Hukum Seputar Memberi Nama Anak

HUKUM SEPUTAR MEMBERI NAMA ANAK

Para pembaca yang budiman. Anak adalah salah satu aset terpenting yang Allah karuniakan kepada pasangan suami istri. Dengan kehadirannyalah terasa indah dan nikmatnya hidup yang Allah berikan kepada kita. Dengannya pulalah bertambah nikmat Allah yang harus kita syukuri setiap saatnya. Pun dengan kehadirannya juga, setiap pasangan dituntut untuk mengetahui cara-cara dalam merawat, menjaga dan mendidik seorang anak.

Pada artikel kali ini, kita akan membahas sebuah buku yang ditulis oleh seorang ulama yang terkenal dengan sebutan Ibnul Qayyim -semoga Allah merahmatinya-. Buku ini memiliki judul asli yaitu Tuhfathul Maudud bi ahkamil maulud. Buku ini adalah tulisan Ibnul Qayyim kepada anaknya, sebagai hadiah akan kelahiran dari anak (cucu Ibnul Qayyim) seperti yang dijelaskan dalam muqaddimah buku ini. Alhamdulillah, buku yang sangat direkomendasikan bagi para orang tua ini bisa kita ringkas dalam beberapa artikel ke depan. Mari kita simak paparan beliau dan kita agak sedikit melompat ke bab VIII.

  1. Waktu Pemberian Nama

Al-Khallal menyebutkan dalam kitab Jami’ pada bab “Pemberian Nama Sang Anak, bahwasanya Abdul Malik bin Abdul Hamid mengabarkan kepadanya, “Ketika kami sedang berdiskusi, terlontar sebuah pertanyaan, pada usia berapakah seorang anak diberi nama oleh orang tuanya?” Abu Abdillah berkata kepada mereka, “Hadits yang kuat dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi yakni Anas bin Malik, bahwasanya seorang anak diberi nama pada hari ketiga dari kelahirannya. Sedangkan hadits dari Samurah menyatakan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh. Sehingga, pemberian nama bagi sang anak itu ditetapkan pada hari ketujuh dari kelahirannya.”

Ibnul Mundzir dalam kitab beliau yang berjudul al-Ausath menulis sebuah bab yang berjudul “Tentang Pemberian Anak pada Hari Ketujuh dari Kelahirannya.” Di sana ia menyebutkan sebuah hadits dari Rasulullahbahwa beliau memerintahkan untuk memberikan nama pada hari ketujuh. Yakni hadits Ibnu Ishq dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya, ia menuturkan, “Rasulullah memerintahkan, ketika seorang anak berusia tujuh hari dari kelahirannya, agar diberi anama, diaqiqahi, dan dibuang kotorannya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit, dari Anas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((وُلد لي الليلة غلام, فسميته باسم أبي إبراهيم))

Artinya: ‘Semalam aku dikaruniai seorang berupa kelahiran seorang anak laki-laki, maka aku namakan ia dengan nama orang tuaku yakni Ibrahim.’[1]

Az-Zubair bin Bakkar bin Abdillah, seorang hakim kota Madinah menyebutkan dari para gurunya bahwa ibunda Ibrahim melahirkan di Aliyah (daerah dataran tinggi kota Madinah). Ibrahim diaqiqahi dengan seekor qibaspada hari ketujuh dan dicukur rambutnya oleh Abu Hindun, kemudian berat rambutnya tersebut dinilai dengan perak untuk disedekahkan kepada orang-orang yang miskin. Setelah itu rambutnya diperintahkan agar dipendam di dalam tanah, dan pada hari itu pula ia diberi nama.

  • Nama-nama yang Dianjurkan dan Nama-nama yang Dimakruhkan

Dari sahabat Abu Darda’ -semoga Allah meridhainya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  bersabda:

((إنكم تُدعون يوم القيامة بأسمائكم, و بأسماء آبائكم, فأحسنوا أسماءكم))

Artinya: ‘Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari Kiamat kelak dengan nama-nama kalian dan nama bapak-bapak kalian, maka perbaguslah nama-nama kalian.’[2]

  •       Dari Ibnu Umar -semoga Allah meridhai mereka berdua-, ia berkata: “Rasulullah

Dari sahabat Abu Darda’ -semoga Allah meridhainya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  bersabda:

((إن أحب أسمائكم إلى الله, عبد الله وعبد الرحمن))

Artinya: ‘Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.’[3]

Dari Jabir bin Abdillah -semoga Allah meridhai mereka berdua-, ia menuturkan: “Salah seorang di antara kami mendapatkan karunia dengan kelahiran seorang anak laki-laki, lalu diberinya nama al-Qasim. Kami berkata kepadanya, ‘Kami tidak akan memanggilmu Abul Qasim, dan tidak ada kemuliaan bagimu.’ Berita ini pun sampai kepada Nabi, maka beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((سم ابنك عبد الرحمن))

Artinya: ‘Namailah anakmu dengan nama Abdurrahman.’[4]

Dari Abu Wahb al-Jusyami -semoga Allah meridhainya-, ia menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((تسموا بأسماء الأنبياء, وأحب الأسماء إلى الله عز وجل: عبد الله وعبد الرحمن, وأصدقها: حارث وهمام, وأقبحها: حرب ومرة))

Artinya: ‘Namailah anak-anak kalian dengan nama para Nabi. Nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman; nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam; sedangkan nama yang paling jelek adalah Harb dan Murrah.’[5]

Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Para ulama sepakat atas dianjurkannya nama yang disandarkan kepada nama Allah, seperti Abdullah, Abdurrahman, dan yang semisalnya.” Namun, para ulama fikih berbeda pendapat tentang nama yang paling dicintai Allah. Sementara jumhur ulama berpendapat bahwa nama yang paling dicintai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman. Hadits shahih juga menunjukkan nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.

