ADAB PELAJAR TERHADAP DIRINYA (PART 3)

adab pelajar terhadap dirinya

Adab pelajar terhadap dirinya – Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan, dan meminta ampunan kepada-Nya. Kami juga berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan kejelekan amal kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Pada kesempatan kali ini kita masih melanjutan pembahasan tentang akhlak penuntut ilmu. Dan salah satu pembahasan utama kali ini adalah tentang perbuatan “Adap Pelajar Terhadap Dirinya”. Semoga artikel ini bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca.

demikian pula engkau wahai penuntut ilmu meninggalkan debat kusir, karena debat kusir adalah pintu yang menutup jalan kebenaran. Debat kusir akan mengantarkan seseorang berargumen untuk memenangkan dirinya, sampai kalaupun kebenaran sudah jelas dihadapannya, ia mungkin akan mengingkari atau menafsirkannya dengan makna yang aneh. Semua itu demi membela diri dan demi mengalahkan musuhnya agar ia memegang pendapatnya. Apabila engkau melihat saudaramu ada yang mendebatmu padahal padahal kebenaran sudah sangat jelas namun ia tidak mengikutinya, maka jauhilah ia seperti engkau menjauhi seekor singa. Katakan kepadanya, “Hanya itu yang aku jelaskan kepadamu kebenaran yang aku ketahui.”

Begitu pula menyibukkan diri dengan ilmu kalam adalah membuang-buang waktu. Karena ilmu kalam terkait dengan pembahasan hal-hal yang sudah jelas. Saya sendiri saat mengajar beberapa pelajar pernah ada yang bertanya, “Ap aitu akal secara Bahasa, istilah, syari’at dan adat?” Padahal akal maknanya jelas dan tidak perlu didefinisikan, tetapi ilmu kalam yang menyusupi hati kita hal-hal seperti ini. Pakar ilmu kalam menghalangi manusia dari kebenaran dan dari manhaj salaf yang mudah, dengan mamasukkan syubhat, definisi, kriteria dan lain sebagainya. Lihatlah perkataan Syaikhul Islam Rahimahullah dalam kitab Ar-Radd ‘alal Mantiqiyyin (Bantahan terhadap ahli kalam), atau dalam kitab Naqdhul Manthiq (sanggahan ilmu kalam), kitab tersebut adalah ringkasan kitab yang jelas bagi pelajar. Dalam dua kitab tersebut dijelaskan kesesatan yang mereka anut.

 Ilmu kalamlah yang menyeret para ulama yang kritis menempuh jalan takwil dalam bab sifat Allah. Ahli kalam berargumen, “seandainya begini, maka seharusnya begini. Seandainya Allah itu bersemayam diatas ‘Arsy, maka mestilah Allah itu terbatas. Seandainya Allah itu dapat dilihat, maka mestilah Allah berada di arah tertentu, jika berada di arah tertentu, maka mestilah Allah itu berupa fisik.” Dan seterusnya ucapan mereka yang menyesatkan, dan mereka menyangka telah memberi kalian hidayah kepada jalan yang lurus.

Sangat penting bagi penuntut ilmu untuk meningglkan perdebatan dan meninggalkan sanggahan-sanggahan yang terlintas dibenaknya, serta tidak sok faish. Hendaklah ia membuat ilmunya sederhana, simaklah seorang Arab badui yang membawa untanya bertanya kepada Nabi Shallallahualihi Wasallam tentang beberapa urusan agama, setelah itu ia langsung pulang tanpa diskusi lebih lanjut, karena ia hanya memiliki sifat berserah diri. Adapun berdiskusi dan debat, ini membahayakan manusia, membawa dosa dan menghalangi dari syari’at Islam.”

Adz-Dzahabi[1] Rahimahullah berkata, “Telah shahih dari ad-Daraqhuthni bahwa ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci disbanding ilmu kalam.”[2] Aku katakan, “Orang ini (ad-Daruquthni) tidak pernah sama sekali mempelajari ilmu kalam, tidak juga ilmu berargumen, atau ikut dalam adu argument. Namun beliau adalah seorang Salafi.”

