Dukun adalah Pencuri Aqidah – Akhir-akhir ini masalah perdukunan mulai banyak dikulik dan dicari tahu. Padahal, fenomena perdukunan bukanlah hal baru. Bisa jadi karena masih banyak yang belum tahu apa sebenarnya hakikat perdukunan dalam pandangan Islam. Semoga tulisan ringkas berikut ini bisa memberikan sedikit sumbangsih wawasan dalam hal tersebut.
Beberapa waktu terakhir ini lini masa di media sosial diramaikan dengan berita seseorang yang membongkar trik dan rahasia para dukun di Indonesia. Dukun, yang pada dasarnya memang pembohong, mengelabui masyarakat dalam jubah agama atau spiritualitas. Ada yang menampakkan diri seakan-akan sebagai wali Allah, ada yang mempertontonkan ucapan dan gerakan yang disebut-sebut sebagai komunikasinya dengan penghuni langit, dan berbagai aksi tipu-tipu lainnya.
Dilihat sekilas pun, gaya para dukun itu sebenarnya sudah bisa dikenali sebagai sebuah kebohongan. Akan tetapi, qadarullah, masih saja ada sebagian kaum muslimin yang percaya kepada para dukun tersebut. Ketika nalar sudah tidak bekerja dan fitrah sudah ternodai, maka orang kaya atau pun miskin, yang bergelar sarjana atau yang tak berpendidikan, bahkan yang berpangkat atau rakyat jelata – siapa pun bisa saja mengekor di belakang para dukun. Allahul Musta’an.
Perdukunan dalam bahasa Arab disebut kahaanah, secara etimologi artinya memberitahukan sesuatu yang tersembunyi dan terakurasi. Adapun secara terminologi adalah memberitahukan perkara ghaib dan rahasianya dengan metode rahasia yang tidak dapat diperiksa atau dibuktikan (secara nyata maupun ilmiyah).
Asal muasal perdukunan sudah ada sejak lama sekali, bahkan hampir tidak ada generasi umat yang terlepas dari praktik ini. Di antara praktik perdukunan yang marak pada umat terdahulu adalah dengan cara melihat perbintangan. Para dukun merupakan orang-orang yang memiliki pendapat dan pengaruh di masyarakat, serta mereka juga memiliki tempat praktik khusus. Perdukunan juga sudah dikenal di Cina, Yunani, Irak, Syam, Mesir, dan lainnya, karena seluruh filosof menerima praktik perdukunan, demikian juga di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani. Lebih-lebih lagi bangsa Arab, praktik perdukunan sangat marak di antara mereka pada zaman jahiliyyah karena putusnya kenabian. Bahkan para dukun memiliki kedudukan yang tinggi dan dijadikan sandaran dalam menentukan setiap perkara kehidupan mereka. Para dukun bukan hanya sekedar menjadi konsultan, tapi mereka juga ikut berperang dan menjadi kavaleri, bahkan ada juga yang menjadi hakim.
Setelah Islam muncul dan mengkampanyekan perang terhadap perdukunan, kedudukan dan pengaruh para dukun mulai meredup. Perdukunan marak diperangi dan ditolak masyarakat. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat praktik perdukunan hilang seluruhnya, hanya tidak membuat mereka viral saja. Hal ini berbeda pada zaman modern, perdukunan malah viral dan memiliki banyak followers karena para dukun mulai masuk ke dunia digital dan memainkan media sosial. Ditambah lagi banyak model perantara yang mereka pakai untuk menarik masyarakat.
Dalam Islam, perdukunan disepakati hukumnya haram dan termasuk dosa besar, di antara dalilnya sebagai berikut, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ
Artinya; “Bukan termasuk golongan kami, orang yang berbuat tathayur (menentukan nasib sial dan keberuntungan berdasarkan tanda-tanda benda, burung, dan lainnya) atau meminta orang melakukannya, orang yang melakukan praktik perdukunan atau meminta orang melakukannya, orang melakukan sihir atau meminta orang melakukannya.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, no. 3578 dan dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 2195)
Apakah perdukunan menyebabkan kekufuran (keluar dari Islam) atau tidak? Jawaban yang shahih adalah perdukunan itu bertingkat-tingkat, ada yang sampai tingkatan kufur, ada yang tidak. Perdukunan yang sampai tingkatan kufur ada pada dua kondisi, Adanya penisbatan atau penyandaran kekhususan Allah Ta’ala kepada makhluk, semisal mengaku tahu perkara ghaib yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Adanya bentuk memperuntukkan jenis ibadah kepada selain Allah Ta’ala. Maka jenis perdukunan yang terlepas dari dua kondisi di atas tidak dihukumi kufur, keluar dari Islam, hanya termasuk dosa besar saja.
