Macam-Macam Ilmu (Bab 2)

macam-macam ilmu

Macam-Macam Ilmu (Bab 2)-Segala puji hanya milik Allah rabb alam semesta, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada utusan-Nya nabi kita Muhammad, sholawat juga untuk para keluarga dan para sahabat beliau.

Lanjutan pada pembahasan kali ini adalah adab di atas ilmu bab Fadhilah Ilmu lanjut Hal 68

Cabang Masalah kedua: Mempelajari Persiapan Suatu Kewajiban

Jika belum waktunya suatu kewajiban itu dilakukan apakah mempelajari tata cara berwudhu, sholat, dan sebagainya, itu masih tetap di haruskan ?

Dalam masalah ini, keharusan mempelajarinya itu tidak luntur. Artinya, mempelajari segala sesuatu terlebih dahulu, sebagai persiapan, itu sangat baik untuk dilakukan sebagai bekal untuk melaksanakan suatu kewajiban.

Misalnya, saat hari jumat, mereka yang rumahnya jauh dari masjid, diharuskan berangkat lebih awal meskipun kewajiban waktu sholat jumat belum tiba.

Dengan demikian, jika kewajiban itu bersifat harus dilakukan dengan segera, maka mempelajari persiapan-persiapan untuk mengerjakannya pun  harus disegerakan pula. Namum, jika suatu kewajiban itu di tangguhkan waktu pelaksanaannya, (seperti ibadah haji, yakni sampai semua syaratnya terpenuhi), maka mempelajari persiapan-persiapannya boleh di tangguhkan.

Adapun mempelajari tentang arah mata angin untuk mengetahui kebaradaan kiblat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa mempelajarinya itu termasuk ilmu wajib ‘aini. Sebagian yang lain menyatakan bahwa itu wajib kaffah’i. Dan , menurut madzhab yang shahih, itu hukumnya fardhu kifayah. Kecuali bagi mereka yang akan melakukan perjalanan. Sebab, mereka membutuhkannya agar tidak tersesat arah.

Cabang Masalah Ketiga: Mempelajari Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Pernikahan

Imam al-Haramain dan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa bagi mereka yang akan menikah, mempelajari tata cara menikah dan syarat-syaratnya adalah hukumnya wajib. Meskipun ada yang mengatakan bahwa mempelajarinya tidak wajib. Bahkan, tidak boleh langung mempelajarinya sebelum mengetahui syarat-syaratnya telebih dahulu. Hal tersebut dapat dibenarkan. Contoh yang lain, misalnya sholat sunnah, karena ada banyak macam dan berbeda-beda pelaksanaanya. Dalam hal ini, tidak dapat dibenarkan langsung melakukannya sebelum mempelajari tata cara pelaksanaanya telebih dahulu.

Cabang Masalah Keempat: Mempelajari Tentang halal dan Haram

Mengetahui tentang halal dan haram dari makanan yang kita makan, minuman yang kita minum, pakaian yang kita kenakan, dan sebagainya itu hukumnya wajib. Begitu juga mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan cara memperlakukan wanita bagi laki-laki yang telah beristri. Sama wajibnya pula mengetahui hak-hak pegawai, bagi orang-orang yang memiliki pegawai.

Cabang Masalah Kelima; Mengajarkan Anak-Anak Sebelum Usia Baligh

Imam syafi’i dan para pengikutnya menyatakan bahwa orang tua wajib mengajarkan kepada anak-anaknya tentang hal-hal yang akan menjadi kewajiban mereka saat umur mereka memasuki usia baligh nanti. Misalnya, mengajarkan tata cara bersuci, tata cara sholat, puasa, dan sebagainya.

Orang tua juga wajib mengajarkan anak-anaknya tentang hal-hal yang haram untuk mereka lakukan. Seperti, haramnya berzina, mencuri, mengkonsumsi barang-barang yang memabukan, berbohong, mefitnah orang lain, dan sebagainya. Serta memberi pengetahuan bahwa usia baligh akan mengantarkan mereka untuk menerima beban (taklif) ajaran-ajaran agama.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa model belajar seperti ini (mengajarkan anak-anak tentang hal-hal yang wajib dan haram sebelum usia baligh) hukumnya tidaklah wajib, melainkan hanya dianjurkan (mustahab). Namum, menurut madzhab yang shahih, hukumnya adalah wajib. Begitu pula wajib hukumnya mengajarkan mereka tentang caranya menggunakan harta dengan baik.

Adapun yang hukumnya dianjurkan adalah seperti mengajarkan mereka tantang tata cara membaca Al-Qur’an prihal ilmu fiqh dan adab, serta membekali mereka dengan pengetahuan tentang hal-hal yang sebaiknya dilakukan dalam menjalani kehidupannya.

