Muhasabah Terkait Diri Sendiri

Muhasabah Diri Sendiri

Muhasabah Terkait Diri Sendiri – Solusi bagi hati seorang mukmin yang dikuasai nafs ammarah ialah muhasabatun nafsi (introspeksi diri) dan melawannya.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Introspeksilah diri kalian sebelum kalian diintrospeksi, dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang (pada hari Kiamat). Mengoreksi diri pada hari ini (di dunia) akan meringankan hisab kelak (pada hari kiamat). Timbang-timbanglah (amal kalian) untuk hari Kiamat yang pada hari itu amal perbuatan kalian ditampakkan, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari kalian.[1]

Al-Hasan Rahimahullah berkata, “Seorang mukmin itu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. la selalu bermuhasabah karena Allah. Sesungguhnya hisab (perhitungan) pada hari kiamat akan ringan bagi kaum yang tidak dihisab pada saat itu.

Orang mukmin ketika dikejutkan oleh sesuatu dan kagum terhadapnya, ia akan berkata, Demi Allah, sesungguhnya aku menghendaki-Mu dan Engkau termasuk kebutuhanku. Akan tetapi, demi Allah, tiada tipu daya bagi-Mu, antara aku dan Engkau terdapat penghalang.”

Demikian pula ketika lalai, ia pun merenungi diri sembari berkata, ‘Aku tidak menginginkan hal ini. Ada apa denganku dan hal ini, demi Allah, aku tidak akan kembali melakukan ini selamanya.’

Orang-orang mukmin ialah kaum yang ditegakkan dan dicegah dari kebinasaan Al-Quran Orang mukmin bagaikan tawanan di dunia yang berusaha melepaskan belenggu dari lehernya la tidak merasa aman terhadap sesuatu pun hingga ia bertemu dengan Allah.

la menyadari, ia akan dimintai pertanggunganjawaban atas pendengaran penglihatan, lidah, dan anggota tubuhnya la akan dimintai pertanggunganjawaban atas semua itu.”

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati hamba yang berkata kepada nafsunya, “Bukankah engkau pemilik hal ini? Bukankah engkau pemilik hal ini? Lalu, ia mengikat dan memusnahkan nafsunya, kemudian memaksakan Kitabullahk terhadapnya, sehingga ia menjadi pemandunya.”

Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kiamat, ia tidak boleh melalaikan muhasabah dan harus menekan dalam setiap gerak dan diam nafsunya serta semua yang terlintas dalam hatinya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِن سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَاوَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا .

Artinya: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh..” (QS. Ali Imran: 30).

Dua Macam Muhasabah: Sebelum dan Sesudah Beramal

1. Muhasabah sebelum beramal

Yaitu merenungkan ketika pertama kali mempunyai keinginan dan kehendak la tidak tergesa-gesa mengerjakannya, sehingga tampak jelas baginya bahwa mengerjakan lebih baik daripada meninggalkannya.

Al-Hasan Rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati hamba yang berpikir terlebih dahulu ketika ia hendak bertindak. Jika hal itu karena Allah, ia akan melaksanakannya. Namun, jika hal itu karena selain-Nya, ia akan meninggalkannya.”

Sebagian dari mereka menjelaskan hal ini dengan berkata, “Kalau nafsu bergerak untuk mengerjakan suatu pekerjaan, ditambah lagi si empunya juga ingin melakukannya, ia berhenti dan berpikir terlebih dahulu, apakah ia bisa dan mampu atau tidak melakukan pekerjaan tersebut.

Pertama, jika ia tidak mampu, ia tidak akan melaksanakannya. Kedua, Jika ia mampu, ia akan berhenti sekali lagi untuk berpikir, apakah mengerjakan lebih baik daripada meninggalkannya? Atau, justru meninggalkannya lebih baik baginya daripada melaksanakannya?

Bila ternyata perkaranya jatuh pada yang kedua, ia akan meninggalkan dan tidak mengerjakannya. Namun, jika perkaranya jatuh pada yang pertama, ia akan berhenti untuk ketiga kalinya. Pertama, apakah motifnya ingin mengharap keridhaan Allah dan pahala Nya? Kedua, ataukah untuk menghendaki pangkat, pujian, dan harta dari makhluk?

Bila perkaranya jatuh pada yang kedua, ia tidak akan melaksanakannya, meskipun apa yang dicarinya melimpah Yang demikian itu, agar hati tidak terbiasa berbuat syirik dan merasa ringan beramal untuk selain Allah. Sebab, kadar kesyirikan yang paling ringan tersebut akan memberatkan jiwa beramal untuk Allah. Sehingga, beramal untuk Allah menjadi hal yang paling berat baginya.

Namun, bila perkaranya jatuh pada yang pertama, ia akan berpikir sekali lagi dan merenung, apakah ia akan didukung dan memiliki banyak penolong yang akan membantunya atau tidak, jika perbuatan tersebut membutuhkan hal itu? Bila ia tidak memiliki penolong, ia akan menundanya, sebagaimana halnya Nabi mengurungkan (niatnya) untuk berjihad di Mekkah hingga beliau mempunyai kekuatan dan penolong

Kalau ia mendapati dirinya didukung, hendaknya ia mengerjakannya. Dengan izin Allah, kesuksesan takkan lari darinya, kecuali salah satu dari perkara di atas tidak terpenuhi. Jika semuanya beres, kesuksesan tidak akan hilang.

Inilah empat tingkatan yang dibutuhkan seorang hamba untuk introspeksi diri sebelum bertindak.