Maksud dari kalam “orang ini” adalah ad-Daruquthni Rahimahullah, beliau membenci ilmu kalam walupun belum pernah mempelajarinya. Hal ini karena beliau melihat efek buruk dari mempelajarinya, membahas secara Panjang lebar tanpa faedah, meragukan Sesutu yang sudah diyakini, mendahulukan pemikiran dan mencampakkan atsar. Karena itu, menurutku tidak ada yang lebih berbahaya bagi kaum Muslimin dalam aqidah mereka dibanding ilmu kalam dan mantiq. Dan banyak ulama pembesar ilmu kalam yang mengakui di akhir hayat mereka, mereka mengharapkan kematian diatas Aqidah Perempuan-perempuan jompo dan kembali kepada fitrah mereka semula.

Syaikhul Islam Rahimahullah berkata dalam al-Fatawa al-Hamawiyyah,[3] “Yang paling dikhawatirkan terjerumus kedalam kesesatan adalah kalangan pertengahan dari ahli kalam, karena orang yang belum mempelajarinya tentu tidak terkena pengaruhnya, dan orang yang mempelajarinya hingga sampai  kepuncaknya, makai a akan sadar bahayanya dan kembali.” Tepat sekali ucapan beliau, semoga Allah merahmati beliau, orang pertengahan itulah yang di khawatirkan terjerumus dalam kesesatan dalam setiap bidang ilmu, yang mereka ini berada di pertengahan jalan yang luas. Mereka menyangka telah mempelajarinya dan tidak memberikan ruang bagi orang lain untuk turut serta, padahal sebenarnya mereka belum mencapai puncak ilmu dan kematangan didalamnya, akibatnya mereka sesat dan menyesatkan.

Karena inilah ilmu kalam sangat berbahaya, karena pembahasannya terkait Dzat Rabb ‘Azzawajalla, sifat-sifat-Nya dan mereka menbatalkan seluruh nash syari’at serta menjadikan akal penentu hukum.

Maka salah satu prinsip mereka bahwa nash-nash yang berbicara tentang sifat-sifat terbagi menjadi tiga:

  1. Nash-nash yang dibenarkan oleh akal, ini dibernarkan dengan makna logika dan bukan karena makna nash.
  2. Nash-nash yang didustakan oleh akal, maka wajib mendustakannya tanpa keraguan, karena akal sehat menolaknya. Tetapi akal siapa? Imam Malik Rahimahullah berkata:

ليت شعري. بأي عقل يوزن الكتاب والسنة. أوكلما جاءنا رجل أجدل من رجل أخذنا بقوله وتركنا من أجله الكتاب والسنة

Artinya:

“Aduhai ucapanku, dengan akal macam apa Al-Qur’an dan sunnah akan ditimbang. Apakah setiap kali datang seorang yang mengalahkan orang lain dalam berdebat lalu kita ngambil perkataannya dan kita meninggalkan Al-Qur’an dan as-Sunnah karenanya?”[4]

Tentu ini tidak mungkin.

  • Nash-nash yang tidak dapat dibenarkan atau di dustakan oleh akal. Kemudain Sebagian mereka berpendapat bahwa syarat di benarkannya adalah sesuai dengan logika. Karena logika tidak membenarkannya, maka semestinya yang semacam ini di tolak.

Sebagian yang lain menyanggah bahwa syarat dibenarkannya adalah nash tersebut tidak di tolak oleh akal, maka ini masih di benarkan. Namun, kebanyakan mereka berpendapat nash semacam ini tertolak dan tidak dapat diterima, karena syarat diterimanya adalah nash tersebut dapat dibenarkan akal. Ada juga kelompok mereka yang memilih tawaquf (menahan diri), mereka menilai apabila akal tidak membenarkan atau mendustakan , maka seharusnya kita menahan diri.

Seluruh kaidah diatas sama sekali bukan berasal dari Allah, mereka sesat dengannya dan menyesatkan manusia, semoga Allah melindungi kita. Mereka ragu, bimbang dan bingung. Karenanya orang yang paling bingung menjelang kematiannya adalah ahli kalam, semoga Allah melindungi kita, mereka ini bingung apakah Allah itu jauhar ataukah ‘aradh?”  Apakah Allah berdiri sendiri atau tidak berbuat? Demikian keadaan mereka menjeang kematian, mereka pun mati dalam keraguannya, semoga Allah memberikan kita keselamatan dan Kesehatan.

