Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Cinta yang Paling Tepat adalah Cinta kepada Istri

cinta paling tepat kepada istri

Cinta yang Paling Tepat adalah Cinta kepada Istri – Bismillah, Alhamdulillahirabbil ‘alamin wa bihi nasta’inu ‘ala umuriddunya waddiin, shalatu wassalamu ‘ala rasulil amin wa alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du:

Para pembaca kuncikebaikan.com yang budiman, disebutkan oleh Ibnul Qayyyim al-Jauziyyah rahimahullah bahwasanya mabuk asmara (Al-‘Isyq) adalah suatu hal yang dilarang dan tercela, sebagaimana yang beliau tulis dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’. Namun disebutkan juga ada suatu kondisi yang menjadikan seseorang mencintai orang lain bukanlah suatu hal yang tercela, bahkan obat dari penyakit mabuk asmara itu sendiri yaitu cinta kepada istri sendiri.

Mengenai cinta kepada istri, dalam hal ini tidak ada celaan kepada pelakunya. Bahkan, kecintaan tersebut termasuk kesempurnaan diri manusia, khususnya seorang suami. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan kenikmatan ini dalam surat Ar-Rum ayat 21:

وَمِن ءَايَٰتِهِۦٓ أَن خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٰجًا لِّتَسكُنُوٓاْ إِلَيهَا وَجَعَلَ بَينَكُم مَّوَدَّةً وَرَحمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٍ لِّقَومٍ يَتَفَكَّرُونَ {٢١}

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[1]

Allah menjadikan wanita sebagai sumber ketentraman pria. Hatinya cenderung dan merasa tentram bersamanya hingga Allah menghadirkan cinta yang murni di antara keduanya, yaitu cinta yang dibarengi dengan kasih sayang.

Disebutkan dalam ash-Shahih dari Jabir radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi Zainab dan segera memenuhi hajatnya. Kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

((إن المرأة تُقبِل في صورة شيطان, وتُدبِر في صورة شيطان, فإذا رأى أحدكم امرأة فأعجبته فليأت أهله, فإن ذلك يردّ ما في نفسه))

Artinya: “Sesungguhnya wanita datang dalam bentuk syaithan dan pergi dalam bentuk syaithan. Jika salah seorang dari kalian melihat seorang wanita, lalu wanita tersebut membuatnya takjub, maka hendaklah ia mendatangi istrinya. Sungguh, hal itu akan menolak gejolak yang terdapat dalam dirinya.”[2]

Dalam hadits ini terdapat sejumlah faedah sebagai berikut:

  1. Menghibur diri dengan sesuatu yang sejenis. Contohnya, menggantikan posisi makanan dan baju tertentu dengan makanan dan baju lain yang semisalnya.
  2. Perintah untuk mengobati rasa takjub terhadap wanita yang menaikkan hasrat (birahi)nya dengan obat yang paling bermanfaat, yaitu memenuhi syahwat tersebut kepada istri. Hal ini akan menghilangkan gejolak syahwat tadi.

Demikianlah, Nabi shallallahu alaihi wasallam juga menganjurkan dua orang yang saling mencintai untuk menikah. Anjuran beliau itu sebagaimana tercantum dalam kitab Sunan Ibnu Majah secara Marfu’:

((لم ير للمتحابين مثل النكاح))

Artinya: “Tidak pernah ditemukan pada dua orang yang saling mencintai sesuatu lebih indah dari menikah”[3]

Tentang kisah Zainab binti Jahsy, Zaid memang sudah bertekad untuk menceraikannya, tetapi hal itu tidak disetujui Zainab. Zaid lalu meminta nasihat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam mengenai perceraiannya, akan tetapi beliau memerintahkan Zaid untuk tidak menceraikan istrinya. Selanjutnya, Zaid mengatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam bahw dia harus menceraikannya. Nabi mengetahui dan khawatir jika beliau menikahi Zainab, orang-orang akan berkata, “Rasulullah menikahi istri anaknya” sebab seperti diketahui bahwa beliau mengambil Zaid sebagai anak angkatnya sebelum menjadi Nabi. Sedangkan di sisi lain, Allah ingin menetapkan suatu syariat yang berlaku secara umum bagi maslahat para hamba-Nya.