Dalil-dalil yang menjelaskan tentang kewajiban mengajarkan anak-anak atau orang yang dibawa pengawasan kita, di antaranya, adalah firman Allah. Dalam surah At-Tharim : 6

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At- Tharim : 6)

Selain dari Al-Qur’an, dalil yang mewajibkan mengajarkan mereka adalah pernyataan Ali Bin Abi Thalib. Bahwa , ”ajarkan anak-anak kalian tentang apa saja yang bisa menyelamatkan mereka dari siska neraka.” ini adalah dalil yang sangat jelas tentang kewajiban para orang tua untuk mengajarkan anak-anak mereka.
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” Aku menduga Ibnu ‘Umar menyebutkan: “Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban  atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhori No 844).

Mengenai biaya belajar, dapat diambilkan dari harta sang anak. Namum, jika sang anak tidak memiliki harta, dapat diambilkan dari harta orang-orang yang memiliki kewajiban untuk menafkaihinya.

Tentang siapa yang memiliki kewajiban pertama kali memberikan pendidikan, imam syafi’i juga para ulama yang mengikutinya menyatakan bahwa ibu adalah orang pertama yang berkewajiban untuk mengajarkan dan mendidik anak-anakny.

Cabang Masalah keenam: Mempelajari tentang penyakit hati

Ilum hati adalah sebuah pengetahuan yang mengkaji tentang penyakit-penyakit hati, seperti hasud, sombong, dan sebagainya. Mengenai kewajiban mempelajari tentang ilmu hati ini, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa: “Mengetahui tentang batasan-batasan penyakit hati, sebab-sebab yang menimbulkanya, serta segala penawar yang dapat menyembuhkannya, itu hukumya fardu ‘Ain.”

Dalam hal ini, mempelajari tentang ilmu hati menurut Imam Al-Ghazali adalah termasuk ilmu wajib ‘Aini. Namun, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa rezeki terbaik adalah memiliki hati yang bersih. Senantiasa menjaganya agar terhindar dari penyakit penyakit hati tersebut itu sudah cukup. Sebab, ketika seorang mampu menjaga hatinya, ia tidak lagi mempelajari tentang obat-obat penawarnya. Dan, jika hatinya ternoda, dan ia mampu menyucikanya, maka ia harus menyucikanya tanpa perlu berlarut-larut mempelajari kiat-kiat menyucikan hati.

Sama halnya dengan meninggalkan zina atau larangan yang lainya. Cukup dengan meninggalkanya saja, tanpa perlu berlama-lama mempelajari tentang dalil-dalil yang mengharamkannya. Namun, jika larangan berzina dan larangan-larangan yang lainnya tidak bisa dipahami dengan b.aik dan benar kecuali dengan dalil-dalil yang mengharamkannya, maka dalam kondisi ini mempelajari dengan detail dalil-dalil tersebut hukumnya menjadi wajib. “Wallahu A’alm”

b. Ilmu Wajib Kafa’i (fardhu Kifayah)

               Maksud dari ilmu wajib kafa’i adalah ilmu-ilmu yang hukum mempelajarinya tidak harus dilakukan oleh setiap orang, namum jika telah ada orang lain yang mempelajarinya, itu sudah cukup (fardhu kifayah). Yaitu, ilmu-ilmu yang sifatnya dapat untuk memperkaya Khazanah keagamaan atau tentang ilmu eksak demi kebaikan hidup didunia.

               Ilmu wajib kafa’i yang dapat memperkaya khazanah keagamaan ialah seperti menghapal Al-Qur’an, mempelajari ilmu hadits, ilmu usul fiqh, ilmu fiqh, ilmu gramatik bahasa arab tentang sintaksis dan morfologi, mengetahui periwayat hadits tentang ijma’ , dan juga masalah-masalah khilafiah.

Adapun ilmu eksak dimaksudkan untuk menunjang kestabilan hidup didunia. Misalnya, diantaranya ilmu eksak tersebut ialah mempelajari ilmu kedokteran dan ilmu matetatika. Mengenai ilmu yang mempelajari tentang produksi barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidup, para ulama berbeda pendapat. Imam haramain dan Imam Al-Ghazali, dalam masalah ini, keduanya menyatakan bahwa ilmu tersebut tidak masuk dalam katagori ilmu wajib kafa’i.

Para pengikut madzhab Imam Syafi’i menjelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan Ilmu wajib kafa’i adalah suatu ilmu yang jika sebagian orang telah mendalaminya, maka sebagian yang lain telah gugur kewajibanya untuk mempelajari ilmu tersebut. Dalam praktik ibadah, misalnya tentang pengurusan jenazah, jika ada beberapa orang yang telah melakukannya, maka itu sudah cukup. Namun, jika semuanya memilih mundur, artinya tidak ada satu orang pun yang mengurus keperluan jenazah, maka semuanya akan mendapat dosa. Hal yang perlu diingat ialah jika mereka yang meninggalkan kewajiban fardhu kifayah ini memang bukan ahlinya, dan atau karena ada halangan yang mendesak, maka mereka tidak mendapat dosa. Bersambung…

REFERENSI:

Di Tulis Oleh      : Imam Nawawi

Di Ringkas Oleh   : Muqbil , Gantha Putra Wijaya

Di Ambil Dari      : Buku Abab Di Atas Ilmu/ Januari 2021 M

Baca juga artikel:

Kesalahan Dalam Berdoa

Mengatasi Perselisihan Dalam Organisasi

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.