2. Muhasabah setelah beramal

Muhasabah ini terbagi menjadi tiga:

Pertama, muhasabah atas suatu ketaatan yang di dalamnya tidak terpenuhi hak Allah se Sehingga, ia melaksanakannya dengan cara yang tidak semestinya Sementara itu, hak Allah dalam hal ketaatan ada enam: Ikhlas dalam beramal, nasihat bagi Allah, Itiba’ kepada Rasul memperlihatkan pertanda kebaikan dan anugerah Allah, serta melihat kekurangoptimalan dalam amalnya, setelah lima hal di atas.

Lalu ia introspeksi diri, apakah ia telah memenuhi hak tingkatan-tingkatan Selain itu, apakah ia telah melaksanakannya dalam ketaatan yang ia lakukan? ini?

Kedua, introspeksi diri terhadap setiap amal, dimana ketika meninggalkannya, ia anggap lebih baik daripada mengerjakannya.

Ketiga, introspeksi diri terhadap perbuatan mubah, untuk apa ia melakukannya? Apakah karena menginginkan ridha Allah dan negeri akhirat sehingga ia beruntung? Ataukah menginginkan dunia yang fana sehingga ia tidak akan mendapatkan keuntungan tersebut?

Hal terakhir yang memberatkan seseorang ialah meremehkan, tidak melakukan muhasabah, berlepas tangan, menganggap remeh semua hal lalu melaksanakannya. Perkara ini bisa mengantarkannya pada kebinasaan. Keadaan ini merupakan kondisi orang-orang tertipu yang menutup kedua mata dari segala akibat yang timbul dan pasrah pada ampunan. la mengabaikan introspeksi diri dan memikirkan tentang akibat perbuatannya.

Jika seseorang melakukan hal itu, ia akan mudah terjerumus ke dalam dosa-dosa, terbiasa dengannya, dan sulit melepaskannya. Bila ia menyadari, tentu ia akan tahu, menjaga itu lebih mudah daripada melepaskan dan meninggalkan kebiasaan.

Kesimpulan:

Hal pertama yang harus dilakukan seseorang ialah bermuhasabah terhadap semua ibadah-ibadah wajib. Bila ia teringat ada yang kurang, ia menyusulinya dengan qadha(mengganti) atau memperbaiki.

Kedua, muhasabah terhadap larangan-larangan. Apabila ia mengetahui pernah berbuat dosa, ia menyusulinya dengan taubat, istighfar, dan kebaikan-kebaikan yang bisa menghapus dosa.

Ketiga, melakukan muhasabah terhadap kelalaiannya. Bila ia pernah lalai untuk apa ia diciptakan, ia pun menyusulinya dengan zikir dan menghadap Allah

Keempat, melakukan muhasabah terhadap apa yang telah diucapkannya, yang dilangkahi kedua kakinya, yang dilakukan kedua tangannya, atau didengar kedua telinganya. Apa yang ia kehendaki dari semua hal ini? Mengapa ia melakukannya dan bagaimana caranya?

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْئلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. Maka demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” (QS. Al-Hijr: 92-93).

فَلَنَسْئَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْئَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ فَلَتَقُصَّنَّ عَلَيْهِم بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ

Artinya: “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (QS. Al-A’raf: 6-7).

لِيَسْأَلَ الصَّدِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا

Artinya: “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (QS. Al-Ahzab: 8).

Bila orang-orang yang benar saja ditanya dan dihisab atas kebenaran mereka, lantas bagaimana dengan para pembohong?

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8)

Muhammad Ibnu Jarir Rahimahullah menjelaskan, “Allah se akan berfirman, kemudian sungguh Dia akan bertanya kepada kalian tentang kenikmatan yang kalian pergunakan ketika di dunia: Apa yang kalian lakukan dengannya? Dari mana kalian peroleh? Untuk apa kalian pergunakan? Untuk apa kalian manfaatkan?”

Qatadah Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap hamba tentang kenikmatan-kenikmatan dan hak-hak-Nya yang Dia titipkan kepadanya.”

Kenikmatan yang ditanyakan ada dua jenis. Pertama, kenikmatan yang berasal dari barang halal dan dibelanjakan sesuai haknya, ia akan ditanya tentang syukumya. Kedua, kenikmatan yang berasal dari barang haram dan dibelanjakan tidak sebagaimana mestinya, ia akan ditanya tentang bagaimana cara memeroleh dan membelanjakannya.

Apabila seorang hamba akan diminta pertanggungjawaban dan perhitungan terhadap segala hal, hingga pendengaran, penglihatan, dan hatinya sekalipun, sebagaimana firman Allah asa, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mapainya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Al-Isra’, 36), maka sudah sepantasnya ia bermuhasabah sebelum hisab (pada hari kiamat) digelar.

Firman Allah Subhanahu Wata’ala berikut ini menunjukkan kewajiban introspeksi diri:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…” (QS. Al-Hasyr: 18).

Setiap orang seyogiyanya melihat amal perbuatan yang telah diperbuatnya untuk hari Kiamat. Apakah amalnya itu termasuk amal salih yang akan menyelamatkannya, ataukah justru termasuk amal jelek yang akan membinasakannya?

Qatadah Rahimahullah berkata: “Rabb kalian senantiasa mendekatkan hari Kiamat hingga menjadikannya seakan-akan terjadi esok hari”

Jadi, kebaikan hati tersebut bisa diraih dengan muhasabah, sementara kerusakannya disebabkan oleh meremehkan dan meninggalkan muhasabah.

REFERENSI:

Diambil dari buku Tazkiaatun Nafs (Penyucian Jiwa dalam Islam) terjemahan kitab Al-bahru Raiq fiz zuhdi war raqaaiq karya Dr. Ahmad Farid – Jakarta: Ummul Qura, 2012.

Oleh: Sahl Suyono (Staff Pengajar Ponpes Darul-Qur’an wal Hadis OKU Timur)


[1] HR. At-Tirmidzi

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.