Dari Imam Ibnu Qayyim rahimahumullah berkata, “Malu berasal dari kata hayaaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna’’. Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al- Anshari al-Badri rodiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ ممّا أَدْركَ النّاسُ مِن كَلاَم النُبُوَّة الأُولَى, إِذا لم تَسْتحْيِ فَاصْنَعْ ما شِئْتَ
Artinya: ‘’Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun menurun) dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu’’ (HR. Al-Bukhori)
Tentang malu:
Beberapa penjelasan hadist di atas:
إِذا لم تَسْتحْيِ فَاصْنَعْ ما شِئْتَ (Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu). Ini adalah kalimat para Nabi terdahulu. Malu adalah satu ungkapan tentang sebuah reaksi yang terjadi pada diri seseorang ketika terjadi perbuatan (buruk) yang membuatnya tercoreng atau akhlaknya tidak bagus (ketika melakukannya), lalu ia merasa risih (takut diketahui orang) dan timbullah malu.
Sabda beliau: إِذا لم تَسْتحْيِ (Jika engkau tidak malu), kemungkinan memiliki dua makna:
Pertama: Jika engkau tidak memiliki sifat malu, engkau akan melakukan apa pun sekehendakmu. Sehingga kata perintah di sini bermakna pemberitaan, karena ia tidak memiliki sifat malu sehingga ia melakukan suatu tindakan, baik yang merusak harga diri maupun tidak )ia tidak memperdulikan).
Kedua: Jika perbuatannya tidak memalukan, maka lakukanlah, jangan hiraukan siapa pun.
Jadi, pada kemungkinan makna pertama, rasa malu kembali kepada subjek, sedangkan makna yang kedua kembali kepada perbuatan (tindakan), sehingga maknanya ‘’ Jangan engkau tinggalkan suatu perbuatan pun yang tidak menyebabkan engkau merasa mmalualu’’.
Sabda beliau: فَاصْنَعْ ما شِئْتَ (Maka berbuatlah sesukamu), yakni lakukanlah. Untuk makna kedua, perintah di sini menunjukkan kebolehan, artinya jika perbuatan itu termasuk sesuatu yang tidak memalukan, maka tidak mengapa dilakukan. Dan untuk makna pertama, perintah di sini menunjukkan celaan, artinya jika engkau tidak memiliki sifat malu, engkau akan melakukan apa pun sekehendakmu.
Bahwa kalimat إِذا لم تَسْتحْيِ فَاصْنَعْ ما شِئْتَ (‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu), didapat dari umat-umat sebelumnya, karena ia adalah kalimat yang mengarah kepada sebaik-baik akhlak.
Pujian terhadap sifat malu, baik untuk makna yang pertama maupun yang kedua (seperti yang kita jelaskan sebelumnya). Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
الحَيَاءُ شُعْبَةٌ منَ الإِيْمانِ
Artinya: “Sifat malu itu adalah termasuk salah satu cabang keimanan” (HR. Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanu ‘Adadi Syu’abil Imaan wa Afdhaluhaa wa Adnaaba, wa Fadhiilatul Hayaa, wa Kaunuhu minal Iimaan (no.35 (58))
Sifat malu ini ada dua macam:
Pertama: yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala
Kedua: yang berhubungan dengan hak manusia
Adapun yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala, maka engkau harus malu kepada-Nya. Allah menyaksikanmu ketika engaku melanggar larangan-Nya dan tidak melaksankan perintah-Nya.
Dan malu yang berkaitan dengan hak manusia, maka caranya engkau menahan diri dari setiap tindakan yang menyelisihi kesopanan dan budi pekerti yang baik. Misalnya didalam majlis ilmu, jika seseorang yang ada di barisan pertama melonjorkan kakinya, maka orang ini dianggap tidak memiliki rasa malu, karena ia menyelisihi kesopanan, namun jika majlis tersebut berubah perkumpulan bersama teman-temanya, maka hal ini tidak menyelisihi kesopanan. Meskipun demikia, yang lebih utama baginya adalah meminta idzin dan berkata: Apakah kalian mengidzinkanku melonjorkan kedua kakiku?’’
Kemudian berdasarkan sisi lain, sifat malu juga terbagi menjadi dua:
Pertama: sebagaian manusia ada yang Allah beri sifat malu, sehingga Anda dapati dirinya sangat pemalu sejak kecilnya, ia tidak berbicara kecuali hal yang penting saja, maka berbuat sesuatu kecuali ketika diperlukan, karena ia sangat pemalu.
Kedua: diperoleh dengan cara membiasakannya, artinya ia tidak memiliki sifat malu sebelumya, ia asal bicara dan banyak tingkah, kemudian ia berteman dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan mulia lalu ia mendapatkan kebaikan dari mereka.
Dan macam yang pertama lebih utama, yaitu sifat malu secara alamiah.
Akan tetapi ketahuilah bahwa malu merupakan sifat terpuji, kecuali sifat malu ini mencegah seseorang melakukan kewajiban, dan menjerumuskannya kepada perkara yang haram. Jika hal ini terjadi, maka sifat malunya ini menjadi tercela. Misalnya, karena malu seseorang enggan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar padahal termasuk kewajibannya, maka malu seperti ini tercela.
Ingkarilah kemungkaran, jangan engkau pedulikan, tentunya kemungkaran tersebut berada pada tingkatan yang wajib diingkari, sesuai dengan syarat dan tingkatan pengingkaran.
Adapun malu yang terpuji adalah malu yang tidak menyebabkan pemiliknya meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman.
Keutamaan malu:
- Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الحياء لا يأتي إلاّ بِخير
Artinya: ‘’Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata ‘’(HR. Muttafaq ‘alaihi)
- Malu adalah cabang keimanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الحَيَاءُ شُعْبَةٌ منَ الإِيْمانِ
Artinya : “Sifat malu itu adalah termasuk salah satu cabang keimanan” HR. Muslim,
- Malu adalah akhlak Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ لِكُل دِيْن خُلُقا و خَلْقٌ الإسْلام الحياء
‘’Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu’’. (HR. Ibnu Majah.no: 4181)
- Malu sebagai pencegah pemiliknya dari berbuat maksiat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْه, فَإنّ الحياء من الإيمان
‘’Biarkan dia, karena malu termasuk iman’’. (HR. Al-Bukhori:6118)
- Malu akan mengantarkan seseorang dari surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الحياء من الإيمان و الإيمان في الجنّة
Artinya: ‘’Malu adalah bagian dari iman, sedangkan iman tempatnya di surga…” (HR. Ahmad, no: 501)
- Malu senantiasa diiringi dengan keimanan, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الحياء و الإيمان قُرِنَ جميعًا, فإذا رُفِع أحدُهُما رُفِع الأخر
Artinya: ‘’Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya’’ (HR. Al-Hakim, no:22)
- Malu adalah pewaris para Nabi
Catatan: Bahwa di antara moral seseorang yang tidak memiliki sifat malu, ia akan melakukan apapun yang diinginkannya tanpa peduli. Ada orang yang tanpa rasa malu berbuat sesuatu yang memalukan, sehingga Anda dapati orang-orang membicarakannya: “Fulanah tidak mempunyai rasa malu. Dia telah melakukan ini, ini dan ini. Semoga, kita bisa sama-sama mengamalkan ilmu ini. Aamiin
Referensi:
Karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Syarah Hadist Arba’in
Peringkas: Nensi Lestari (pengajar ponpes Darul Qur’an wal Hadist OKU Timur, Sumatra Selatan)
BACA JUGA:
Leave a Reply