Oleh: Ustadz Haidir, Lc
.
Berbicara mazhab fiqih di kalangan ahli sunnah wal jama’ah, pikiran kita tentunya tertuju kepada empat mazhab, yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah atau Hambaliyyah. Di antara keempat mazhab di atas, Hanafiyyah lah yang dianggap paling tua. Hal ini karena perintis mazhab tersebut, Imam Abu Hanifah rohimahulloh adalah yang paling senior dibandingkan tiga Imam lainnya, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal rohimahumulloh. Dan mazhab ini pula yang lebih dahulu mendominasi di negeri-negeri Islam sebelum mazhab lainnya. Siapakah figur Imam mazhab yang paling senior di antara keempat mazhab ini? Tulisan kali ini akan mengangkat tema tentang Imam ahli ro’yi[1] Abu Hanifah rohimahulloh.
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi, dikenal dengan kuniah Abu Hanifah. Lahir tahun 80 hijriah di masa para shighor sahabat (sahabat junior) masih hidup. Di masa beliau, ada empat orang sahabat yang masih hidup. Mereka adalah Anas bin Malik, Abdulloh bin Abi Aufa Al-Anshori, Abu Thufail Amir bin Watsilah dan Sahal bin Sa’ad As Sa’idi.[2]. Beliau sempat melihat Anas bin Malik rodhiyallahu‘anhu ketika Anas berkunjung ke Kufah[3]. Dengan demikian Abu Hanifah masih tergolong dalam tingkat para tabi’in, khususnya shighor tabi’in (tabi’in junior) karena masih bertemu dengan salah seorang sahabat rodhiyAllah Ta’alau ‘anhum meskipun tidak meriwayatkan dari mereka[4]. Namun Ibnu Hajar menggolongkan beliau ke dalam tingkat orang-orang yang hidup di masa tabiut tabi’in, yaitu tingkat yang sezaman dengan tabi’in junior. Ibnu Hajar hanya mengkategorikan sezaman namun tidak memasukkannya ke dalam tingkat para tabi’in.
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah di antaranya adalah Atho bin Abi Robah, Abu Ishaq As-Sabi’i, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Hisyam bin Urwah dan lainnya[5]. Dari merekalah Abu Hnifah mengambil hadits. Adapun fiqih, beliau berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman di Bashroh. Ketika di Bashroh, Abu Hanifah menyangka bahwa beliau bisa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau. Namun ternyata beliau tidak bisa menjawab beberapa permasalahan yang mana Hammad bin Abi Sulaiman bisa menjawabnya. Sejak saat itu Abu Hanifah selalu duduk di majelis Hammad selama 18 tahun. Hammad bin Abi Sulaiman lah guru yang paling memberi kesan kepada Abu Hanifah. Bahkan setelah Hammad wafat, Abu Hanifah tidak pernah sholat kecuali beliau selalu memintakan ampun kepada Allah Ta’ala bagi kedua orang tuanya dan Hammad bin Abi Sulaiman. Dan sudah menjadi kebiasaan Abu Hanifah untuk mendoakan setiap orang yang mengajarkannya ilmu dan setiap orang yang beliau ajari[6].
Sedangkan murid-murid beliau di antaranya adalah Abdulloh bin Mubarok, Yazid bin Harun, Waki’ bin Jarroh, Abdurrozzaq bin Hammam Ash-Shan’ani, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrohim Al-Qodhi (hakim), dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan inilah yang meriwayatkan serta menyebarkan fiqih Abu Hanifah.
Awal Mula Abu Hanifah Belajar Fiqih
Ada beberapa versi mengenai motivasi awal Imam Abu Hanifah belajar fiqih. Di antaranya sebagaimana yang diriwayatkan Al-Khothib Al-Baghdadi:
“Bahwa Abu Hanifah pada awalnya belajar nahwu dan shorof. Beliau mencoba melakukan qiyas di dalam ilmu tersebut. Beliau mempelajari perubahan kata dari bentuk tunggal ke bentuk jamak. Beliau mengatakan qolbun qulub, kalbun kulub. Abu Hanifah menyamakan wazan bentuk jamak kalbun dengan qolbun yaitu kulub dengan wazan fu’ul. Namun beliau ditegur oleh gurunya, kalbun jamaknya kilab. Dengan ini beliau tidak puas. Beliau tidak bisa melakukan qiyas di dalam ilmu nahwu. Oleh karena itu beliau berpindah ke disiplin ilmu lain untuk mempelajari fiqih”.[7]
Kisah diatas diriwayatkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi sampai kepada Ibrohim Al-Harbi[8]. Dengan demikian Ibrohim Al-Harbi lah yang menceritakan kisah ini.
