
Nabi Ayyub Lebih Mulia Ataukah Dirinya?
Adz-Dzahabi berkata: “Sesungguhnya Abu Qilabah merupakan orang yang diuji pada tubuh dan agamanya. Ia diminta untuk menjadi hakim namun enggan dan lari menuju Syam, kemudian meninggal di tempat yang bernama ‘Arîsy Mishr. Kedua tangan dan kakinya telah putus, matanya telah buta namun, dia tetap memuji dan bersyukur kepada Alloh.”[1]
Ibnu Hibban telah meriwayatkan kisah kesabarannya yang sangat luar biasa, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku mengenai kisah meninggalnya Abu Qilabah, Muhammad bin Al-Munkadir bin Sa`id, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Ya`qub bin Ishaq bin Al-Jarroh, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Al-Fadhl bin Isa dari Baqiyyah bin Al-laWalid ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Al-Auza`I, dari Abdulloh bin Muhammad ; ia berkata: “Aku pernah pergi menuju tepi laut untuk berjaga-jaga, yang pada saat itu kami menjaga
Abu Qilabah At-Tabi’i adalah seorang hamba Alloh Alloh yang sholih. Musibah yang menimpa dirinya tidaklah menghalanginya untuk senantiasa bersyukur dan memuji Alloh. Sekalipun ia telah kehilangan kedua kaki dan tangannya, sementara pandangan dan pendengarannya pun telah melemah, sehingga tidak ada lagi anggota badannya yang bermanfaat baginya selain lisannya, ia selalu memanjatkan puji syukur kepada Alloh . Senantiasa ia berucap: “Ya Alloh, limpahkanlah kepadaku karunia untuk selalu memuji-Mu dengan pujian yang sebanding dengan kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan yang dengannya telah Engkau utamakan diriku atas kebanyakan manusia.”
Tatkala ia ditanya oleh Abdulloh bin Muhammad (perowi kisah ini) mengenai doa yang senantiasa ia panjatkan kepada Alloh tersebut apakah merupakan sebuah pemahaman yang ia fahami, atau sebuah ilmu ataukah ilham yang telah diberikan kepadanya? Kenikmatan apakah yang karenanya ia senantiasa memuji Alloh, dan keutamaan apakah yang Alloh limpahkan sehingga ia perlu bersyukur kepada Alloh?
Abu Qilabah menjaawab: “Tidakkah engkau melihat apa yang telah diperbuat Tuhanku terhadap diriku? Demi Alloh, seandainya Alloh mengirimkan api dari langit hingga membakarku, memerintahkan gunung hingga menghancurkanku, serta memerintahkan laut untuk menenggelamkanku dan memerintahkan bumi untuk menelanku niscaya aku akan bertambah syukur kepada Alloh Tuhanku karena Dia telah mengaruniakan lisan ini kepadaku. Namun, wahai hamba Alloh. Berhubung engkau telah datang kepadaku, aku membutuhkan pertolonganmu. Telah engkau lihat aku dalam keadaan seperti apa, aku tidak mampu untuk memberikan madhorot maupun manfaat. Dulunya aku memiliki seorang anak yang senantiasa memperhatikanku di kala telah masuk waktu sholat. Dialah yang membantuku berwudhu, apabila aku lapar ialah yang memberiku makan, apabila aku kehausan maka ialah yang memberiku minum. Namun semenjak tiga hari aku telah kehilangan dirinya, tolong carikan dia. Semoga Alloh merahmati dirimu.”
Abdulloh bin Muhammad berkata: “Demi Alloh, tidaklah seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang lain yang lebih besar pahalanya di sisi Alloh daripada orang yang berusaha memenuhi kebutuhan orang seperti dirimu.”
