Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka – Bismilah segala puji bagi Allah atas segala nikmatnya yang terus menerus karunia-karuniaNya yang senantiasa mengucur. Sholawat beserta salam semoga sellau tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam untuk kepada para sahabatnya, keluarganya serta orang-orang setia kepada beliau.
Salah satu sistem jual beli yang kini berkembang, yaitu pemberlakuan uang panjar sebagai tanda pengikat kesepakatan. Biasa pula disebut dengan DP (Dwon Of Paymant), atau uang muka. Biasa disebut dengan istilah “tanda jadi”. Bagaimanakah tinjauan syari’at terhadap sistem panjar ini? Selanjutnya disebut dengan uang muka.
PENGERTIAN UANG MUKA
Panjar (DP) dalam bahasa Arab adalah al’urbuun (العربون ). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) al urban (ا لأربان ) secara bahasa artinya, kata jadi transaksi dalam jual beli
Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang di bayarkan di muka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan mengatakan : “Apabila saya ambil barang tersebut, maka (uang muka) ini sebagai bagian dari nilai harga. Dan bila saya membatalkannya (tidak jadi membelinya), maka uang ini menjadi milik anda (penjual)
Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan, apabila si pembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran, dan bila membatalkan pembeliannya, maka uang muka itu menjadi milik penjual.
Secara ringkas, sistem jual beli seperti ini dikenal di tengah masyarakat kita dengan sebutan pembayaran DP atau uang jadi ( istilah jawa panjer). Wallahu a’lam.
HUKUM JUAL BELI DENGAN UANG MUKA
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan di kalangan para ulama, yang terbagi dalam dua pendapat.
- Yang berpendapat jual beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.
Al Khathabi mengatakan, ” para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya jual beli ini. Malik, Syafi’i mengatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena terdapat syarat fasad (rusak) dan al gharar (spekulasi). Juga, jual beli seperti ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian juga Ash-habur-Ra’yu (madzhab Abu Hanifah, pen) Menilai jual beli seperti ini tidak sah.
Ibnu Qudamah mengatakan, demikianlah pendapat Imam Maalik, asy-Syafi’i dan Ash-habur Ra’yu dan juga diriwayatkan dari Ibnu ‘ Abbas dan al Hasan al Bashri.
Yang menjadi argumentasi pendapat ini, diantaranya sebagai berikut ini.
- Hadits Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع العربان قال مالك وذلك فيما نرى
والله أعلم أن يشتري الرجل العبد أو يتكارى الدابة ثم يقول أعطيك دينارا على
أني إن تركت السلعة أو الكراء فما أعطيتك لك
Artinya: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik berkata:” Dan inilah yang kita lihat wallahualam seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan, kemudian berkata saya berikan kepadamu satu Dinar dengan ketentuan, apabila Saya membatalkan atau tidak jadi membeli atau tidak jadi menyewanya, maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu”. (Hadits dho’if, HR. Ahmad, dll)
- Jenis jual beli dengan uang muka, termasuk dalam katagori memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan oleh si penjual tanpa ada kompensasinya.
Adapun memakan harta orang lain, haram sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala :
يا ايها الذين ءا منو لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجرة عن
تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم ر حيما
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu: Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ / 4: 29)
Dalam jual beli dengan sistem uang muka tersebut, terdapat dua syarat yang menunjukkan kebatilannya. Pertama, syarat memberikan uang Panjar. Kedua, syarat mengembalikan barang transaksi, dengan perkiraan salah satu pihak tidak Ridho. Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui. Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak salah. Demikian juga apabila dikatakan” Saya mempunyai hak memilih. Terserah kapan saya ingin mengembalikan kan dengan tanpa dikembalikan uang pembayarannya”. Menurut Ibnu Qudamah, demikian ini menunjukkan kias. Pendapat ini di rajihkan asy-syaukami sebagaimana pernyataan beliau:” yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama, karena dalam hadits Amru bin Syu’aib terdapat beberapa Jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga, karena dalam jual-beli seperti ini terdapat larangan, dan hadis yang mengandung larangan Sebagaimana telah jelas dalam Ushul fiqih yang menjadi illat atau sebab hukum larangan ini ialah, jual beli seperti ini mengandung dua syarat yang fasid. Pertama, syarat menyerahkan kepada penjual harta atau uang muka secara gratis apabila pembeli batal membelinya. Kedua, syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila si pembeli tidak ada keinginan untuk membelinya.
- Pendapat yang menyatakan jual beli dengan uang muka diperbolehkan.
Inilah pendapat mazhab Hambali yah. Dan diriwayatkan bolehnya jual-beli ini dari Umar, Ibnu Umar Said bin al-musayyib dan Muhammad bin Sirin.
Sebelum Imam Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan, Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu, Sedangkan ini merupakan pendapat Umar, yaitu bolehnya jual-beli dengan uang muka.