Berbicara tentang macam-macam perdukunan tidak akan terlepas dari bahasan perantara yang dipakai di dalamnya. Makanya para ulama’ membagi perdukunan berdasarkan perantaranya menjadi empat macam,
- Perdukunan dengan perantara jin, maksudnya seorang dukun berpatokan dengan informasi yang disampaikan atau diterima dari jin, baik informasinya hasil mencuri dari langit atau menukil kabar ghaib yang terjadi di bumi dan ini jenis perdukunan yang paling banyak dan marak di masyarakat.
- Perdukunan dengan perantara perbintangan, maksudnya seorang dukun melihat alur bintang-bintang, tempat, dan keistimewaannya lalu mengambil kesimpulan perkara ghaib darinya. Jenis ini juga banyak dipakai, bahkan merupakan jenis terkuno yang dipakai para dukun sejak zaman dulu. Para dukun yang memakai jenis ini sering disebut ahli nujum atau peramal. Ada dua poin yang membedakan jenis perdukunan ini dengan ahli astrologi, Jenis perbintangan yang dipakai para dukun adalah jenis yang tidak bisa dijelaskan secara nyata maupun ilmiyah, serta mereka lebih fokus pada bentuk bintang, dan semisalnya. Para dukun memakainya untuk mengetahui perkara ghaib yang mutlak yang tidak bisa diketahui dengan ilmu astrologi.
- Perdukunan dengan perantara kekuatan psikologis, maksudnya ada dukun yang memiliki kekuatan psikologis dalam dirinya, dengan kekuatan tersebut dia mampu memberitahukan perkara ghaib masa lalu atau masa depan, serta didukung dengan beberapa informasi yang milikinya.
- Perdukunan dengan perantara metode-metode imajinasi, maksudnya seorang dukun memakai metode-metode yang bersifat khalayan untuk memastikan perkara ghaib, di antara motode-metode tersebut sebagai berikut,
- Ilmu Raml, yaitu ilmu berbagai bentuk gambar yang dibuat di atas tanah untuk mengetahui baik dan buruknya suatu keadaan.
- Ilmu Asarir, yaitu ilmu membaca garis tangan, kaki, dan kening untuk mengetahui keadaan seseorang.
- Ilmu Huruf, yaitu ilmu merangkai huruf hijaiyyah dengan cara dan model khusus.
- Ilmu Asma’ul Husna, yaitu ilmu menggunakan asma’ atau nama-nama Allah untuk mencapai tujuan tertentu, dan bisa dipakai mengetahui perkara ghaib, biasanya ditulis dengan ejaan dan singkatan aneh.
- Ilmu Aktaf, yaitu ilmu membaca makna garis dan bentuk yang muncul pada hewan, lalu dibandingkan dengan pergerakan matahari untuk mengetahui berbagai keadaan alam semesta.
- Ilmu Zairajah, yaitu ilmu yang menghimpun kode-kode buatan untuk menarik kesimpulan perkara ghaib.
Para dukun sejak zaman dahulu, semua praktiknya dibalut dengan kebohongan dan penipuan, meski ada satu atau dua ucapan mereka yang terbukti, hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَاسٌ ، عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَيْسَ بِشَيْءٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَا أَحْيَانًا بِشَيْءٍ فَيَكُونُ حَقًّا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا مِنَ الْجِنِّيِّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ مَعَهَا مِئَةَ كَذْبَةٍ.
Artinya: “Ada beberapa orang bertanya kepada Rasulullah tentang para dukun, beliau menjawab, ‘perkara mereka tidak usah diurusi,’lalu mereka berkata, ‘wahai Rasulullah, terkadang mereka mengabarkan sesuatu yang benar,’Rasulullah menjawab, ‘ucapan tersebut benar berasal dari hasil curian jin (di langit), lalu disampaikan ke telinga walinya (para dukun), dan mereka (para dukun) mencampurnya dengan seratus kebohongan’.” (HR. Bukhari, no. 5762)
Pembahasan tentang hukuman bagi para dukun di dunia semisal pembahasan tentang hukuman bagi tukang sihir, rinciannya pun juga sama, ada dua riwayat dari Imam Ahmad tentang hukuman bagi para dukun, apakah dibunuh atau tidak, makanya dalam hal ini ulama’ memiliki dua pendapat,
- Wajib dibunuh.
