MENETAPKAN SIFAT DUA MATA BAGI ALLAH –Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala memiliki dua mata sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala tetapkan di dalam firman-Nya:
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
Artinya: “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam (penglihatan) Mata Kami.” (QS. At-Thur: 48).
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ (13) تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا جَزَاءً لِمَنْ كَانَ كُفِرَ (14)
Artinya: “Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan pengawasan (mata) Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh).” (QS. Al-Qomar: 13-14).
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
Artinya: “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dariKu dan supaya kamu diasuh di bawah (pengwasan) Mataku.” (QS. Toha: 39).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin Rahimahullah mengatakan dalam syarah Kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa Syaikhul Islam menyebutkan tiga ayat di atas untuk menetapkan dua mata bagi Allah.
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
Artinya: “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam (penglihatan) Mata Kami.” (QS. At-Thur: 48).
Perintah ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (الصبر) Sabar berarti menahan. Dikatakan dibunuh dalam keadaan sabar, yakni dibunuh setelah sebelumnya ditahan. Jadi sabar secara bahasa adalah menahan.
Secara syar’i mereka berkata, Sabar terhadap hukum-hukum Allah berarti menahan diri untuk (tunduk kepada) hukum-hukum-Nya.
Hukum-hukum Allah ada dua: Syar’iyah dan kauniyah. Hukum syar’iyah adalah perintah dan larangan. Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah sabar dalam menjalankan perintahNya dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepadaNya adalah sabar terhadap laranganNya. Dan kauniyah adalah takdir-takdir Allah, takdir dan ketetapanNya mesti dihadapi dengan sabar.
Inilah makna ucapan sebagian ulama, sabar terdiri dari tiga bagian: sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dan sabar dalam menghadapi takdir Allah yang pahit.
Firman-Nya, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu.” Mencakup ketiga bagiannya.
- Sabar dalam ketaatan kepada Allah.
- Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepadaNya.
- Sabar dalam menghadapi takdir Allah.
Yakni bersabarlah terhadap hukum Rabbu, baik yang syar’i atau yang kauni.
Dengan ini kita mengetahui bahwa pembagian yang disebutkan oleh ulama bahwa sabar terdiri dari tiga bagian, Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam menghindari kemaksiatan kepada Allah dan sabar dalam menghadapi takdir Allah adalah termasuk ke dalam firman Allah, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabar di atas hukum Allah, akan tetapi dia bersabar dengan kesabaran seorang Mukmin yang meyakini bahwa akibat baik akan menjadi miliknya, karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
Artinya: “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu, maka se sungguhnya kamu berada dalam (penglihatan) Mata Kami.” (QS. At-Thur: 48).
Ini adalah penghormatan dan perhatian yang paling berharga bagi seseorang di mana anda berkata kepadanya, ‘kamu di kedua mataku’, ‘kamu di hatiku’ dan sebagainya.
“Kamu berada dalam (penglihatan) Mata Kami” berarti Aku memperhatikanmu dengan kedua mataKu. Ini adalah ungkapan yang dikenal di kalangan manusia. Penjagaan, perlindungan dan perhatian yang sempurna dengan ungkapan seperti ini, kamu di ke dua mataku’.
Jadi FirmanNya, فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَ)) berarti kamu sangat terjaga dan sangat terlindungi.
Ayat yang mulia ini menetapkan “Mata” bagi Allah, hanya saja ia hadir dalam bentuk jamak, kami akan membahasnya, insya Allah. Mata termasuk sifat dzatiyah khabariyah. Dzatiyah karena Allah menyandang sifat ini sejak zaman azali sampai abadi, dan khabariyah karena bagi kita, itu adalah bagian.
Bagi kita mata adalah bagian dari wajah, wajah adalah bagian dari badan akan tetapi bagi Allah kita tidak boleh mengatakan bah wa ia adalah bagian dari Allah, karena seperti yang telah dijelaskan bahwa lafazh ini tidak disebutkan dalam nash (dalil), dan bahwa ia berarti membagi-bagi sang Khaliq dan bahwa bagian adalah sesuatu yang apabila ia hilang tidak menghilangkan seluruh bagian yang lain dan bisa pula menghilangkannya, padahal sifat Allah tidak akan pernah hilang selama-lamanya, akan tetapi Dia kekal.