Tatkala Allah mengingkan sesuatu terjadi, maka pasti terjadi. Sesudah Zaid menceraikan Zainab dan ‘iddahnya selesai, Nabi mengutus Zaid kepada Zainab agar meminangnya untuk beliau. Datanglah Zaid membelakangi pintu dengan punggung dan menyeru, “Hai Zainab, Rasulullah meminangmu.” Zainab berkata, “Aku tidak akan berbuat apa-apa sampai meminta petunjuk kepada Rabbku.” Lalu wanita itu bangkit menuju mihrab-nya dan mengerjakan shalat. Kemudian, Allah menikahkannya dengan Rasulullah dari atas ‘Arsy-Nya, hingga turunlah ayat:

فِلَمَّا قَضَىٰ زَيدٌ مِّنهَا وَطَرًا زَوَّجنَٰكَهَا لِكَي لَا يَكُونَ عَلَى ٱلمُؤمِنِينَ حَرَجٌ فِيٓ أَزوَٰجِ أَدعِيَآئِهِم إِذَا قَضَواْ مِنهُنَّ وَطَرًاۚ وَكَانَ أَمرُ ٱللَّهِ مَفعُولًا {٣٧}

Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”[4]

Selanjutnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam lantas menemui Zainab. Oleh karena itulah, Zainab berbangga dengan pernikahan ini kepada istri Nabi yang lain dengan mengatakan:

(( أنتن زوجكن أهاليكن وزوجني الله من فوق سبع سماوات ))

Artinya: “Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas tujuh langit.”[5]

Tidak diragukan lagi bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam mencintai wanita. Hal ini sebagaimana disebutkan da;am hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau bersabda:

(( حُبِّبَ إليَّ من دنياكم النساء والطيب, وجُعِلت قرة عيني في الصلاة ))

Artinya: “Aku dibuat mencintai wanita dan minyak wangi dari dunia kalian, dijadikan pula penyejuk mataku di dalam shalat.”[6]

Musuh-musuh Allah, di antaranya kaum Yahudi, hasad kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka berkata: “Keinginan beliau hanya menikah!” Maka dari itu Allah subhanahu wata’ala pun membela Rasul-Nya dan berfirman:

أَم يَحسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَاهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦۖ فَقَد ءَاتَينَآ ءَالَ إِبرَٰهِيمَ ٱلكِتَٰبَ وَٱلحِكمَةَ وَءَاتَينَٰهُم مُّلكًا عَظِيمًا {٥٤}

Artinya: “ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”[7]

Nabi pernah menolong seorang pria yang tengah kasmaran agar wanita yang dicintainya mau menikah dengannya, tetapi wanita tersebut menolaknya. Hal ini terjadi pada kisah Mughits dan Barirah. Suatu ketika, Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat Bughits berjalan sambil mengucurkan air mata di belakang Barirah setelah keduanya berpisah. Beliau shallallahu alaihi wasallam lantas bertanya kepada Barirah, “Maukah kamu rujuk dengannya?” “Apakah engkau memberi perintah kepadaku, wahai Rasulullah?” tanya Barirah. “Tidak, aku hanya sekadar memberi saran,” jawab Nabi. “Aku tidak membutuhkannya lagi.” tegas Barirah. Setelah kejadian itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada pamannya, “Wahai Abbas, tidakkah kamu heran dengan cinta Mughits kepada Barirah, padahal Barirah sangat membencinya?”

Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengingkari kecintaan Mughits kepada Barirah walau dia sudah berpisah dengannya. Sebab, rasa cinta tersebut bukanlah perkara yang dapat dikendalikan Mughits. Tidak pula dapat dibagi sama rata antara kecintaan satu dengan kecintaan yang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَن تَستَطِيعُوٓاْ أَن تَعدِلُواْ بَينَ ٱلنِّسَآءِ وَلَو حَرَصتُمۡۖ

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,….”[8]

Rasulullah menyamakan jatuh kecintaan kepada istri-istrinya, namun beliau juga berkata:

((اللهم هذا قسمي فيما أملك, فلا تلمني فيما لا أملك))

Artinya: “Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang kumiliki. Janganlah Engkau mencela aku terhadap pembagian yang berada di luar kekusaanku.”[9]

Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang memiliki kasih sayang senantiasa memberikan pertolongan kepada orang yang kasmaran dengan orang yang dicintainya, selama dalam hubungan yang diperbolehkan. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan Amirul Mukminin Ali radhiyallahu anhu. Beliau pernah dihadapkan dengan seorang pemuda yang tertangkap basah di salah satu kediaman suatu kaum pda malam hari. Ali bertanya kepada pemuda itu, “Ceritakanlah apa yang terjadi?” Pemuda itu menjawab, “Aku bukan pencuri. Akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya karena aku mempercayaimu,

Diriku terhambat di kediaman seorang wanita nan jelita

Purnama pun jadi hina kerena keindahan parasnya

Di tengah-tengah wanita Romawi, kecantikannya tidak kalah

Jika ia berbangga, niscaya kebanggaan pun takut padanya

Tatkala kudatangai kediaman itu kerena hati yang membara

Kuhabiskan malam di sana karena bara yang menyala

Penghuni kediaman pun menangkapku dan berkata

Ia adalah pencuri yang harus ditawan dan kehilangan nyawa

Setelah mendengar syair si pemuda, Ali kasian kepadanya. Kemudian, beliau berkata kepada al-Muhallab bin Rabah, “Izinkanlah dia untuk bersanding dengan wanita tersebut.” Al-Muhallab berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah ia sebenarnya?” Pemuda tadi menjawab, “Aku an-Nahhas bin Uyainah.” “Ambillah wanita itu. Ia telah menjadi milikmu,” kata al-Muhallab.

Az-Zamakhsyari menyebutkan dalam Rabi’-nya, bahwasanya Zubaidah membaca syair pada satu dinding jalan kota Mekah:

Adakah orang mulia di antara hamba-hamba Allah, yang akan

Menghilangkan gundah orang yang kehilangan akalnya?

Ia mempunyai mata, namun harapannya sangat terluka;

Adapun rongga tubuhnya, apio un takut menyantapnya

Setelah membaca bait tersebut, Zubaidah bernadzar untuk menyatukan penulisnya dengan orang yang dicintainya apabila mengetahui jati dirinya. Ketika berada di Mudzdalifah, dia mendengar seorang pria mengucapkan dua bait tadi. Lantas, Zubaidah menarik kesimpulan bahwa kedua bait itu ditujukan kepada putri pamannya, yang keluarganya bersumpah untuk menikahkan keduanya, Zubaidah kemudian pergi kediaman pria tersebut. Zubaidah terus-meneruskan mengeluarkan harta miliknya sampai akhirnya pihak keluarga wanita bersedia menikahkan keduanya. Ternyata, cinta wanita itu lebih besar dibandingkan cinta pria tadi. Zubaidah pun menganggap hal ini termasuk kebaikannya yang paling besar, sampai-sampai dia berkata: “Tidak ada perkara yang lebih membuatku gembira daripada usahaku untuk menyatukan hari pemuda ini dan wanita tersebut.”[10]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membagi kasmaran pria terhadap wanita menjadi tiga bentuk:

Pertama, kasmaran yang merupakan pendekatan dan ketaatan. Contohnya, seorang pria yang jatuh cinta terhadap istri dan budaknya. Inilah kasmaran yang bermanfaat sebab ia mengantar tercapainya tujuan yang karenanya Allah mensyariatkan nikah, sekaligus lebih menjaga pandangan dan hati terhadap wanita selain istrinya. Oleh karena itu, orang yang kasmaran seperti ini terpuji di sisi Allah dan sisi manusia.