Maka pergilah Abdulloh bin Muhammad mencari anak tersebut, belum jauh ia belalu ternyata diantara bukit-bukit pasir ia melihat anak tersebut telah dimangsa binatang buas. Maka iapun mengucapkan: “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji`ûn, bagaimana aku bisa membawa berita ini kepada orang tersebut dengan muca ceria? ”
Tatkala Abdulloh bin Muhammad pergi mendatangi Abu Qilabah, ia teringat kepada Nabi Ayyub . Ketika ia telah sampai dan mengucapkan salam kepadanya, maka Abu Qilabah menjawa salam seraya bertanya: “Bukankah engkau adalah sahabatku?” Abdulloh bin Muhammad menjawab: “Ya.” Abu Qilabah berkata: “Apa yang kau perbuat untuk membantu apa yang ku inginkan?” Abdulloh bin Muhammad menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Engkau lebih mulia di sisi Alloh ataukah Nabi Ayyub yang lebih mulia?” Abu Qilabah menjawab: “Nabi Ayyublah yang lebih mulia?” Abdulloh berkata: “Tahukah engkau apa yang Alloh perbuat terhadapnya? Bukankah Alloh telah mengujinya dengan kehilangan harta, keluarga dan anak?” Ia berkata: “Benar.” Abdulloh kembali bertanya: “Bagaimana Alloh mendapatinya?” Abu Qilabah menjawab: “Alloh mendapatinya dalam keadaan bersabar, bersyukur dan memuji Alloh.” Abdulloh berkata: “Ujian itu belum berhenti darinya hingga ia ditinggal sebagian kerabat dan orang-orang yang ia cintai.” Abu Qilabah berkata: “Benar.” Abdulloh berkata: “Bagaimana Alloh mendapatinya?” Abu Qilabah berkata: “Alloh mendapatinya dalam keadaan bersabar, bersyukur, dan memuji Alloh. Persingkatlah ucapanmu, semoga Alloh merahmatimu.”
Abdulloh bin Muhammad berkata: “Sesungguhnya anak yang engkau minta untuk aku cari telah aku dapati berada diantara bukit-bukit pasir telah dimangsa binatang buas. Semoga Alloh memberikan pahala yang besar kepadamu dan melimpahkan kesabaran kepadamu.” Maka Abu Qilabah berkata: “Segala puji bagi Alloh yang tidak menciptakan dari keturunannku orang yang durhaka kepada-Nya hingga akibatnya Dia mengadzabnya dengan neraka.” Kemudian Abu Qilabah mengucapkan istirjâ`: “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji`ûn,” dan mengambil nafas lalu meninggal dunia.
Abdulloh bin Muhammad berkata: “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji`ûn, Orang seperti ini jika aku tinggalkan pasti akan dimakan binatang buas, dan sungguh besar musibahku walaupun aku duduk menangis di samping kepalanya.”
Tatkala Abdulloh bin Muhammad sedang duduk, tiba-tiba datanglah kepadanya empat orang lelaki kemudian bertanya: “Bagaimana keadaanmu, dan bagaimana kisahmu?” Maka Abdulloh menceritakan kisahnya kepada mereka. Orang-orang tersebut berkata: “Singkapkanlah penutup wajahnya mungkin saja kami mengenalnya.” Tatkala wajahnya terbuka maka orang-orang tersebut menelungkup dan mencium mata serta tangannya.
Salah seorang diantara mereka berkata: “Inilah mata yang senantiasa tertutup dari melihat perkara-perkara diharamkan Alloh, tubuh yang senantiasa bersujud sementara manusia sedang tidur.” Abdulloh bin Muhammad bertanya: “Siapakah orang ini, semoga Alloh merahmati kalian?” Mereka menjawab: “Orang ini adalah Abu Qilabah Al-Jarmi, sahabat Ibnu Abbas. Ia adalah orang yang sangat cinta kepada Alloh dan Nabi Muhammad n .”
Tatkala mereka telah memandikannya, serta mengafaninya dengan kain yang mereka bawa dan menyolatkan serta menguburkannya, maka merekapun pergi sementara Abdulloh bin Muhammad kembali kepada penjagaannya. Ketika malam telah tiba, ia pun tidur dan bermimpi melihat Abu Qilabah berada diantara kebun surga dengan mengenakan perhiasan dari surga seraya membaca firman Alloh:
سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ (الرعد:24)
“Salâmun `alaikum bimâ shobartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ro`d: 24).
Abdulloh bin Muhammad berkata: “Bukankah engkau adalah sahabatku?” Maka Abu Qilabah yang ada dalam mimpinya tersebut berkata; “Ya.” Abdulloh bin Muhammad berkata: “Bagaimana engkau mendapatkan keutamaan ini?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Alloh memiliki beberapa tingkatan kedudukan yang hanya diberikan dengan kesabaran tatkala terjadi bencana, serta dengan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang yang disertai rasa takut kepada Alloh secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”[2]
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 07 Tahun 03
[1] Siyar min A`lâmin Nubalâ’: 4/ 475.
[2] Ats-Tsiqôt; Ibnu Hibban 5/ 502, Tasliyyatul Mushôb; Muhammad Muhammad, hal. 19-22
Leave a Reply