Mereka inilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang menapak tilas jejak Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Mereka adalah sebagaimana disifatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah[5] “Ahlus Sunnah adalah kalangan tersuci dari kaum Muslimin dan mereka adalah manusia terbaik bagi manusia lain.”

Sebagian ulama kontimporer mengatakan bahwa Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua; kalangan yang menyerahkan makna kepada Allah dan yang menakwilkan makna (sendiri). Mereka menjadikan asy-‘Ariyyah, maturidiyyah dan yang semisal mereka termasuk Ahlus Sunnah.

Mereka menamakan kalangan yang menyerahkan makna kepada Allah sebagai Salaf, mereka keliru memahami Salaf dan metode mereka, karena para Salaf tidak menyerahkan makna secara mutlak, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Pendapat yang menyerahkan makna adalah seburuk-buruk pendapat ahli bid’ah dan orang sesat.”[6] Beliau berdalil dengan permisalan, apabila kita tidak memahami makna nama dan sifat Allah yang Dia kabarkan kepada kita, ahli filsafat akan berkata, “Kalian bodoh, Kamilah yang berilmu.” Lantas mereka berucap ‘seenak perut’ mereka, mereka berkata, “Maksud dari nash inii adalah begini.” Sudah maklum bahwa adanya makna dari suatu nash lebih baik dari menahan diri tidak memaknainya.

Termasuk kesesatan adalah igauan mereka bahwa jalan Salaf lebih selamat, sedangkan jalan khalaf (ulama kontemporer) lebih berilmu dan lebih kuat hujjahnya. Subhaanallah, bagaimana mungkin jalan Salaf lebih selamat dan jalan khalaf lebih berilmu dan lebih kuat hujjahnya bukan jalan yang paling selamat? Ini adalah pertentangan yang dahsyat, maka ungkapan yang benar, jalan Salaf adalah yang paling selamat, paling berilmu dan paling kuat hujjahnya.[7] Semoga Allah menjadikan kita semua berada diatas jalan ini.[8]

Maka titilah jalan tersebut,

وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُم عَن سَبِيلِهِ

Artinya:

“… Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya…” (QS. Al-An’am:  153)

  • Senantiasa merasa takut kepada Allah  Ta’ala

Berhias dengan rasa takut kepada Allah secara lahir dan batin dengan menjaga syi’ar-syi’ar Islam, menampakkan serta menyebarkan Sunnah, mengamalkan serta mendakwahkannya. Juga menyeru kepada Allah dengan ilmu, akhlak dan perbuatanmu. Menampakkan sifat laki-laki sejati, ramah bergaul dan dengan pribadi yang baik. Kunci semua itu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena itulah Imam Ahmad berkata,

أصل العلم خشية الله تعالى

Terjemahannya:

“Prinsip dasar Islam adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala. “

Termasuk hal yang harus digiatkan untuk mengajak para pelajar kepada manhaj Salaf Rahimahullah adalah memotivasi mereka untuk mengenal manhaj Salaf ini. Hal ini dengan cara meneliti kitab-kitab yang ditulis dalam bidang manhaj, seperti Siyar A’lamin Nubala dan selainnya, sehingga kita dapat benar-benar memahami jalan mereka dan mengikuti manhaj yang lurus tersebut. Adapun sekedar mengatakan, “Ikutilah para Salaf!” Namun kita tidak tahu apa yang para Salaf katakan, maka tentu ini adalah kekurangan.

Karena dasar ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala, khasyyah (rasa takut) artinya secara spesifik adalah rasa takut berlandaskan ilmu dan pengagungan. Karena itu, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخشَى ٱللَّهَ مِن عِبَادِهِ ٱلعُلَمَٰؤُاْۗ

Artinya:

 Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (orang-orang berilmu)…” (QS. Fathir: 28)

Apabila seseorang benar-benar mengetahui tentang Allah Subhaanahuwata’ala serta mengenal-Nya dengan benar, maka pasti akan tersemat dalam hatinya Rabb yang Mahaagung, Mahakuat, Maha Mengalahkan, Maha Mengetahui yang samar dan yang yang disembunyikan manusia. Maka engkau akan mendapat orang seperti ini akan menanti Allah Subhaanahuwata’ala dengan sesempurna mungkin.