Ini pendapat jumhur ulama’, meski alasan dibunuhnya beragam. Ada yang mengatakan karena kufur secara mutlak, ada yang mengatakan karena sebab lainnya. Oleh kerena itu, menurut jumhur para dukun wajib dibunuh. Baik karena alasan murtad bila sampai tingkatan kufur, atau karena alasan had atau ta’zir bila tidak sampai tingkatan kufur.
- Para dukun tidak otomatis dibunuh karena melakukan perdukunan, mereka baru dijatuhi hukuman mati apabila perdukunannya sampai tingkatan kufur, atau dipakai membunuh orang yang darahnya terjaga di dalam Islam. Ini pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyah.
Kedua pendapat di atas sama-sama kuat, namun yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat pertama karena banyak diikuti para sahabat dan tabi’in. Wallahua’lam.
Adapun hukuman bagi para dukun di akhirat sudah dijelaskan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lewat sabdanya,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ خَمْسٍ : مُدْمِنُ خَمْرٍ ، وَلاَ مُؤْمِنٌ بِسِحْرٍ ، وَلاَ قَاطِعُ رَحِمٍ ، وَلاَ كَاهِنٌ ، وَلاَ مَنَّانٌ
Artinya: “Tidaklah masuk surga orang yang memiliki lima (sifat ini, baik semuanya atau salah satunya), pemabuk, percaya tukang sihir, pemutus silaturrahmi, dukun, dan suka menyebut-nyebut pemberian.” (HR. Ahmad, no. 11107 dan dinilai hasan lighairih oleh Syaikh Syua’ib Al-Arna’uth)
Banyak nash hadits yang melarang untuk mendatangi dan bertanya kepada para dukun namun tidak sepakat dalam hal hukumnya. Sehingga kesimpulan hukumnya berdasarkan nash-nash hadits yang ada terbagi menjadi empat,
- Sekedar mendatangi dukun tanpa bertanya dengan alasan apapun.
Ini termasuk dalam kategori ini menyaksikan dukun lewat televisi dan mencari iklan mereka lewat majalah, internet, dll. Perbuatan ini haram berdasarkan hadits umum dari Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نَأْتِي الْكُهَّانَ، قَالَ فَلَا تَأْتُوا الْكُهَّانَ
Artinya: “Wahai Rasulullah, Ada beberapa perkara yang kami lakukan saat masa jahiliyah, (di antaranya) kami mendatangi para dukun, (bagaimana hukumnya), beliau menjawab, ‘jangan kalian datangi para dukun’.” (HR. Muslim, no. 5949)
- Mendatangi dan menanyai dukun untuk mengetesnya.
Ini diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi kepada Ibnu Shayyad dalam hadits yang cukup panjang. (HR. Bukhari, no 1355) Demikian juga komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hal ini.
- Mendatangi dan menanyai dukun dengan alasan penasaran, atau ingin tahu pendapatnya, dan yang semisal. Ini haram, bahkan termasuk dosa besar.
- Mendatangi dan menanyai dukun serta mempercayai ucapannya.
Ini diperselisihkan hukumnya di antara para ulama, sebagaimana berikut,
- Hukumnya kufur kecil tidak sampai keluar dari Islam. Ini pendapat kebanyakan ulama’ Hambali.
- Hukumnya kufur besar, keluar dari Islam. Ini pendapat beberapa ulama’.
- Hukumnya sesuai keyakinan penanya kepada dukun. Bila yakin dukun-lah yang tahu ilmu ghaib maka dia kufur, bila tidak berkeyakinan demikian maka dia tidak kufur.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan ulama dalam menangkal maraknya praktik perdukunan di tengah-tengah masyarakat, ringkasnya sebagai berikut:
- Memperbanyak halaqah ilmu dan kajian tentang tauhid dan pembahasan khusus tentang hakikat perdukunan, baik di masjid maupun di rumah.
- Menawarkan solusi Islami dalam berobat dan masalah lainnya bagi setiap muslim, sehingga tidak menjadikan dukun tempat bergantung.
- Mendebat dan membongkar kebohongan para dukun di hadapan masyarakat bagi yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan, baik secara langsung atau lewat tulisan.