Terdapat kisah lain berkenaan dengan awal mula Abu Hanifah belajar fiqih yang diriwayatkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi dengan sanadnya sampai kepada Abu Hanifah bahwa beliau menuturkan pada mulanya belajar ilmu kalam. Abu Hanifah mengira bahwa beliau bisa menjawab semua permasalahan yang dilontarkan kepada beliau. Hingga datang seorang wanita menanyakan permasalahan talak (perceraian). Abu Hanifah tidak bisa menjawab. Beliau menyuruh wanita tadi mendatangi Hammad bin Abi Sulaiman kemudian memberitahukan apa jawaban Hammad. Setelah Abu Hanifah mengetahui jawaban dari Hammad bin Abi Sulaiman, beliau terkesan dengan fiqih. Sejak saat itulah beliau senantiasa mengambil ilmu di majelis Hammad bin Abi Sulaiman sampai gurunya tersebut wafat[9].
Kecerdasan dan Kezuhudan Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah seorang imam yang cerdas, faqih dan pandai beretorika. Tidak jarang beliau membuat lawan bicaranya terdiam kehabisan hujjah (argumen). Ada beberapa kisah yang menunjukkan kecerdasan beliau dalam beretorika, di antaranya:
Kisah Abu Hanifah bersama Abu Ja’far Al-Manshur ketika beliau diminta untuk menjadi qodhi (hakim). Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad[10]. Ketika itu Abu Hanifah bersumpah bahwa beliau tidak mampu. Namun Abu Ja’far Al-Manshur juga bersumpah bahwa Abu Hanifah mampu. Maka terdapat dua sumpah yang saling beradu, sumpahnya Abu Hanifah dan sumpahnya Amirul Mukminin Abu Ja’far Al-Manshur. Rabi’ bin Yunus Al-Hajib yang ketika itu menyaksikan kejadian itu mengatakan kepada Abu Hanifah: “Tidakkah engkau melihat bahwa Amirul Mukminin telah bersumpah?” Secara umum jika sumpah seorang rakyat diadu dengan sumpahnya seorang pemimpin seharusnya sumpahnya pemimpinlah yang harus dimenangkan. Namun Abu Hanifah mengatakan: “Amirul Mukminin lebih mampu untuk membayar kafarat sumpahnya dibandingkan saya”. Artinya jika Amirul Mukminin lebih mampu membayar kafarat, beliau lebih mampu untuk membatalkan sumpahnya dibandingkan Abu Hanifah. Dalam hal ini hujjah Abu Hanifah untuk tidak menerima jabatan qodhi (hakim) lebih kuat daripada hujjahnya Amirul Mukminin. Setelah itu Abu Hanifah harus dijebloskan ke penjara akibat menolak untuk dijadikan qodhi (hakim).
Di kisah yang lain, Abu Hanifah bersumpah bahwa beliau tidak mampu memegang amanat sebagai qodhi (hakim). Amirul Mukminin kemudian mengatakan: “Tidak, anda telah berbohong”. Abu Hanifah mengatakan: “Ya anda benar wahai Amirul Mukminin, bagaimana seorang pembohong seperti saya memegang amanat sebagai seorang qodhi (hakim)”.[11] Dengan jawaban ini, Abu Ja’far Al-Manshur terjepit dalam dua keadaan. Jika Abu Ja’far mengatakan Abu Hanifah tidak berdusta maka Abu Hanifah akan lepas dari jabatan qodhi (hakim) karena Abu Ja’far telah mengakui ketidakmampuan Abu Hanifah. Namun ketika beliau mengatakan bahwa Abu Hanifah berdusta, hal tersebut juga menyebabkan beliau harus mengakui bahwa Abu Hanifah tidak mampu memegang amanat qodhi (hakim). Karena seorang pendusta tidak bisa memegang amanat sebagai seorang qodhi (hakim).
