
Adab-Adab Penuntut Ilmu & Pengajar (Part 1) – Bismillah, segala puji bagi Allah ﷻ , Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi yang paling mulia, penutup para rasul, teladan dan penyejuk mata kita, yaitu Nabi Muhammad bin ‘Abdillah ﷺ, juga kepada keluarga dan sahabat beliau seluruhnya, serta semua orang yang berjalan diatas petunjuk beliau sampai hari kiamat nanti.
Muqoddimah
Sesungguhnya di antara perkara yang paling penting yang orang berakal memanfaatkan masa emas usia mudanya dan berusaha dengan tekun untuk meraihnya dan merengkuhnya adalah keluhuran akhlak yang syariat dan akal menetapkan keutamaannya, yang pikiran dan lisan segenap manusia sepakat untuk menyanjung dan mencintai pemiliknya.
Sesungguhnya manusia yang paling patut menyandang sifat mulia dan yang paling layak merengkuh derajat luhur ini adalah para ulama yang dengannya mereka menduduki puncak kemuliaan dan keluhuran, meraih tongkat estafet terdepan sebagai para pewaris nabi-nabi, karena mereka mengetahui keluhuran akhlak Nabi dan adab beliau, kemuliaan perjalanan hidup para imam yang mulia dari Ahlul Bait Nabi dan sahabat-sahabat beliau, serta apa yang dipijak oleh para imam ulama salaf dan diteladani oleh para syaikh dari generasi belakangan.
Dan apa yang ada di kedua tangan Anda ini mendorong kepada sifat-sifat terpuji dan adab-adab yang luhur dalam sebuah rangkaian struktur yang kecil namun bermakna bagus, berisi mutiara-mutiara dari adab-adab ulama dan penuntut ilmu, yang dipilih dan disusun oleh salah seorang ulama besar kita tang memiliki perhatian besar dibidang pengajaran dan adab-adab nya dan penulis di berbagai bidang ilmu agama, dan ini merupakan syiarnya dari awal kehidupan beliau hingga akhir usia beliau. Beliau adalah Al-Allamah Muhamad Jamaludin Al-Qasimi.
Dalam risalah ini beliau menukil dan meneladani langkah mulia dari apa yang ditorehkan oleh seorang imam yang berjalan di atas manhaj yang sama dengan beliau dibidang penulisan dan menuntut ilmu, yang Imam Muhayidin An-Nawawi Ad-Dimasyqi. Beliau merangkum dari Muqaddimah Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi tersebut mutiara-mutiara adab bagi ulama dan penuntut ilmu yang dibawakan sejumlah adab yang merupakan perhiasan bagi para imam kita mulia dan para ulama kita terpilih.
Siapa yang membaca tulisan dibidang yang luas ini, dahulu dan sekarang, niscaya dia melihat makalah-makalah dan buku buku yang berjumlah banyak sekali, sulit untuk dihitung dan tidak samar bahwa spirit setiap masa memiliki sebuah fenomena pada apa yang ditulis berkenaan dengan kewajiban dan tuntutan-tuntutannya. Selanjutnya tidak sedikit darinya yang berganti dengan fenomena selainnya karena dorongan hajat kebutuhan apa yang dirasa lebih penting darinya atau karena adanya perbedaan adat istiadat dalam perkembangannya dan urusan kehidupannya.
Hanya saja prinsip-prinsip dasar dari ilmu yang berkenaan dengan adab orang-orang yang terjun di dalamnya, baik yang mempelajarinya atau mengajarkannya, bertemu pada titik kesamaan di setiap masa dan tempat, karena itu aku melihat sebagai sesuatu yang penting untuk menyampaikan yang terbaik dari apa yang ditulis dibidang ini, karena umat tidak akan meraih kemuliaan tertinggi kecuali dengan kebaikan pelajar dan pengajar, ulama, dan penuntut ilmu, karena mereka adalah orang-orang yang bertugas dalam rangka mengembangkan potensi dan mengarahkan akal pikiran, mereka adalah para pembimbing ke jalan kebenaran dan timbangan keadilan dan kejujuran.
