BERDOA KEPADA PARA WALI DAN ORANG-ORANG SHALIH
Ibadah adalah hak bagi Allah عز وجل. Tidak ada sesuatupun yang boleh diibadahi selain Allah, siapapun adanya. Namun masyarakat jahiliyah melakukan hal yang sebaliknya. Mereka justru meninggalkan ibadah kepada Allah padahal itulah tujuan mereka diciptakan. Mereka malah beribadah kepada selain Allah, seperti berhala, pohon, bebatuan, jin, para malaikat, para wali, dan orang- orang shalih. Mereka mengalamatkan ibadah itu kepada selain Allah عز وجل. Ada di antara mereka yang pada asalnya memang tidak beribadah kepada Allah, inilah orang- orang kafir dari kalangan Athesi dahriyyah. Ada juga di antara mereka yang beribadah kepada Allah tetapi juga menyembah selain Allah. Kedudukan keduanya adalah sama. Orang yang beribadah kepada Allah namun menyembah selain-Nya juga, sama dengan orang yang sama sekali tidak beribadah kepada Allah secara mutlak. Karena ibadah yang dilakukannya terhitung batal, dan Allah tidak ridha terhadap kemusyrikan.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
” Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada- ku.”(QS. Adz-Dzaariyyat : 57)
Selain itu ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan syari’at yang di tentukan oleh Allah سبحانه وتعالى. Allah tidak menerima ibadah yang mengandung bid’ah sebagaimana Allah juga tidak menerima ibadah yang mengandung kemusyrikan. Perkara jahiliyah yang paling berat adalah menyekutukan Allahعز وجل dan bid’ah.
Pada masa jahiliyah umat manusia beribadah kepada Allah tetapi juga menyembah banyak sesuatu selain Allah. Di antaranya adalah para wali dan orang-orang shalih. Seperti yang pernah terjadi pada kaum nuh, ketika mereka mengkultuskan orang-orang shalih: wudd, suwaa’, yaghuts, yauq dan nasr. Akhirnya mereka menyembah kuburan-kuburan orang-orang shalih tersebut, di samping mereka juga beribadah kepada Allah عز وجل, dengan alasan bahwa yang mereka sembah itu adalah orang-orang shalih, dan bahwa mereka hanya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Sesembahan-sesembahan itu hanyalah sebagai perantara ibadah kepada Allah. Demikian pulalah fase yang ditempuh masyarakat jahiliyah. Mereka beribadah kepada para wali, orang-orang shalih dan para malaikat. Mereka berdalil: orang-orang shalih hanyalah hamba-hamba Allah yang menjadi perantara kami dalam beribadah kepada Allah, mereka memberi syafa’at kepada kami dan mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Mereka tidak menyebut perbuatan tersebut sebagai perbuatan syirik.
Karena syaitan menghias-hiasi perbuatan itu dan menggambarkannya seolah-olah bukan perbuatan syirik, namun sekedar mengambil perantaraan dan meminta syafa’at dari orang-orang shalih tersebut. Yang dijadikan ukuran di sini bukanlah pengakuan mereka, namun hakikatnya. Hakikat perbuatan mereka adalah syirik, meskipun mereka menyebutnya sebagai pengambilan syafa’at dan pendekatan diri kepada Allah, hakikatnya tetap syirik karena sebutan tidak dapat merubah hakikat. Allah tidak ridho afa seorangpun dijadikan sesuatu bersama-Nya dalam ibadah, sebagaimana firman Allah:
فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amalan yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang dalam beribadah kepada Rabb-nya. ” ( Al-Kahfi : 10)
Ibadah itu tidaklah bermanfaat tanpa disertai dengan pemurnian ketaatan atau kekhilasan dan ittiba’ kepada rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Ini adalah masalah jahiliyyah yang paling berat, yakni menyembah para wali dan orang-orang shalih yang sudah mati dan tidak ada di hadapan mereka. Juga meminta agar dipenuhi keperluan mereka, persis sebagaimana perbuatan para penyembah kubur pada jaman sekarang ini. Misalnya penyembahan makam seperti yang terlihat pada masa sekarang, mendekatkan diri kepada orang-orang yang telah mati, berdoa pada selain Allah, meminta keselamatan kepada mereka. Itulah bentuk amalan yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah, sebagaimana firman Allah:
ويعبدون من دون الله ما لا يضرهم ولا ينفعهم ويقولون هؤلاء شفعاؤنا عند الله
” Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata:” merekah itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.”( yusuf :18)
Itulah yang terjadi di masa sekarang ini, yakni di kalangan para penyembah kubur apaliba dihujat dan dilarang melakukan penyembahan terhadap kubur, mereka akan mengelak:” kami tidak menyembah kubur, karena ibadah itu hanya kepada Allah, akan tetapi orang-orang dalam kubur itu hanyalah perantra antara kami dengan Allah, pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” Argumen tersebut persis sebagaimana argumen orang-orang jahiliyyah yang dibantah oleh Allah dalam firman-Nya:
ويعبدون من دون اللهما لا يضزهم لا ينفعهم ويقولون هؤالاء شفعاؤنا عند الله
” Dan mereka menyembah selain daripada Allah dari apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan dan mereka berkata:” mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.”( yusuf : 18)
Kemudian Allah juga menjelaskan di dalam ayat yang lain:
والذين ا تخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم الا ليقربونا الى الله زلفى
” Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):” kami tidak meyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya“. (az-Zumar : 3)
Orang-orang musyrik itu tidak menyembah mereka disertai keyakinan bahwa mereka dapat menghidupkan dan mematikan. Mereka mengakui bahwa kemampuan menghidupkan dan mematikan hanyalah milik Allah. Mereka hanya memyembahnya untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Apakah Allah membutuhkan perantara antara diri-Nya dengan hambah-Nya? Allah عز وجل itu Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan doa, Maha Melihat dan Maha Mendengar, Maha pengasih lagi menerima taubat hambah-Nya. Dan Allah juga tidak pernah memerintahkan kita untuk mencari perantara dalam berdoa kepada-Nya, bahkan Allah memerintahkan kita untuk berdoa kepada-Nya secara langsung. Allah تعالى berfirman :
وقال ربكم اعوني استجب لكم ان الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
Dan Robbmu berfirman :”berdoalah kepada-Ku,niscaya akan Ku kabulkan . Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk nerakah jahannam dalam keadaan hina bina.” (QS. Al-Mukmin: 60 )
Allah memerintahka Kita untuk berdoa kepada-Nya secara langsung dan tidak memerintahkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan-Nya.
Ini adalah persoalan terberat yang di tentang oleh Rasulullah, yakni masalah syirik. Karena ketika Rasulullah diutus oleh Allah sebagai Rasul ke tengah umat manusia, pertama kali yang beliau dakwahkan adalah mentauhitkan Allah عز وجلdan memberantas kemusyrikan.
Rasulullah juga telah mengajarkan keikhalasan, yakin memurnikan ibadah hanya kepada Allah serta meninggalkan ibadah kepada selain Allah, baik kepada para wali, orang-orang shalih atau yang lainnya. Itulah agama para rasul, sebagaimana firman Allah:
وما ارسلنا من قبلك من رسو ل الا نوحي اليه انه لا اله الا انا فاعبدون
” Dan kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya:” Bahwasanya tidak ada ilah yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian Aku.”(QS. Al-Anbiyaa’)
Demikian pula dalam firman-Nya:
ولقد بعثنا في كل أمة رسولا ان اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت
“Telah kami utus pada setiap ummat seorang rasul, hendaknya kalian beribadah kepada Allah dan menjauhi thogut.”( QS. An Nahl 36)
Itulah manjah ( metodologi ) para rasul – Alaihimussalam – dalam berdakwa untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain- Nya. Adapun untuk memperbaiki sisi lain adalah mengikuti berikutnya setelah itu.
Allah hanya menerima segala bentuk amalan lain bila disertai keikhlasan untuk mendapat keridhaan-Nya dan tidak mengandung kemusyrikan. Selain itu, amalan tersebut juga harus sesuai dengan yang di ajarkan oleh Allah سبحانه وتعالى. Allah tidak menerima amal yang mengandung bid’ ah, atau yang mengandung kemusyrikan.
Allah berfirman:
فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه احدا
” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amalan yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya” (QS. Al Kahfi 100).
Allah tidak hanya memerintahkan beribadah kepada-Nya saja tetapi juga melarang perbuatan syirik. Karena ibadah kepada Allah tidak akan di terima bila mengandung unsur syirik. Sementara perintah mengikuti thagut juga lebih didahulukan dari perintah beriman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن با لله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها
” Barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus “(QS. Al-baqorah :256)
Itulah makna dari laa ilaaha illallah. Yakni makna yang terangkum dari penolakan dan penetapan, penolakan terhadap perbuatan syirik dan penetapan tauhid.
Baca Juga artikel:
Pelestarian Situs Sejarah Dalam Timbangan Islam
DIRINGKAS DARI : Syarah 128 Tabi’at dan Perangai Jahiliyah
KARYA. : Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
DIRINGKAS OLEH : Anggara Pratodi (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadist OKU Timur)
Leave a Reply