  1. Nama yang Makruh dan Haram

Mengenai nama yang makruh dan nama yang diharamkan untuk disandang, Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Para ulama telah bersepakat mengenai keharaman memakai setiap nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Uzza, Abdu Hubal, Abdu Amr, Abdul Kakbah, dan yang semisal itu, kecuali Abdul Muththalib.” Demikian pula tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama Abdu Ali, Abdu Husein dan sebagainya.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan sebuah hadits, dari Yazid bin Miqdam bin Syuraih meriwayatkan kepada kami dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dari kakeknya yaitu Hani bin Yazid, ia bercerita:

((وُفد على النبي قوم, فسمعهم يسمون رجلا عبد الحجر, فقال له ما اسمك؟ فقال: عبد الحجر, فقال له رسول الله: إنما أنت عبد الله.))

Artinya: “Ada sebuah kaum yang diutus kepada Nabi, lalu beliau mendengar mereka memanggil seorang temannya dengan nama Abdul Hajar (hamba batu), beliau pun bertanya kepadanya: ‘Siapa namamu?’ ‘Abdul Hajar’ Jawabnya. Maka Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya kamu itu Abdullah (hamba Allah).’”[6]

Jika timbul pertanyaan, bagaimana para ulama bersepakat terhadap keharaman nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, padahal telah shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

((تعس عبد الدينار وتعس عبد الدرهام وتعس عبد الخميصة وتعس عبد القطيفة))

Artinya: “Celakalah Abdul Dinar, dan celakalah Abdul Dirham, dan celakalah Abdul Khamishah, dan celakalah Abdul Qathifah.”[7]

Juga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((أنا النبي لا كذب أنا ابن عبد المطلب))

Artinya: “Aku ini seorang Nabi yang tak berdusta, aku adalah putra (keturunan) Abdul Muththalib.”[8]

Jawabannya adalah, mengenai sabda Nabi “Celaka Abdul Dinar..” bukan menyangkut masalah nama, tetapi tertuju pada sifat dan doa keburukan atas orang yang hatinya condong menyembah dinar dan dirham (harta benda), bahkan ia lebih rela menyembahnya daripada beribadah kepada Allah. Dalam hal ini Nabi menyebutkan perihal materi berupa uang (dinar dan dirham) serta pakaian (khamishah dan qathifah), karena keduanya merupakan keindahan lahir dan bathin.

Adapun sabda Nabi ((أنا ابن عبد المطلب)) “Aku adalah keturuan Abdul Muththalib.” Pernyataan ini bukanlah untuk membuat sebuah penamaan yang baru, namun merupakan sebuah pemberitahuan dengan sebuah nama yang telah dikenal luas bagi pemilik nama tersebut, bukan bagi yang lainnya. Adapun pemberitahuan dengan nama seperti ini untuk memperkenalkan pemilik nama tersebut tidaklah diharamkan.

Karenanya, apa yang dikhususkan Ibnu Hazm terhadapmnama Abdul Muththalib, itu tidak berdasar. Pasalnya, para Sahabat juga biasa menamakan Bani Abdus Syams (keturunan hamba matahari) dan Bani Abdud dar (keturuan hamba rumah) sebagaimana adanya nama tersebut. Nabi tidak mengingkari mereka. Maka, masalah pemberitahuan tersebut lebih luas cakupannya daripada masalah pemberian nama yang baru. Sebab, ada sesuatu yang dibolehkan dalam masalah pemberitahuan, tetapi tidak diperbolehkan dalam masalah pemberian nama yang baru.

  • Nama yang Haram

Adapun nama yang diharamkan di antaranya Malikul Muluk (Raja bagi segala raja), Sulthanus salathin (Penguasa dari para penguasa), dan Syahan Syah (bahasa non Arab, semakna dengan Malikul muluk). Dalam Shahihain terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- dari Nabi, beliau Shallallahu Alaihi Wasallambersabda:

((أخنع الأسماء عند الله رجل تسمي ملك الملوك))

Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang kamu beri nama dengan Malikul Muluk (Raja bagi para raja).”[9]

  • Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim, Dari sahabat Abu Darda’ -semoga Allah meridhainya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu bersabda:

((أغيظ رجل عند الله يوم القيامة وأخبثه رجل كان يُسمى ملك الأملاك, لا ملك إلا الله))

Artinya:

“Seseorang yang paling dimurkai dan apa yang paling jelek di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang yang menyandang nama Malikul Amlak (Raja Diraja), karena tidak ada Malik selain Allah.”[10]

Sebagian ulama menyebutkan: “Senada dengan makna hadits di atas nama yang dimakruhkan, yaitu memberi nama dengan Qadhiul Qudhah (Qadhi bagi semua qadhi), Hakimul Hukkam (Hakim bagi segala hakim). Karena pada hakikatnya, Hakimul Hukkam adalah Allah.” Namun para ulama yang ahli ibadah dan keutamaan berhati-hati dalam mengategorikan lafazh Qadhiul Qudhah dan Hakimul Hukkam termasuk nama yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, yaitu nama Malikul Muluk dengan dasar qiyas. Hal ini hanyalah masalah qiyas.

Ibnul Qayyim -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Diharamkan pula memberi nama dengan Sayyidun Nas (tuan manusia) dan Sayyidul Kull (tuan segalanya), sebagaimana diharamkan pula menyandang gelar Sayyidul Walad Adam (panutan keturunan anak Adam), karena gelar ini tidak ada yang berhak nenyandangnya kecuali Rasulullah. Beliau panutan anak keturunan Adam, maka tidak boleh bagi siapa pun menyandangkan gelar tersebut kepada selain beliau.

  • Nama yang Makruh

Nama yang dimakruhkan di antara disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari Samurah bin Jundub, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((لا تسمين غلامك يسارا, ولا رباحا, ولا أفلح, فإنك تقول: أثم هو؟ فلا يكون, فيقول: لا. إنما هن أربع فلا تزيدن علي))

Artinya: “Janganlah kami sekali-kali memberi nama anak-anakmu dengan nama Yasar (mudah), Rabah (untung), Najah (sukses), dan Aflah (menang), karena jika kamu bertanya kepada seseorang, ‘Apakah ia berada di sana?’ Ternyata ia tidak ada di sana, maka kamu menjawabnya, ‘Tidak ada.’[11] Hanya empat nama itu saja, tidak ada tambahan lagi.” Kalimat terakhir ini bukan perkataan Rasulullah, namun perkataan perawi (Samurah).

               Dari Jabir bin Abdillah -semoga Allah meridhai mereka berdua- ia bercerita:

((أراد النبي صلى الله عليه وسلم أن ينهى عن أن يسمى بيعلى وببركة وبأفلح وبيسار وبنافع ونحو ذلك ، ثم رأيته سكت بعد عنها، ثم قبض ولم ينه عن ذلك ، ثم أراد عمر أن ينهى عن ذلك ثم تركه))

Artinya: “Nabi hendak melarang seorang memberi nama dengan Ya’la (tinggi), Barakah (berkah), Aflah (menang), Yasar (mudah), Nafi’ (bermanfaat), dan yang semisalnya. Kemudian setelah itu, aku melihat beliau diam (membiarkannya), dan tidak berkomentar apa-apa. Sampai Rasulullah wafat, beliau tidak melarangnya. Kemudian Umar -semoga Allah meridhainya- pun hendak melarangnya, namun ia tidak melakukannya.”[12]

Menurut Ibnul Qayyim -semoga Allah merahmatinya-, semakna dengan hadits-hadits di atas yaitu nama Mubarak, Muflih, Khair, Surur, Ni’mah, dan nama-nama lain yang semakna dengannya. Pasalnya, makna yang terkandung di dalam keempat nama yang disebutkan oleh Nabi di atas, dapat ditemukan di dalam nama-nama tersebut. Alasannya, jika seseorang menanyakan: “Apakah di sampingmu ada Khair (kebaikan) dan nama yang lainnya?” Kemudian orang itu menjawab, “Tidak ada.”, maka hati pun akan muak dan hengkang darinya. Dengan demikian, menurut logikan, hal ini termasuk dalam kategori hal-hal ang tidak disukai.

Insyaallah, bersambung ke artikel berikutnya.

Referensi:

Qayyim, Ibnu (2022). Hanya Untukmu Anakku. (Harianto, terjemahan). Hal: 162-185. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii.

Disusun oleh: Tamim Abu Zubair, S.T. (Staff Ponpes DQH OKU Timur)

Baca juga artikel:

Allah Maha Keras SIksanya

Hukum Bagi Pelaku Dosa Besar


[1] HR. Muslim no. 2315.

[2] HR. Abu Dawud no. 4948. Hadits ini dilemahkan oleh sebagian para ulama’.

[3] HR. Muslim no. 2132.

[4] HR. Al-Bukhari no. 6189, 6187, dan 6186 dan Muslim no. 2133.

[5] HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 814 dan selainnya.

[6] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/665/5952).

[7] HR. Al-Bukhari no. 2886 dari hadits Abu Hurairah.

[8] HR. Al-Bukhari no. 2864 dan Muslim no. 1776 dari hadits al-Bara’ bin Azib.

[9] HR. Al-Bukhari no. 6206 dan Muslim (2143/20).

[10] HR. Muslim (2143/21).

[11] HR. Muslim no. 2137.

[12] HR. Muslim no. 2138.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.