiknya serta dapat membawa maslahat. Namun yang harus diperhatikan bahwa memukul dan tindakan keras ini semata-mata bertujuan mendidik. Oleh karena itu jngan sampai merusak fisiknya. Jangan memukul bagian tubuh yang sensitif seperti wajah. Para ulama menggambarkan bahwa pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak sampai melukai kulit (membekas) dan tidak meretakkan tulang. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
ولا تضرب الوجه
Artinya: “Jangan memukul wajah.” (Hasan, diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud dan lainnya)
Keenam, umur sepuluh tahun ialah umur seorang anak yang sudah mulai bisa diajarkan mandiri dalam hidup. Terdapat satu isyarat kuat dalam hadits di atas, bahwa umur sepuluh tahun telah dianggap oleh Rasulullah bahwa seharusnya manusia sudah bisa mandiri. Dalam artian, dia bisa melakukan apa yang menjadi tugasnya tanpa selalu harus selalu menunggu perintah dari orang lain. Meskipun ini berarti bukan sudah tidak perlu diawasi dan tidak diperhaatikan. Pengawasan orang tua masih senantiasa diperlukan dlalm setiap kondisi, dan sampai dewasa sekalipun sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Ketujuh, saat anak-anak sudah bisa merasakan perbedaan jenis kelamin, bahwa laki-laki berbeda sekali dengan perempuan. Ini harus menjadi perhatian khusus bagi kedua orang tua supaya memisahkan tempat tidurnya. Jika Allah memeberikan kelapangan rezeki untuk memisahkan ruang tidur mereka masing-masing, itulah yang terbaik. Tapi apabila tidak mrmungkinkan maka minimalnya anak laki-laki terpisah (tidak satu tempat) dengan anak wanita. Dan hendaknya orang tua menjaga aurat mereka di hadapan saudranya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا ينظر الرجل االى عورة الرجل ولا المرءة الى عورة المرءة ولا يفضى الرجل الى الرجل في ثوب واحد ولا تفض المرءة الى المراة في الثوب الواحد
Artinya: “Tidaklah boleh seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Tidak boleh pula sesama laki-laki (berada dalam) satu selimut, demikian juga seorang wanita dengan sesama wanita.” (HR. Muslim)
Kedelapan, wajib menghindarkan anak dari fitnah syahwat sejak dini. Fitnah syahwat pada zaman ini sangatlah rawan. Apalagi didukung dengan berbagai fasilitas modern yang merasuki kehidupan kita tanpa bisa ditolak. Hendaknya orang tua sangat selektif dalam menghadapi masalah ini. Hendaknya kepada orang tua untuk benar-benar memperhatikan tanggung jawabnya selaku orang tua terhadap anaknya. Karna itu adalah amanah kepemimpinan yang Allah amanahkan kepadanya. Dan semua orang pasti akan mempertanggung jawabkannya nanti. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
كلكم راع، وكلكم مسئول عن رعيته، الامام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في اهله وهو مسئوول عن رعيته
Artinya:
“Setiap kalian adlah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya. seorang pengusaha adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya, dan seorang laki-laki adalah pemimpin dlam rumah tangganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya.” (HR. al-Bukhari, Muslim)
Cobalah kita kembali renungkan dan jadikan firman Allah dalam surat at-Tahrim ayat 6 sebagai pengingat akan amanah ini. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
يا ايها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, pelihara dirimu dan keluargamu dari api neraka yang ahan bakarnya adalalah manusia dan batu.” (Muttafaqun Alaih)
Anak adalah ujian hidup
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
واعلموا أنما أموالكم وأولادكم فتنة وأن الله عنده أجر عظيم
Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan. Dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)
Dia Subhanahu Wata’ala juga berfirman:
إنما اموالكم وأولادكم فتنة والله عنده أجر عظيم
Artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun : 15)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat di atas mengatakan : “Artinya (ia merupakan) cobaan dan ujian bagi kalian dari-Nya. Karena tatkala Dia memberikannya kepada beliau agar dia tau (dan Dia maha mengetahui) apakah kalian bersyukur kepadanya ats semua itu dan kalian menaatinya dengan semua itu, atau justru kalian sibuk dengan semua itu sehingga melalaikannya serta kalian tenggelam padanya dan meninggalkannya ?”
Oleh karenanya, Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan dengan berfirman:
يأيها الذين آمنو لا تلهكم أموالكم ولآ أولادكم عن ذكر الله و من يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan nak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barngsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al- Munafiqun: 9)
Anak bisa menjadi musuh
Dunia anak-anak terhadap kita ibarat pedang bermata dua. Salah satu sisinya menghadap lawan di hadapan kita, sedangkan satu sisi lainnya justru menhadap kita dan siap melukai bahkan menusuk kita saat kita lengah. Tatkala anak-anak memperdaya orang tuanya dan mengingat Allah , pada saat itulah mereka menjadi musuh baginya. Ibarat pedang yang satu sisinya menyerang pengayunnya. Allah menyebutkan :
يأيها الذين ءامنوا إن من أزواجكم وأولدكم عدوا لكم فاحذروهم وإن تعفوا وتصفحوا وتغفروا فإن الله غفور رحيم
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka hati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taghabun : 14)
Yang demikian itu sebab kadang-kadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya, atau untuk meninggalkan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Referensi :
Dibuat oleh : Ust. Ahmad Sabiq, LC
Ditulis ulang: Khoirunnisa
Majalah: al Mawaddah Majalah Keluarga Muslim- Dzulqo’dah 1434 H
BACA JUGA :
Leave a Reply