Kedua kisah di atas seolah bertentangan, karena ada dua versi cerita mengenai hujjah Abu Hanifah. Namun sebenarnya tidak. Ketika Abu Hanifah menolak amanat sebagai qodhi (hakim) di Baghdad, Abu Hanifah dijebloskan di penjara. Dan sangat mungkin sekali selama beliau di penjara, beliau dipanggil beberapa kali menghadap Amirul Mukninin, untuk mengetahui apakah beliau berubah pikiran atau tidak. Jadi kedua hujjah Abu Hanifah tersebut bisa saja terjadi di dua kesempatan ketika beliau dipanggil menghadap Amirul Mukminin.
Meskipun demikian kedua kisah di atas menunjukkan sisi kezuhudan dan wara’ sang Imam. Di zaman ini kita melihat orang-orang berlomba-lomba mencari kedudukan dan jabatan, namun Abu Hanifah justru menghindari hal tersebut. Apa yang dilakukan Abu Hanifah selaras dengan kalam Allah Ta’ala:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِين
“Itulah negeri akhirat yang kami jadikan bagi mereka yang tidak menginginkan kedudukan tinggi di dunia dan tidak ingin berbuat kerusakan. Dan itulah balasan bagi orang-orang bertaqwa”. (QS. Al-Qoshosh: 83)
Juga selaras dengan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ وَلِيَ القَضَاءَ ، أَوْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ
“Barangsiapa mengurusi peradilan atau dijadikan sebagai qodhi (hakim) maka dia telah disembelih tanpa pisau”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)[12].
Abu Hanifah dan Tuduhan Murji`atul Fuqoha
Dalam perbincangan masalah iman, Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya seringkali diidentikkan dengan mazhab murji`atul fuqaha`. Mazhab murji`atul fuqaha` mengatakan bahwa amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman. Sementara ahlus sunnah mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk iman. Al-Khothib Al-Baghdadi meriwayatkan beberapa atsar yang menghikayatkan bahwa Abu Hanifah beraqidah murji`ah[13]. Keidentikan inilah yang diyakini oleh sebagian besar penuntut ilmu syar’i dewasa ini. Di antara para pakar, ada yang mencari jalan tengah bahwa perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan ahlus sunnah dalam masalah ini hanya perbedaan pendapat yang bersifat etimologi atau perbedaan istilah saja. Namun sebenarnya Abu Hanifah telah merevisi pendapatnya (rujuk).
Rujuknya Imam Abu Hanifah dari pendapatnya yang semula telah dijelaskan oleh Al-Qodhi (hakim) Ibnu Abil Izzi dalam Syarah Aqidah Thahawiyyah-nya. Beliau menukilkan kisah yang dihikayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi tentang perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Hammad bin Zaid dalam permasalahan Iman, apakah amal perbuatan termasuk di dalamnya atau tidak? Imam Abu Hanifah mengatakan “tidak”, sedangkan Imam Hammad bin Zaid mengatakan termasuk. Kemudian Imam Hammad bin Zaid meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya Urwah bin Zubair dari Abu Murawih Al-Laitsi dari Abu Dzar rodhiyallahu’anhu beliau mengatakan:
يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ الإِيْمَانُ بِاللهِ وَالجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ
“Wahai Rosululloh amalan apakah yang paling utama? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab iman kepada Allah Ta’ala dan jihad di jalan-Nya.” [14]
Hammad bin Zaid mengatakan: “Tidak kah kau lihat ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amal perbuatan beliau menjawab dengan iman. Dengan demikian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menganggap amal perbuatan merupakan iman.
Abu Hanifah terdiam mendengar hujjah Hammad bin Zaid. Kemudian para pengikut Abu Hanifah berseru: “Jawablah dia wahai Abu Hanifah!”
Namun sontak Abu Hanifah mengatakan: “Dengan apa aku harus menjawab sementara yang mengatakan demikian adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ”.