Hukum Mempelajari Ilmu-Ilmu Syar’i
Ilmu-ilmu syar’i memiliki bagian-bagian yang berjumlah banyak. Hukum mempelajarinya terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Ilmu yang bersifat fardhu ‘ain, yang disebut juga dharuri (ilmu yang mendesak untuk dipelajari), yaitu mempelajari hal-hal yang membuat seorang muslim menjadi lurus aqidahnya, berpahala ibadahnya, dan akad-akad dan muamalahnya menjadi sah, dan hal-hal yang dibutuhkannya dari urusan-urusan yang dilakukan dan digunakannya.
Bagian ini mencakup; mempelajari penyakit-penyakit hati seperti hasad, dengki, ujub, kikir dan penyakit-penyakit hati lainnya yang termasuk hal-hal yang mencelakakan. Al-Ghazali berkata, mengetahui batasan-batasannya, sebab-sebabnya, cara mengatasinya, dan pengobatannya adalah fardhu ‘ain.
Kedua: Ilmu yang mencakup fardhu kifayah, disebut juga dengan haji, (ilmu yang merupakan kebutuhan), yaitu mempelajari hal-hal yang dibutuhkan kaum muslimin dalam menegakkan agama mereka, seperti menghafal Al-Qur’an dan hadits serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keduanya, ilmu ushul fikih, nahwu, bahasa arab, mengetahui rawi-rawi hadits, ijma’, dan perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Bagian ini mencakup ilmu yang dibutuhkan untuk menegakkan urusan dunia seperti ilmu kedokteran, matematika, dan teknik.
Bagian ini juga mencakup ilmu kejuruan yang menopang kemaslahatan duniawi seperti ilmu pertanian, dan yang sepertinya.
Ketiga: Ilmu yang bersifat sunnah, disebut juga dengan tahsini (ilmu yang bersifat melengkapi), seperti mendalami tenyang ilmu dasar-dasar dalil, memperdalam ilmu syariat dengan takaran yang lebih dalam sekedar takaran fardhu kifayah, dan mengkaji berbagai disiplin ilmu sastra dan logika dalam kadar yang luas.
Adab Seorang Pengajar
Perkara paling penting yang dituntut dari seorang pengajar adalah adab pada diri sendiri dan adab para pembelajarannya.
Bagian pertama: Adab seorang pengajar pada dirinya sendiri, dan hal itu mencakup beberapa hal :
Diantaranya, hendaknya tujuan mengajarnya adalah mengharap wajah Allah Yang Maha Haq, bukan sebagai jembatan untuk meraih tujuan dunia seperti harta, kedudukan, kemasyhuran, memperbanyak murid yang belajar kepadanya, atau yang sepertinya. Dan mengajarkan ilmu karena mengharap wajah Allah merupakan tujuan salaf umat ini.
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku ingin manusia mempelajari ilmu itu tanpa menisbatkan satu huruf pun darinya kepadaku.”
Imam Asy-Syafi’i juga berkata: “Aku tidak pernah berdiskusi dengan seorang pun dengan tujuan mengalahkannya, dan bila aku berdiskusi dengan seseorang, aku ingin kebenaran tampak melalui dirinya.”
Dan dari ini semua hendaknya seorang pengajar memberikan contoh dalam dirinya seperti kesantunan, kesabaran, kemurahan hati, kedermawanan, menampakkan wajah berseri-seri namun tidak melewati batas dengan membuang rasa malu, memegang sikap wara’ (bersih hati), ketenangan, tawadhu’ (rendah hati) dan selalu menjaga kebersihan pada badan dan pakaian.
Dan hendaknya mewaspadai sifat tercela seperti riya’, hasad, ujub, merasa diri bersih, dan meremehkan manusia yang lebih rendah derajatnya.