Islam datang untuk menjaga lima hal, yang disebut dengan adh-dharuriyyah al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Salah satu wujudnya adalah Islam mengharamkan perdukunan. Dukun merusak agama dan akal seseorang. Mempercayai dukun adalah bentuk kesyirikan dan kebodohan. Oleh sebab itu, kita perlu mengenali hakikat dunia perdukunan agar kita tidak mudah tertipu.
- Dukun yang “menyamar” sebagai orang shalih.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa apabila suatu masyarakat adalah orang-orang Islam, si dukun tidak memperlihatkan diri mereka sebagai dukun. Akan tetapi, dia menyatakan keahlian yang dimilikinya sebagai sebuah karamah, padahal pada hakikatnya perbuatannya itu adalah jenis perdukunan. (Majmu’ Al-Fatawa, 13:83)
Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, “Sebagian mereka berpenampilan sebagai seorang yang suka berzikir, serta mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, sehingga orang yang melihat mereka akan berkata, ‘Aku melihatnya shalat. Aku melihatnya pergi ke masjid.’ Pada kenyatannya, tidak semua orang yang mengerjakan shalat itu adalah muslim. Mungkin saja ada orang yang shalat, berzakat, berpuasa, dan berhaji sedangkan ia kafir karena ia mengerjakan amal-amal shalih tersebut dalam keadaan munafik atau ia telah melakukan pembatal keislaman
- Ilmu gaib belum tentu merupakan karamah.
Apakah kemampuan gaib atau keahlian khusus yang dimiliki oleh para dukun tersebut bisa disebut sebagai “karamah”?
Dewan fatwa Arab Saudi menyatakan bahwa karamah adalah perkara luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba yang shalih, sebagai bentuk pemuliaan baginya – agar terlepas dari bahaya, untuk mendapatkan kebaikan, atau untuk menolong dalam kebenaran. Perkara tersebut tidaklah muncul atas kehendak hamba itu (agar dia dianggap sebagai Nabi). Tidak pula agar dia bisa mendatangkan mukjizat berdasarkan kehendak dirinya. Namun, semua perkara luar biasa tersebut kembali kepada Allah semata. (Fatawa Lajnah Ad-Da’imah, 1:574)
Karamah datang atas kehendak Allah, sedangkan kemampuan para dukun bisa ditentukan waktu dan tempatnya. Artinya, “keahlian” yang dimiliki oleh para dukun bukanlah karamah, melainkan pengetahuan dari jin atau sebuah kebohongan yang mereka karang semata.
Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan definisi dukun dan peramal, “Dukun adalah orang yang mengabarkan tentang perkara gaib untuk masa depan atau orang yang memberitahu tentang isi hati manusia. Adapun peramal adalah orang yang mengaku bahwa dia mengetahui perkara gaib dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka sebagai petunjuk baginya. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa dukun dan peramal itu sama saja karena keduanya sama-sama mengabarkan perkara gaib melalui perantara setan.” (I’anatul Mustafid, 1:373)
Oleh sebab itu, sembelihan dari seorang dukun tidak boleh dimakan, dia tidak boleh dikunjungi, dia tidak boleh ditemani duduk, dan tidak boleh diberi salam. Meskipun demikian, kita wajib untuk mendakwahinya dan menasihatinya, dengan memberitahunya bahwa pengakuannya atas ilmu gaib adalah sebuah kekufuran yang mengeluarkannya dari agama Islam.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 1:585)
Seorang mukmin tidak boleh mendatangi dukun apa pun alasannya, kecuali jika dia mendatanginya untuk menegakkan kebenaran dan menghilangkan kemungkaran. Jika kita mendapati seorang dukun, baik orang yang secara terbuka mengakui dirinya sebagai dukun atau dukun yang “menyamar” sebagai ustadz, maka kita wajib menasihatinya, agar dia segera bertobat.
Demikian penjelasan yang bisa dipaparkan penulis, semoga bisa memberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi para pembaca sekalian. Sebagai seorang muslim, kita harus cerdas. Jangan mau ditipu oleh bualan para dukun yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Wallahul Muwaffiq.
Referensi:
Ditulis oleh : Ustadz Abdullah Yahya An-Najaty & Abu Ady
Majalah HSI Edisi 45 Rabiul Awwal 1444 H.
Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
Baca juga artikel:
Leave a Reply