Salah satu fenomena yang terjadi pada jual beli dalam perekonomian saat ini selain terjadinya riba (tambahan), gharar (penipuan), ghisysy (curang), dan juga ihtikar (penimbunan barang). Pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai ihtikar atau penimbunan barang, sebelum kita membahas lebih dalam, ada baiknya kita mengetahui apa itu ihtikar.
Di antara transaksi yang mendzolimi orang banyak adalah menimbun barang. Aksi menimbun barang dengan tujuan menguasai pasar dan menentukan harga sekehendaknya telah dilakukan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan aksi ini di sebut dengan ihtikar. Akan tetapi mengingat aksi ini tetap dipraktekkan pada masa sekarang dan objeknya lebih luas lagi, yaitu meliputi ; bahan makanan, mata uang, bahan bakar, bahkan harga tiket pun menjadi bahan yang bisa ditimbun, maka perlu untuk menjelaskan hukumnya dari tinjauan syar’i.
Bagaimana hukum ihtikar itu sendiri dalam islam? Islam tidak melarang pedagang meraup laba sebesar-besarnya dari usaha niaga yang dilakukan, selagi tidak melanggar hak-hak Allah dan tidak merugikan orang lain, baik individu maupun khalayak ramai [1]. Namun di antara cara memperoleh laba yang merugikan orang lain adalah ihtikar. Dimana sekolompok orang menguasai hajat orang banyak dan menetapkan harga semaunya sendiri, dengan cara membeli barang kebutuhan yang dibutuhkan dengan sebanyak-banyaknya lalu ditimbun. Pada saat barang tersebut langkah di pasar dan harganya melambung naik sangat tinggi di saat itulah mereka baru mengeluarkan dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi, dengan demikian mereka memperoleh laba yang sangat besar.
Jika kenaikan tersebut tanpa adanya rekayasa oleh sekelompok orang atau terjadi murni karena jumlah barang sedikit akibat gagal panen atau jumlah permintaan ynag tinggi pada musim tertentu oleh konsumen, tentu keuntungan dari penjualan dengan harga tinggu sesuai dengan harga pasar pada waktu itu adalah halal. Dan laba yang besar itu adalaah rezeki dari Allah untuk para pedagang.
Pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harga bahan-bahan makanan melambung tinggi, maka beberapa sahabat mengadu kepada Rasulullah meminta bantuan beliau untuk mematok harga.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَا بِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ , وَإِنِّي لَأَ رْجُوْ أَنْ أَلْقَ الله وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
يُطَالِبُنِيْ بِمَظْلَمَةٍ فِيْ دَمٍ وَلَا مَالٍ
Artinya: “sesungguhnya, hanya Allah yang menetapkan harga, dia yang menahan, dia yang menghamparkan dan dia yang memberi rezeki. Sesungguhnya aku berharap dapat menmui Allah (di akhirat) tanpa seorangpun menuntut balasan kezaliman yang aku lakukan terhadap harta dan jiwa (karena menzalimi pedagang dengan menetapkan harga yang tentunya mengurangi laba untuk mereka)”. (HR.Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Oleh karena besarnya dampak ihtikar terhadap rakyat banyak maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencap pelakunya sebagai pendosa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻻَيَحْتَكِرُ إِﻻَّ خَاطِئٌ
Artinya: “ihtikar tidak akan dilakukan kecuali oleh seorang pendosa”. (HR. Muslim)
Selain di cap sebagai pendosa, pelaku ihtikar panats dilemparkan ke dalam jurang neraka yang dalam, karena dia telah menyusahkan orang banyak untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehinga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk melemparkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di hari kiamat”. (HR. Ahmad. Al-Arnauth berkata, “sanad hadis ini jayyid”) .
Namun bagaimanakah hukumnya menyimpan bahan makanan untuk menabung setahun atau hari esok, apakah termasuk ihtikar?
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada keluarganya yang berada dalam tanggungannya pada hari esok, lusa atau kedepannya. Apakah masih mampu atau tidak, dan sekalipun dia mampu apakah dia bisa mencukupi kebutuhan pokok atau tidak. Maka sudah menjadi tabiat manusia membeli makanan pokok sebanyak mungkin pada saat harga murah dan menyimpannya selama beberapa bulan hingga panen mendatang. Namun apakah tindakan ini dapat digolongkan ihtikar dan dilarang dalam islam ?