Kedua, Kasmaran yang merupakan kemurkaan dari Allah dan kejuahan dari Rahmat-Nyam serta yang paling membahayakan hamda dalam agama dan dunia, yaitu kasmaran terhadap amrad (pemuda tampan). Tidaklah cobaan ini diberikan kepadanya, melainkan orang tersebut telah terlepas dari pandangan-Nya, serta tertolak dari pintu-Nya, dan dijauhkan dari-Nya. Perbuatan ini adalah sebesar-besar penghalang yang dapat memutuskan hubunggan hamba dari Allah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Salaf, “Jika seseorang hamba terlepas dari pandangan Allah, maka Allah memberi cobaan kepadanya dengan mencintai amrad.”

Kasmaran inilah yang ditimpakan kepada kaum Luth alaihissalam. Tidaklah mereka disiksa, melainkan karena penyakit hati tersebut. Allah azza wajalla berfirman,

لَعَمرُكَ إِنَّهُم لَفِي سَكرَتِهِم يَعمَهُونَ

Artinya: “(Allah berfirman): “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”.”[11]

Obat dari penyakit ini adalah meminta pertolongan kepada Dzat yang membolak-balikkan hati, benar bersandar kepada-Nya, menyibukkan diri dengan dzikir kepada-Nya, menggantinya dengan cinta dan kedekatan dengan-Nya, serta memikirkan kepedihan yang datang sesudahnya dan kelezatannya yang akan hilang. Sungguh, kasmaran tersebut menyebabkan hilangnya perkara yang paling dicintai sekaligus mendatangkan perkara yang paling dibenci. Apabila jiwanya tetap mendahulukan kasmaran tersebut di atas perkara-perkara tadi, maka hendaklah dilakukan takbir jenazah terhadapnya. Sudah semestinya dia sadar bahwa bencana telah meliputinya.

Ketiga, Kasmaran yang dibolehkan dan di luar kekuasaannya, namun tidak berakibat terjadinya bencana. Misalnya, kasmarannya seseorang yang disifatkan wanita cantik kepadanya atau dia melihat wanita secara tidak sengaja lantas hatinya tertambat padanya hingga menyebabkan kasmaran. Hal ini merupakan perkara yang berada di luar kekuasaannya hingga tidak mendapat hukuman. Meski begitu, yang lebih bermanfaat bagi pelakunya adalah menolak perasaan ini dan menyibukkan diri dengan perkara yang lebih berfaedah. Ia juga wajib untuk menyembunyikan, menjaga kehormatan, dan bersabar atas musibah tersebut. Dengan demikian, Allah memberi pahala baginya sebagai balasan atas kesabarannya, atas penjagaannya terhadap kehormatan diri, dan atas tekadnya meninggalkan hawa nafsu demi ketaatan, serta atas upayanya dalam mengutamakan ridha Allah dan apa yang ada di sisi-Nya.

 

REFERENSI:

Ditulis oleh: Tamim Abu Zubair (Staff Ponpes Darul Quran wal Hadits, OKU Timur)

Dinukil dari: Ad-Daa’ wa ad-Dawaa’: Macam-Macam Penyakit Hati yang Membahayakan dan Resep Pengobatannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2018. Hal: 529-539.

[1] QS. Ar-Rum: 21.

[2] HR. Muslim (no.1403).

[3] HR. Ibnu Majah dalam Sunan (no. 1874), al-Hakim (II/160) dan al-Baihaqi (VII/78).

[4] QS. Al-Ahzab: 37

[5] HR. al-Bukhari (no.4787) dan Muslim (no. 1428) dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu.

[6] HR. Ahmad, an-Nasai, al-Baihaqi, ath-Thabrani, dan selain mereka.

[7] QS. An-Nisa’: 54.

[8] QS. An-Nisa’: 129.

[9] HR. Abu Dawud (no.2134), at-Tirmidzi (no.1140), an-Nasa-I dalam ash-Shugra (no.3943), Ibnu Majah (no.1971), Ahmad (VI/144) dan selainnya dari ‘Aisyah radhiyallahu anha.

[10] Rabi’ al-Abrar

[11] QS. Al-Hijr: 72.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.