Para ulama menyatakan bahwa perbedaan antara khasy-yah dan khauf, bahwa khas-yah adalah rasa takut kepada sesuatu yang sangat agung, sedangkan khauf adalah rasa takut yang muncul karena lemahnya seseorang, walaupun yang ditakuti tidak seberapa besar. Karena itu, seorang anak akan takut kepada pemuda yang sedikit lebih besar darinya, dan ada orang yang takut kepada sesuatu yang tidak nyata, karena pribadinya yang penakut dam pengecut sehingga ia takut kepada segala sesuatu. Maka ada permisalan “orang yang takut pada bayangannya sendiri,” yakni misalkan seorang berjalan dibawah terang rembulan lalu ia melihat bayangannya, sehingga ia begumam, “Ada siswa lain mengikutiku” Lantas ia lari, karena ia memang pengecut.

Kesimpulannya, khasy-yah lebih besar dari sekedar khauf, namun terkadang boleh kota katakan, خِفِ الله  “Takutlah kepada Allah” (dengan kata khauf) seperti dalam firman-Nya,

فَلَا تَخَافُوهُم وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤمِنِينَ ١٧٥

Artinya:

 Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang berani.” (QS. Ali-Imran:  175)

Namun konteks khauf (takut) disini sebagai reaksi dari perbuatan sebagian orang yang takut kepada manusia.

Maka senantiasalah mereka takut kepada Allah saat sendiri atau dihadapan manusia, karena sebaik-baik adalah yang takut kepada pada Allah Ta’ala, dan hanya seorang ‘alim yang takut kepada-Nya. Jadi sebaik-baik adalah orang ‘alim, dan ja gan sampai engkau lupa bahwa seseorang tidak akan dapat dikatakan ‘alim hingga ia mengamalkan ilmunya kecuali jika ia senantiasa merasa takut kepada Allah.

Perkataan penulis, “Tidak dapat dikatakan ‘alim” maksudnya ‘alim yang Rabbani. Adapun apabila ia sekedar ‘alim yang berarti lawan dari jahil, maka ini benar dari situ sisi. Seperti halnya yang menyusun kamus al-Munjid adalah seorang kristen dan dalam kamus itu terdapat banyak pengetahuan tentang Bahasa Arab, walun banyak juga kesalahannya dan hal-hal yang perlu dikritik dari kacamata agama. Namun, ‘alim yang mengamalkan ilmunya barulah disebut ‘alim yang Rabbani, karena ia mentarbiyah dirinya sebelum mentarbiyah orang lain.

Bersambung….

****

Referensi

Diambil dari: Kitab Hilyah Thalabil ‘Ilmi. Karya Syaikh DR. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid. Pensyarah kitab, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Diterjemahkan oleh Mohamad Farid, S.S. cetakan ketiga: Dzulhijjah 1443 H/Juli 2022 M.

Peringkas :   Fatma Khoirun Nisa (Staf pengajar dan santriwati khidmad ponpes Darul Qur’an Wal Hadits)

Artikel: September 2024


[1] Siyar A’lamin Nubala (XVI/457)

[2] Ash-Shifat, karya ad-Dharuquthni, hlm.12

[3] Al-Fatawa Al-Hamawiyyah Al-Kubra, hlm. 57

[4] Asy-Syaraf, hlm. 5, Dzammul Kalam, hlm. 207, al-Ibanah, (2,3, 507, 582)

[5] Minhajus Sunnah (V/158), cetakan Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud

[6] Dar’u Ta,arudil ‘Aq

[7] Al-Fatawa al-Hamawiyyah al-Kubra, hlm. 185, Dar’ut Ta’arudh (III/95) dan Majmu’ Al-Fatawa (IV/187)

[8] Lihat Syarkh al-‘Aqidah al-Washitiyyah, hlm. 73.

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.