Bila dia melakukan sesuatu yang mubah, namun dia khawatir disangka melakukan sebaliknya, maka hendaknya dia menjelaskan perkaranya yang sebenarnya kepada rekan-rekannya dan siapa yang mengetahuinya, agar mereka mengambil faidah dan tidak melakukan dosa karena buruk sangka mereka.
Bagian Kedua: Adab-Adabnya dalam pelajarannya
Hendaknya senantiasa bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, membaca dan menelaah, mengajarkan dan mengkaji, serta menghafal dan menulis.
Dan janganlah merasa sungkan untuk menimba ilmu dari orang-orang mungkin lebih rendah nasab, umur, ketenaran, agama ataupun ilmu lainnya, tetapi sebaliknya hendaknya ia menimba ilmu dari siapa yang memilikinya, walaupun mereka tidak memiliki kedudukan tinggi dalam perkara dunia.
Hendaknya merasa segan untuk bertanya tentang apa yang tidak ia ketahui.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa dia berkata :
نعم النّساء نساء الأنصار، لم يعنعهنّ الحياء أن يتفقّهن في الدّين
Artinya: “Sebaik-baik kaum wanita adalah wanita-wanita anhsar, rasa malu tidak menghalang-halanginya untuk menerima apa yang tidak diketahuinya. Tidak sedikit As-Salaf Ash-Shahih yang memtik faidah dari murid-murid mereka apa yang tidak mereka ketahui. (HR. Bukhari)
Imam An-Nawawi berkata, “Dan diriwayatkan secara shahih didalam As-Shahih riwayat beberapa orang tabi’in, dan riwayat beberapa orang tabi’in dari tabi’ut tabi’in. Amr Bin Syu’aib buka seorang tabi’in, namun lebih dari tujuh puluh orang ta’biin yang meriwayatkan darinya.”
Diriwayatkan dalam Ash-Shahihahin, bahwa Rasulullah membacakan surat Al-Bayyinah kepada Ubay Bin Ka’ab dan beliau bersabda:
أمرني الله أن أقرأ عليك
Artinya: “Allah menyuruhku untuk membacakannya kepadamu.” (Muttafaqun Alaih)
Bagian seperti ini disebut Riwayah Al-Akabir An Al-Ashaghir (periwayatan yang lebih senior usia dan keilmuannya dari orang yang lebih junior).
Hendaknya konsisten sibuk dengan ilmu adalah tujuan dan modal utamanya, sehingga tidak menyibukkan diri dengan selainnya. Bila keadaan menuntutnya untuk menyibukkan diri pada selainnya di satu waktu, maka dia menunaikannya sesudah melaksanakan kewajibannya di bidang ilmu.
Adab Dalam Penulisannya
Imam An-Nawawi berkata, patut baginya untuk memperhatikan bidang penulisan manakala dia merasa telah berkompeten untuk menulis, karena dengan menulis, dia akan mengetahui hakikat ilmu dan bagian-bagiannya yang mendetail, dan ilmunya pun akan melekat pada dirinya, karena menulis akan memaksanya untuk banyak memeriksa dan menelaah, meneliti dan mengkaji ulang, membuka jalan didepanya untuk mengetahui perkataan para imam, apa yang mereka sepakati dan apa yang mereka perdebatkan, apa yang jelas dan apa yang pelik, apa yang shahih dan apa yang dhaif, apa yang kuat dan apa yang lemah, apa yang benar secara mutlak yang tidak bisa disanggah dan apa yang tidak demikian. Dengan itu seorang muhaqqiq (peneliti) layak dikatakan sebagai mujahid.
Hendaknya berhati hati dengan tidak memasuki lahan penulisan ini bila dia belum berkompeten, karena hal tersebut hanya akan merugikan agama, ilmu dan kehormatannya.
Hendaknya berhati hati dengan tidak mempublikasikan kecuali sesudah mematangkannya, menganalisis, dan menelaahnya berulang kali.