Berdasarkan kisah ini Ibnu Abil Izzi berkesimpulan bahwa setelah peristiwa tersebut Abu Hanifah rujuk dari perkataan sebelumnya. Segala pendapat tentang amal perbuatan tidak termasuk ke dalam iman yang disandarkan kepada Abu Hanifah sesungguhnya pendapat tersebut adalah pendapat para pengikutnya dari kalangan Hanafiyyah. Sementara Abu Hanifah sendiri berlepas dari tuduhan itu[15].
Kisah di atas juga sekaligus menepis tuduhan bahwa fiqih Abu Hanifah adalah fiqih yang paling jauh dari sunnah. Abu Hanifah adalah sosok yang mencintai sunnah sebagaimana ditunjukkan pada kisah di atas. Dengan kecerdasan yang beliau miliki beliau diam di hadapan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berani berkomentar. Jika beliau di dalam fiqihnya lebih sering menggunakan analogi qiyas bukan berarti beliau adalah seorang yang menolak sunnah. Beliau adalah sosok Imam yang hati-hati dan teliti dalam menerima sunnah. Karena beliau hidup di lingkungan di mana aliran-aliran sesat tumbuh dengan subur, yaitu kota Kufah. Aliran-aliran tersebut tidak segan-segan menggunakan hadits lemah bahkan palsu untuk membenarkan keyakinannya. Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam menerima hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H di usianya yang ke tujuh puluh tahun. Beliau disholatkan enam kali karena banyaknya yang hadir ketika hari wafatnya[16].
.
[1] Madzhab yang kebanyakan dalilnya menggunakan akal.
[2] Thobaqôtul Fuqohâ, (1/86)
[3] Siyar A’lâmin Nubalâ, (6/391)
[4] Ulumul Hadits Libni Sholah, (hal:302)
[5] Tarikh Baghdad, (15/444)
[6] Tarikh Baghdad, (15/444)
[7] Ibid
[8] Beliau adalah Ibrohim bin Ishaq bin Ibrohim Abu Ishaq Al-Harbi penyusun kitab Ghoribul Hadits salah seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal yang mempelajari fiqihnya. Lihat: Tarikh Baghdad, (6/522)
[9] Lihat: Tarikh Bahdad, (15/444)
[10]Ibid
[11]Ibid
[12] Abu Dawud (No: 3571) & Tirmidzi (No: 1325)
[13] Dalam Tarikh Baghdad Al-Khothib menyusun bab khusus untuk mengumpulkan atsar-atsar tersebut. Beliau memberi judul bab tersebut “Ma Hukiya ‘An Abi Hanifah fil Iman” (15/502)
[14] HR. Muslim dari jalur Hammad bin Zaid dari Hisyam bin Urwah dari Urwah bin Zubair dari Abu Murowih Al-Laitsi dari Abu Dzar secara marfu’ (no: 84)
[15] Syarh Aqidah Thowiyyah, (1/351)
[16] Tarikh Baghdad, (15/585)
.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hanafi, Ibnu Abil Izz. Syarah Aqidah Thohawiyyah. Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan Keempat, 1391 H.
Al-Khothib Al-Baghdadi. Tarikh Baghdad. Tahqiq: Basyar Awwad Ma’ruf. Beirut: Darul Ghorob Al-Islami. Cetakan Pertama, 1422 H.
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman. Sunan Abu Dawud. Tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Beirut: Al-Maktab Al-Ashriyyah.
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad. Jami’ut Tirmidzi (Sunan Tirmidzi). Tahqiq: Basyar Awwad Ma’ruf. Beirut: Darul Ghorob Al-Islami. 1998 M.
An-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj. Shohih Muslim. Tahqiq: Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya`it Turats Al-Arobi.
Ibnu Sholah, Utsman bin Abdirrohman. Ulumul Hadits. Tahqiq: Nuruddin Itr. Damaskus: Darul Fikr. 1986 M.
Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Siyar A’lam Nubala. Tahqiq: Tim Filolog dipimpin oleh Syu’aib Al-Arnauth. Beirut: Mu`assasah Risalah. Cetakan Ketiga, 1985 M.
Asy-Syirozi, Abu Ishaq Ibrohim bin Ali. Thobaqôtul Fuqohâ. Tahqiq: Ihsan Abbas. Beirut: Darur Ro`id Al-Arobi.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu, tahun ke-4 edisi ke-9
Sumber gambar: darultahqiq.com
Leave a Reply