Contoh : jika jumlah yang disimpannya kurang dari satu nishab zakat, yaitu 20 dinar (+/-85kg) emas dan 300 sha’(+/-617kg) makanan pokok semua para ulama sepakat hukumnya boleh, karena harta di bawah nishab zakat di anggap sedikit[2]. Bila mencapai nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Jika tidak dikeluarkan maka harta yang disimpan tersebut akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya. Allah berfirman dalam Q.S At-Taubah: 34-35 .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahnnya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 34-35).
Namun jika harta yang disimpan telah dibayarkan zakatnya maka harta tersebut boleh disimpan seberapapun jumlahnya, jika tidak merusak harga pasar dan tidak ada niat untuk mencari keuntungan dan kelangkaan barang.
Bagaimanakah jika menyimpan barang untuk dijual pada saat harga naik, apakah termasuk ihtikar ?
Para ulama sepakat bahwa ihtikar diharamkan karena merugikan khalayak ramai. Dimana perilaku tersebut membuat barang langka dan harga naik melambung tinggi[3]. Jika seorang pedagang membeli barang pada saat murah, kalau disimpan hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, maka perilaku ini tidak termasuk dengan ihtikar. Mengenai dibolehkannya karena sebanding dengan bertabahnya biaya operasional penyimpanan barang hingga saat barang dijual. Dan ini merupakan salah satu siasat dagang yang diperbolehkan.
Imam malik di tanya mengenai aksi orang yang menyimpan barang, yang aksinya tidak menganggu harga pasar . Maka ia menjawab, “ aksi tersebut diperbolehkan selagi tidak merusak harga pasar”[4].
Dalam Takmilat Al Majmu’ juga dijelaskan, “ihtikar yang diharamkan, yaitu: membeli barang pada saat harga naik dan di timbun agar harganya lebih tinggi lagi… Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen ) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, maka tidaklah diharamkan[5].”
Diriwayatkan bahwa Abu Zinad mempertanyakan aksi Sa’id Al Musayyib ( wafat : 94 H ) menyimpan bahan makanan pokok, padahal dia yang meriwayatkan hadis larangan ihtikar. Ibnul Musayyib menjawab,
“ini bukanlah ihtikar, yang dimaksud Nabi dengan ihtikar adalah membeli barang pada saat harga tinggi dan aksi ini tentu akan menambah harga menjadi lebih tinggi lagi. Adapun membeli barang pada saat harga murah lalu disimpan hingga harganya naik dan dia jual saat masyarakat ramai membutuhkan, maka perbuatan ini adalah suatu kebajikan”. (Atsar ini diriwayatkan oleh Baihaqi).
Ibnul Musayyib menganggap Tindakan ini sebuah kebajikan. Jika hal ini tidak dilakukan tentulah barang sangat langka di luar musim panen dan harga tinggi. Sebaliknya, pada musim panen harga rendah bahkan akan terbuang percuma. Akibat bila tidak dilakukan maka bisa menyebabkan mubazir.
Ada 2 pendapat tentang objek ihtikar, yang pertama tidak boleh menimbun makanan pokok saja, pendapat ini merupakan pendapat dari mazhab Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Pendapat kedua ihtikar mutlak tidak boleh apapun jenisnya, ini merupakan pendapat dari mazhab Maliki.
Sanksi Pelaku Ihtikar
Pada dasarnya islam tidak mengekang kebebasan para pedagang mencari laba. Akan tetapi bila usaha pencarian laba merugikan orang banyak dengan cara ihtikar, maka ulama sepakat bahwa pihak yang berwenang berhak memaksa pelaku ihtikar menjual barang yang ditimbun dengan hargayang dipatok oleh pihak berwenang sehingga tidak merugikan orang banyak. Bila pelaku tidak melakukannya ia boleh dipenjara hingga mau menjual barangnya. [6]
Semoga kita dihindarkan dari segala bentuk sikap yang tercela dari jual beli atau bermuamalah, dan bisa mencari pekerjaan yang halal dan berkah, serta mempermudah urusan setiap muslim. Amiin Allahumma Amiin.
Referensi: buku “Harta Haram Muamalat Kontemporer”, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA
Di ringkas oleh Marisa Daniati (pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
[1] Dr. Abdullah Al Mushlih dan Dr.Shalah As-Shawi’, Ma la yasu’at tajir jahluhu, hal.64
[2] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid II, hal 347.
[3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid II, hal 91.
[4] Al Mudawwanah Al Kubra, jilis X, hal 291.
[5] Al Muthi’I, jilid XIII, hal 44.
[6] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid II, hal 95.
BACA JUGA:
Leave a Reply