Hadits shahih dari Rasulullah menunjukkan bahwa Allah hanya mempunyai dua mata saja. Nabi menyebutkan sifat Dajjal dengan sabda beliau,
إنّه أعور, وإنّ ربكم ليس بأعور.
Artinya: “Sesungguhnya dia itu buta sebelah dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah.” [1]
Dalam lafazh lain,
أعور العين اليمنى
Artinya: “Dia buta mata kanannya.” [2]
Sebagian orang berkata, makna أعور adalah cacat bukan picek mata.
Jelas ini adalah pembelokan makna, dan pura-pura tidak tahu terhadap lafazh yang shahih yang ada dalam riwayat al-Bukhari dan lainnya,
أعور العين اليمنى, كأنّ عينه عنبة طافية
Artinya: “Dia buta mata kanannya, matanya seperti biji anggur yang menonjol.[3] Ini jelas.
Tidak dikatakan dalam bahasa Arab, kecuali untuk buta (sebelah) mata. Lain halnya apabila dikatakan atau , ia mung kin bermakna cacat dalam bentuk apa pun.
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah hanya mempunyai dua mata saja. Titik pengambilan dalilnya adalah bahwa seandainya Allah mempunyai lebih dari dua mata, niscaya penjelasan dengannya lebih jelas daripada penjelasan dengan picek sebelah, karena jika Allah mempunyai lebih dari dua mata niscaya Nabi akan bersabda, “Sesungguhnya Rabb kalian memiliki beberapa mata.” Karena jika Allah memiliki lebih dari dua mata, niscaya kejelasan bahwa Dajjal bukanlah tuhan menjadi lebih jelas, Juga; kalau seandainya Allah memiliki lebih dari dua mata, niscaya hal itu termasuk kesempurnaanNya dan tidak disinggung nya hal tersebut berarti meninggalkan pujian kepadaNya, karena jumlah banyak menunjukkan kekuatan dan kesempurnaan, sean dainya Allah mempunyai lebih dari dua mata niscaya Nabi akan mengatakannya agar kesempurnaan Allah ini tidak lepas dari kita, yaitu yang lebih dari dua mata. Ibnul Qayyim dalam ash-Shawa iq al-Mursalah menurunkan sebuah hadits, hanya saja ia dhaif karena munqathi’ yaitu,
إنّ العبد إذا قام في الصلاة قام بين عيني الرحمان
“Sesungguhnya apabila seorang hamba berdiri di dalam shalat, maka dia berdiri di hadapan kedua mata ar-Rahman.” [4]
عيني (kedua mata), hanya saja hadits ini dhaif, sedangkan yang kami pegang dalam akidah hanyalah hadits yang shahih, yaitu hadits Dajjal, ia jelas bagi siapa yang mencermatinya.
Hal itu telah disebutkan oleh Utsman bin Sa’id ad-Darimi di dalam bantahannya terhadap Bisyr al-Marisi, juga Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid. Ijma’ Salaf atas hal tersebut dinyatakan pula oleh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Bakar al-Baqillani. Jadi, masa lah ini adalah jelas.
Jadi, akidah yang kami pegang sebagai agama terhadap Allah adalah bahwa Allah mempunyai dua mata saja, tidak lebih. Jika dikatakan, di antara Salaf ada yang menafsirkan Firman Allah, (بأعيننا) dengan mengatakan, “dengan penglihatan dari kami”. Ini adalah tafsir para imam Salaf yang terkenal sementara kalian mengatakan bahwa tahrif adalah haram dan dilarang. Bagaimana jawaban anda?
Jawab: Mereka menafsirkannya dengan makna yang menjadi konsekuensi dengan tetap menetapkan pokoknya yaitu mata, se mentara ahli tahrif mengatakan, ‘dengan penglihatan dari kami’, tanpa menetapkan mata dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengata kan ‘dengan penglihatan dari kami dengan menetapkan mata.