PENDAPAT PARA UALAM KONTEMPORER
Syekh Abdul Aziz Bin baaz pernah di tanya: ” Bagaimana hukum melaksanakan jual beli sistem Panjar apabila belum sempurna jual belinya? Bentuknya yaitu, 2 orang melakukan transaksi jual-beli titik Apabila jual beli telah sempurna, maka pembeli melunasi nilai pembayarannya. Dan bila pembeli batal melakukan pembelian, Makasih penjual mengambil uang muka tersebut, dan tidak mengembalikannya kepada pembeli? ”
Pertanyaan ini di jawab oleh Syaikh Abdul Azis bin Baaz sebagai berikut : ” tidak mengapa mengambil DP ( uang muka) tersebut, menurut pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama. Apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu, dan jual belinya tidak di lanjutkan ( tidak di sempurnakan )”.
Lajnah Daimah lil-Buhuts al ilmiyah wal-ifta ( komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa) kerajaan Saudi Arabia, menyebutkan dalam fatwanya sebagai berikut
- Fatwa no. 9388.
Pertanyaan : Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (‘urbuun) dari pembeli? Dan jika pembeli batal membelinya atau mengembalikan pembeliannya, apakah secara hukum syariat si penjual berhak mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada si pembeli?
Jawaban: Apabila keadannya demikian, maka dibolehkan bagi si penjual untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli menurut pendapat yang rajih apabila keduanya telah sepakat untuk itu.
- Fatwa no. 19637
Pertanyaan : Al ‘urbuun sudah dikenal dengan penyebutan uang muka sedikit, dan diserahkan pada waktu pembeli berfungsi sebagai tanda jadi, sehingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak para ulama penjual yang mengambil harta Panjar ketika pelunasan pembayaran gagal. Bagaimana hukumnya?
Jawaban : jual beli dengan DP diperbolehkan titik jual beli ini dengan membawa seorang pembeli kepada penjual atau agennya atau wakilnya sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang tersebut Setelah selesai transaksi, sebagai jaminan barang. Ini dilakukan agar selain si pembeli tersebut tidak mengambilnya, dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung sebagai bagian dari pembayaran. Dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya.
Jual beli dengan uang muka ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya. Dan secara syar’i, penjual memiliki hak menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang diperbolehkannya jual beli urbun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin al-khattab. Imam Ahmad menyatakan jual beli seperti ini boleh, dan Ibnu Umar juga memperbolehkannya. Sa’id Bin al- musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan: “diperbolehkan bila ia tidak ingin, untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta”.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari nabi yang berbunyi :
نهى رسو ل الله صلى الله عليه وسلم عن بيع العربان
Artinya: “Rasulullah melarang jual beli dengan uang muka.” ( ini merupakan hadits lemah (dhaif). Imam Ahmad dan selainnya telah mendhaifkan, sehingga (hadits ini) tidak bisa dijadikan sandaran”) .
Majlis fikih islam, dalan seminar ke-8 berkesimpulan dibolehkannya jual-beli dengan uang muka. Berikut ini ketetapan-ketetapan yang telah disepakati.
Pertama. Yang dimaksud dengan jual beli dengan uang muka adalah, menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual, dengan syarat bila pembeli jadi mengambil barang tersebut maka uang muka tersebut termasuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau si pembeli tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang ( muka yang telah di bayarkan) tersebut menjadi milik penjual titik transaksi ini, selain berlaku untuk jual beli, juga berlaku untuk sewa menyewa. Karena, menyewa berarti membeli fasilitas.
Diantara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem uang muka adalah jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad atau serah terima keduanya. Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua . Jual beli dengan uang muka dibolehkan, bila waktu menunggunya dibatasi secara pasti titik uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran bila sudah dibayar lunas, dan menjadi milik penjual, bila pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual-beli Nya, maka itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah, sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda:
من أقال مسلما أقاله الله عثرته
Artinya: “Barang siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim, maka Allah akan membebaskan dirinya dari kesalahan dan dosanya”. (Shahih, HR. Abu Dawud (3460))
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena mengetahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual, dan si penjual menerimanya kembali( tanpa mengambil sesuatu dari pembeli)
Demikian permasalahan jual beli dengan pembelian uang muka. Mudah mudahan bermanfaat bagi saya dan kita semua wallahu a’lam.
REFERENSI:
Ditulis oleh: ustadz Abu Asma’ Kholid Syamhudi dari majalah As – Sunnah edisi 11 /Tahun X / 1428 H / 2007 M
Diringkas oleh : Atsiilah Adrid Saputri (Ustadzah pengabdian Ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)
BACA JUGA:
Kenikmatan yang berujung bencana
kumpulan berbagai ceramah singkat dan kajian Islam
Leave a Reply