Hendaknya berusaha menghadirkan kalimat-kalimat yang jelas dan ringkas, tidak menjelaskan dengan penjelasan yang kalimat nya salah, tidak meringkasnya dengan ringkasan yang membuat kalimat-kalimat nya rancu dan tidak dimengerti.
Hendaknya lebih memerhatikan bidang penulisan yang belum dirambah oleh orang-orang sebelumnya. Maksudnya tidak ada buku lain yang sejenis (dengan buku yang ditulisnya) dalam segala metodenya yang bila sudah ada mengakibatkan bukunya tersebut tidak diperlukan. Bila ada buku lain yang sejenis, namun hanya memenuhi sebagian dari kebutuhan, maka silakan menulis buku yang sejenis namun dengan penambahan-penambahan yang membuatnya berbeda, dengan menggunakan metode yang tidak digunakan oleh buku sejenis tersebut.
ADAB-ADAB PENGAJARAN
Ta’lim (pengajran) adalah dasar yang dengannya agama dan dunia bisa tegak. Dengan pengajaran, ilmu dijamin tidak akan punah. Didalam Al-Qur’an disebutkan:
وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّه لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَه فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِه ثَمَنًا قَلِيْلًاۗ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ
Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika Allah membuat perjanjian dengan orang-orang yang telah diberi Alkitab (dengan berfirman), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkan (isi Alkitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.” Lalu, mereka melemparkannya (janji itu) ke belakang punggung mereka (mengabaikannya) dan menukarnya dengan harga yang murah. Maka, itulah seburuk-buruk jual beli yang mereka lakukan”. (QS. Ali-Imran : 187)
Dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
ليبلّغ الشّاهد منكم الغائب
Artinya: “Hendaknya orang hadir dari kalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir”. (shahih, HR. Ahmad dalam sunannya)
Wajib bagi seorang pengajar untuk berniat mengharap wajah Allah dari pengajarannya dan tidak menjadikannya sebagai anak tangga untuk mendapatkan kepentingan dunia, karena apa yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah akan tetap langgeng dan senantiasa segar setiap zaman, sebaliknya apa yang ditunjukkan untuk suatu kepentingan duniawi, maka dia akan berakhir seiring dengan tergapainya kepentingan ilmu, maka hilanglah tujuan yang di maksudkan.
Hendaknya tidak menolak untuk mengajari seseorang hanya karena orang tersebut belum lurus niatnya, karena diharapkan dia akan meluruskannya.
Terkadang meluruskan niat ini terasa sulit bagi banyak kalangan penuntut ilmu pemula sehingga menolak mengajari mereka mengakibatkan hilangnya bagian besar dari ilmu, padahal diharapkan mereka akan bisa meluruskan niat mereka manakala mereka mulai mengenyam lezatnya ilmu.
Sebagian salaf berkata, “Mulanya kami menuntut ilmu bukan karena Allah, namun ilmu menolak kecuali kami harus menuntutnya hanya karena Allah.
Hendaknya seorang pengajar mendidik secara bertahap dengan menggunakan adab-adab yang luhur, sifat-sifat yang mulia, mendorong murid-muridnya kepada keikhlasan, kejujuran dan niat yang baik.
Hendaknya mendorong para murid-muridnya kepada ilmu, mengingatkan mereka tentang keutamaan-keutamaan ilmu dan para ulama.
Hendaknya mengasihi muridnya dan memperhatikan kemaslahatannya, sebagaimana dia memperhatikan kemaslahatan dirinya dan anak-anaknya, memperlakukan muridnya seperti anaknya sendiri, dalam menyayanginya, memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatannya, memaklumi kesalahan dan keburukannya yang terkadang-kadang, karena manusia tidak luput dari namanya kesalahan.
Bersambung .…
REFERENSI:
Diringkas oleh : Dian Wahyuni (pengajar ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
Sumber : Dari Adab Ad-Daris wa Al-Qasimi, Adab-adab penuntut ilmu, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, dan diterjemahkan oleh Izzudin Karimi, Lc.
BACA JUGA :
Ajukan Pertanyaan atau Komentar