Menyebut mata di sini lebih kuat dan lebih tegas daripada menyebutkan sekedar melihat, oleh karena itu Allah berfirman, فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَ))
Al-Mu’aththilah berkata, Kalian menyerang kami habis-habis an dengan mengerahkan semua serangan dalam mengingkari takwil kami, sementara kalian sendiri melakukan hal tersebut, dimana kalian telah mengeluarkan ayat dari zahirnya. Allah berfirman, فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَ)), ambillah zahirnya, apabila kalian mengambil makna zahirnya niscaya kalian kafir. Jika kalian tidak mengambil makna zahirnya, maka kalian terjatuh kepada kontradiksi. Sekali waktu kalian berkata, takwil boleh, lain waktu kalian berkata, tidak boleh dengan menyatakannya sebagai tahrif. Bukankah ini adalah sikap mengutak atik agama Allah?
Kami menjawab, Kami berpegang kepada zahir tanpa ragu dan bimbang. Itulah jalan kami, kami tidak akan menyelisihinya.
Mereka berkata, Yang zahir dari ayat ini adalah bahwa Muhammad di mata Allah, di tengah-tengahnya seperti kamu katakan زيد بالبيت (Zaid di rumah). Huruf ba’ adalah zharfiyah (keterangan tempat), jadi Zaid di dalam rumah. Dari sini, maka Firman Allah, (بأعيننا) yakni di dalam Mata Kami. Kalau ini pendapat kalian maka kalian kafir karena kalian menjadikan Allah sebagai tempat bagi makhluk. Jadi kalian adalah hululiyah. Jika kalian menolak berarti kalian terjatuh kepada kontradiksi.
Kami jawab: naudzubillah kemudian naudzubillah kemudian naudzubillah jika apa yang kalian katakan itu adalah zahir al-Qur’an dan jika kalian yakini bahwa ini adalah zahir al-Qur’an, maka ka lian telah kafir, karena barangsiapa yang meyakini bahwa zahir al Qur’an adalah kekufuran dan kesesatan, berarti dia kafir dan sesat.
Bertaubatlah kepada Allah dari ucapan kalian; bahwa ini ada lah zahir lafazh. Bertanyalah kepada ahli bahasa, penyair dan orator Apakah ungkapan seperti ini maksudnya adalah bahwa orang yang dilihat dengan mata berada di dalam kelopak mata? Tanyakan ke pada siapa pun da ri ahli bahasa, baik yang hidup atau yang mati
Jika kamu melihat gaya bahasa Arab, niscaya kamu menge tahui bahwa makna yang mereka katakan dan mereka paksa kami untuk menerimanya tidak terdapat di dalam bahasa Arab, apalagi ia dinisbatkan kepada Allah. Penisbatannya kepada Allah adalah kekufuran dan kemungkaran, di samping ia telah mungkar dan segi bahasa, syariat dan akal.
Jika dikatakan, dengan apa kalian menafsirkan ba` pada Firman Allah (بأعيننا).
Kami katakan, Kami menafsirkannya dengan penyertaan (al–Mushahabah). Bila anda berkata, kamu di mataku, maka ia berarti mataku menyertaimu, melihat kepadamu dan tidak terpisah darimu Jadi maknanya adalah bahwa Allah berfirman kepada NabiNya “Bersabarlah kepada hukum Allah karena engkau dilingkupi oleh perhatian Kami dan penglihatan Kami kepadamu dengan mata sehingga tidak seorang pun menimpakan keburukan kepadamu.”
Ba’ di sini tidak mungkin menunjukkan zharfiyah (keterangan tempat), karena hal itu berarti bahwa Rasulullah berada di dalam mata Allah dan ini mustahil. Di samping itu Allah berfirman kepada Rasulullah sementara Rasulullah berada di bumi. Bila kalian ber kata, dia di dalam mata Allah, berarti kandungan al-Qur’an adalah dusta. Ini adalah argumentasi lain tentang batalnya anggapan bahwa secara zahir Rasulullah berada di dalam mata Allah.
Demikian penjelasan ayat pertama, in syaa Allah lanjut ke bagian ke dua. Allahu a’lam bishshowwab.
REFERENSI:
Diringkas Oleh: Sahl Suyono
Dari Kitab Syarh Aqidah Wasithiyah Karya Syaikh AL-Utsaimin, Buku Induk Akidah Islam, Penerbit Darul Haq.
[1] HR. Al-Bukhari
[2] HR. Al-Bukhari
[3] HR. Al-Bukhari
[4] Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam as-sawaiq, no. 256; al-Albani berkata dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no. 1024: “Dhaif sekali.”
Baca juga artikel:
Leave a Reply