40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 2)

40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah 2

40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 2) –

HADITS KE-3

Dari Aisyah Rhadiyallahu ‘Anha, dia berkata:

قَالَتْ هِنْدُ أُمُّ مُعَاوِيَةَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحُ لَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ.

Artinya: “Hindun, ibu Mu’awiyah, berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang kikir, dia tidak memberiku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anakku, kecuali sesuatu yang aku ambil darinya se- dangkan dia tidak mengetahuinya. Beliau bersabda, ‘Ambillah sebagian hartanya untuk mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima, kecuali at-Tirmidzi)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 4/338; Muslim, 7/12; Abu Dawud, 3/290; an-Nasa’i, 8/246; Ibnu Majah, no. 2293 dan Imam Ahmad, 6/39-50.

Penjelasan :

Hadits ini menerangkan dengan jelas tentang kewajiban seorang suami menafkahi istrinya, karena hal tersebut merupakan haknya atas suaminya. Dan jika ia tidak memberi nafkah atau memberinya tetapi tidak mencu- kupinya, maka istri boleh mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya secukupnya untuk nafkahnya secara baik.

As-Sarakhsi dalam al-Mabsuth berkata pada juz 5, hal. 180, “Karena dia tersandera untuk memenuhi hak suami dan mempersembahkan dirinya untuknya, maka dia berhak mendapatkan kecukupan darinya berkaitan dengan harta.” Ibnu Rusyd berkata dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 54, “Para ulama sepakat bahwa hak-hak istri atas suaminya adalah nafkah dan pakaian.”

Penulis Kitab Mughni al-Muhtaj berkata pada juz 3, hal. 435, “Nafkah wajib diberikan kepada istri dengan terwujudnya kehidupan berumah tangga bersama secara sempurna, karena ia telah menyerahkan semua yang dimilikinya, dan ia berhak memperoleh imbalan yang sepadan.” Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 3, hal. 414, “Hadits tersebut menunjukkan kewajiban suami memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Dan zahir hadits menunjukkan bahwa hal itu tetap berlaku walaupun sang anak itu sudah dewasa karena keumuman redaksi hadits dan tidak adanya penjelasan rinci, kecuali bila ada hadits lain yang mengkhususkannya. Tetapi jika tidak ada, maka keumuman hadits tetap berlaku.

Penulis Kitab Manar as-Sabil berkata pada juz 2, hal. 297, “Wajib bagi suami memberi nafkah yang dibutuhkan oleh istrinya, berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal dengan kadar yang ma’ruf. Dan yang dimaksud ma’ruf itu adalah kadar kecukupan. Dan para ulama sepakat, bahwa suami wajib memberi nafkah ke- pada istrinya, jika keduanya sudah baligh dan sang istri tidak berbuat nusyuz (durhaka pada suami).”

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim pada juz 12, hal. 7-10, “Di antara faidah hukum (yang bisa diambil) dari hadits di atas adalah diboleh- kannya mendengarkan perkataan wanita asing yang bukan mahram ketika sedang berfatwa dan memutuskan suatu hukum, dan demikian pula hal-hal lain yang semakna dengannya.” Dan beliau menjelaskan juga diantara faidah hadits ini adalah seorang istri boleh keluar dari rumahnya karena suatu kebutuhan bila suaminya mengizinkannya, atau ia mengetahui suaminya pasti meridhainya.”

HADITS KE-4

Dari Asma Rhadiyallahu ‘Anha,

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ لِي ضَرَّةً فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِيْ غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ تَوْتَيْ زُورٍ.

Artinya: “Bahwa seorang perempuan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai madu (istri kedua suami), apakah berdosa jika saya berpura-pura kenyang dari harta suami yang tidak dia berikan kepadaku?” Beliau bersabda, “Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima, kecuali at-Tirmidzi).

seseorang dengan istilah جارة tetangga wanita dan 6 diriwayatkan oleh al-Bukhari, 9/317; Muslim, Ahmad, 6/167, 345. 3/1681; dan Imam Ahmad, 6/167, 345

Penjelasan :

Al-Khaththabi dalam Ma’alim as-Sunan berkata pada juz 4, hal. 135, “Perkataan wanita dalam hadits (: إِنَّ فِي ضَرَّةُ  (Saya mempunyai madu), bangsa Arab menyebut istri memanggil dua orang yang dimadu dengan istilah جَارَتَيْنِ  (dua tetangga wanita) karena kedekatan keduanya seperti dua tetangga yang kedua rumahnya saling berdekatan. Di antara ini adalah perkataan al-A’sya kepada istrinya, “Wahai istriku, menjauhlah dariku karena engkau sekarang telah dicerai (tertalak).” Dan yang serupa dengan perkataan tadi adalah ucapan Umru’ul Qais,

“Duhai istriku, kita adalah dua orang asing di sini Setiap orang asing terhadap sesamanya bersaudara.”

Perkataan Rasulullah, “Bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu,” ditafsirkan dalam dua pengertian:

Pertama, bahwa dua pakaian di sini seakan-akan menyindir perilaku dan arah pandangannya. Terkadang orang Arab memakai kata tsaub (pakaian) untuk menerangkan dengan kinayah (sindiran) terhadap keadaan pemakainya, perilaku serta arah pandangannya. Seperti perkataan seorang penyair:

وَإِنِّي بِحَمْدِ اللَّهِ لَا ثَوْبَ غَادِرٍ لَبِسْتُ وَلَا مِنْ رِيْبَةٍ أَتَقَنَّعُ

Artinya: “Sesungguhnya aku dengan memuji Allah, tak ada pakaian dusta yang kupakai dan tidak ada keraguan yang menutupi wajahku.”

 Makna hadits ini adalah orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya adalah seperti kedudukan pembohong yang mengatakan sesuatu yang tidak terjadi.

Kedua, kisah yang diceritakan dari si fulan bahwa ada seorang laki-laki di salah satu kampung yang memiliki karakter dan kecerdasan. Setiap diminta untuk bersumpah palsu, maka dia melakukannya, dan sumpah atau persaksiannya itu tidak pernah ditolak karena kecerdasannya serta bagusnya dua pakaiannya. Maka disandarkanlah sumpah tersebut pada kedua pakaiannya, karena kedua pakaian itulah yang membuat sumpah palsunya diterima dan laku keras.

HADITS KE-5

Dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata,

قِيلَ لِعَائِشَةَ : هَلْ تَلْبَسُ الْمَرْأَةُ نَعْلَ الرَّجُلِ؟ فَقَالَتْ: قَدْ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الْمُتَرَجِلَةَ مِنَ النِّسَاءِ.

Artinya: “Aisyah ditanya, ‘Apakah boleh seorang perempuan memakai sandal laki-laki?’ Dia menjawab, ‘Sungguh Rasu- lullah telah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki (dalam berpakaian dan perilakunya)’.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 2/184 dan perawi hadits ini semuanya tsiqat, hanya saja di dalamnya ada ‘an’anah Ibnu Juraij dan dia seorang mudallis, seperti yang dikatakan penulis Kitab at-Taqrib, hal. 4193 Waraqah (lampiran) 363. Namun hadits ini memiliki ha- dits syahid, di antaranya Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الْمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالْمُتَرَجِلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ، فَأَخْرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ فَلَانًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا.

Artinya: “Bahwa Rasulullah melaknat para banci dari laki-laki dan melak- nat perempuan yang menyerupai laki-laki. Beliau bersabda, ‘Keluar- kan mereka dari rumah-rumah kalian. Dia berkata, “Kemudian Nabi mengeluarkan seseorang dan Umar juga mengeluarkan seseorang.

Dalam redaksi (lafazh) lain,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرجال.

Penjelasan :

Hadits ini menerangkan haramnya kaum wanita menyerupai kaum laki-laki. Begitu pula sebaliknya, laki-laki juga diharamkan menyerupai para wanita dalam berbagai macam hal mencakup pakaian dan selainnya.

Muhammad Syamsul Abadi dalam ‘Aun al-Ma’bud mengatakan pada juz 11, hal. 157 di akhir keterangannya, “Bahwa Rasulullah melaknat kaum wanita yang me- nyerupai laki-laki, yaitu mereka yang menyerupai laki- laki dalam berpakaian dan berperilaku. Adapun dalam bidang keilmuan, maka hal itu merupakan sesuatu yang terpuji. Dalam riwayat lain disebutkan, لَعَنَ الرَّجُلَةَ مِنَ النِّسَاءِ  dengan pengertian wanita yang menyerupai laki-laki.

Dikatakan اِمْرَأَةٌ رَجُلَةٌ  bila dia menyerupai seorang laki- laki dalam berpikir dan dalam ilmu pengetahuannya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dari ath-Tha- bari dalam kitabnya Fath al-Bari, juz 10, hal. 332, “Maksudnya adalah seorang laki-laki tidak boleh menyerupai wanita dalam berpakaian dan berhias yang dikhusus kan bagi kaum wanita, dan tidak sebaliknya (yakni pa- kaian yang bukan dikhususkan bagi wanita itu boleh).”

“Rasulullah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai wanita, dan melaknat kaum wanita yang menyerupai laki-laki.” Ahmad, 2/an oleh al-Bukhari, 108/274; Abu pai laki-12/305; dan Imam 2/198.

Penulis Kitab al-Kaba`ir, adz-Dzahabi mengatakan pada hal. 129, “Apabila seorang wanita memakai model pakaian laki-laki, berupa pakaian yang ketat, pakaian yang berlubang, lengan tangan yang sempit, berarti ia telah me- nyerupai kaum laki-laki dalam berpakaian, maka ia akan mendapat laknat dari Allah dan RasulNya. Suami- nya akan mendapat laknat pula apabila ia memberikan kesempatan kepadanya atau rela dengan perilaku istri- nya yang demikian dan tidak mencegahnya. Karena seorang suami diperintahkan membimbing istrinya untuk taat kepada Allah dan melarangnya bermaksiat kepadaNya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri ka- lian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan ba- karnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)

 Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian pasti akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya, dan seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, da npada Hari Kiamat akan ditanya tentang mereka.”

Penulis Kitab Nail al-Authar berkata, 2/117-118, al- Imam an-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang benar adalah, bahwa kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan begitu juga sebaliknya, adalah haram berdasarkan hadits shahih.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya menyerupakan diri (tasyabbuh) dengan lawan jenis dalam penampilan-penampilan lahiriah akan menimbulkan penyerupaan dan penyesuaian dalam akhlak tingkah laku dan perbuatan, dan hal ini akan menghilangkan sifat malu yang disyariatkan pada diri wanita.” Kemudian ia mengatakan, “Jadi kaidahnya adalah bahwa semua pakaian yang dipakai laki-laki, dilarang dipakai oleh kaum wanita walaupun pakaian tersebut menutupi aurat.” Kitab Majmu’ al-Fatawa, juz 22, hal. 155, dan lihat Kitab Subul as-Salam, juz 4, hal. 29-30.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari, juz 10, hal. 332, “Begitu pula termasuk kategori menyerupai (tasyabbuh) adalah cara berkata dan berjalan. Adapun dalam hal berpakaian maka berbeda sesuai de ngan perbedaan adat setiap negara. Betapa banyak di masyarakat, antara pakaian wanita dan laki-laki sulit di bedakan. Akan tetapi kaum wanita dapat dibedakan dar kaum laki-laki dengan pakaian hijab dan istitar (penutup kepala dan wajah, atau hanya kepala saja).

Sedangkan celaan menyerupai dalam hal berbicara dan berjalan, maka itu khusus bagi orang yang sengaja melakukan- nya. Adapun orang yang tabiat asalnya memang seperti itu, maka dia diperintahkan untuk berusaha keras me- ninggalkan kebiasaannya dan konsisten melakukannya secara bertahap. Apabila ia tidak melakukannya dan terus-menerus melakukan hal serupa (menyerupai wanita atau menyerupai laki-laki), maka hal itu tercela, apalagi jika tampak darinya sesuatu yang menunjukkan kerela- annya dengan perilaku tersebut. Keterangan ini nampak jelas pada kalimat al-Mutasyabbihin (orang-orang yang menyerupai). Adapun orang yang memutlakkan masalah ini seperti Imam an-Nawawi yang berpendapat bahwa orang banci dari bawaan lahir (al-Mukhannats al-Khalqi) tidak boleh dicela, maka itu berlaku jika dia tidak mampu meninggalkan cara berjalan dan bicara yang menyerupai perempuan setelah ia berusaha keras untuk meninggalkannya. Namun, apabila memungkinkan baginya untuk meninggalkan cara-cara tersebut walaupun dengan bertahap, tetapi ia tidak melakukannya tanpa uzur syar’i, maka dia mendapatkan celaan.”

Bersambung….

Diringkas oleh : Anggi Abu Rayyan pegawai ponpes DQH

Referensi : 40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah oleh Al-Ustadz Mansyur Bin Hasan Al-Abdullah

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.