Ensiklopedia Akhlak Salaf

ensiklopedia akhlak salaf

ENSIKLOPEDI AKHLAK SALAF (PART 2).  Akhlak adalah cerminan keimanan seseorang. Rendah dan tingginya akhlak menjadi indikator kuat bagi keimananya. Semakin tinggi akhlak seseorang, maka semakin tinggi pula keimananya, begitu pula sebaiknya. Hadirnya artikel ini berguna untuk mengingatkan kembali urgensi akhlak bagi umat ini. Artikel ini juga sarat dengan pesan-pesan moral dan akhlak yang memotivasi agar berakhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela. Sentuhan nasehat di dalamnya diharapkan dapat mengaktualisasikan kembali nilai-nilai akhlak dalam diri, keluarga, dan masyarakat kita.

 

  1. Akhlak Mulia adalah Warisan Rasulullah

Perhatikanlah hadits-hadits Rasulullah!

Rasulullah senantiasa memotivasi umat ini (Islam) agar bersungguh-sungguh menghiasi diri dengan akhlak mulia. Betapa tidak? Mendakwahkan akhlak mulia merupakan misi diutusnya beliau ke tengah manusia. Karena itu, akhlak mulia termasuk warisan beliau bagi kita semua.

Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

انما بعثت لا تمم مكارم الاخلاق

Artinya:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.“[1]

 

Motivasi di atas bisa terlihat jelas dalam beberapa nukilan riwayat berikut.

  1. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

اكمل المؤمنين ايمانا احاسنهم اخلاق الموطؤون اكنافا الذين يألفون ولاخير فيمن لا يألف ولا يؤلف

Artinya:

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya, paling mudah bersahabat dan disahabati. Tidak ada kebaikkan pada orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati.”[2]

 

  1. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

اكمل المؤمنين ايمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم

Artinya:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Dan orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.”[3]

 

  1. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling bagus akhlaknya, paling lapang jiwanya, serta yang mudah menerima orang lain dan mudah diterima orang lain. Sedangkan orang yang paling akua benci adalah yang suka mengadu domba, memutus hubungan di antara oarang-orang yang saling mencintai, dan mencari-cari kesalahan orang lain yang tidak bersalah.”[4]

Rasulullah ditanya mengenai sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam Surga, lantas beliau menjawab: “Ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia.” Dan ketika ditanya mengenai sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke Neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.”[5]

Masih banyak riwayat lain yang secara tersirat maupun tersutat mendorong dan memotivasi kita agar menghiasi diri dengan akhlak mulia dan menjauhi segala akhlak tercela.

  1. Seluruh Ibadah Terkait Erat dengan Akhlak Mulia

Saudaraku …

Sungguh, pada akhlak mulia ada banyak keutamaan dan pahala besar. Karenanya, tiap bentuk ibadah maupun muamalah dalam Islam selalu digandengkan dengan akhlak mulia. Ketika seorang muslim mengerjakan ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, ia pun dituntut supaya menghiasi ibadahnya itu dengan akhlak mulia. Begitu pula saat bermuamalah dengan sesama, ia dituntut berakhlak mulia. Bahkan dalam seluruh aktivitas kesehariannya.

Mari kita renungi sejenak ibadah shalat. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

اذا سمعتم الاقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا

Artinya:

“Apabila kalian mendengar iqamat maka segeralah berjalan mendatangi shalat. Namun demikian, hendaklah kalian tetap tenang dan tidak terburu-buru.”[6]

 

Shalat yang dikerjakan dengan khusyu dan tuma’ninah (penuh ketenangan) akan memberikan pengaruh yang besar bagi jiwa, sikap, dan perilaku orang yang mengerjakannya. Salah satunya disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:

…ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر…

Artinya:

“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar…” (QS. Al-’Ankabut {29}: 45)

 

Begitu pula ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

الصيام جنة فلا يرفث ولا يجهل وإن امرؤ قاتلة أو شاتمه فليقل اني صائم إني صائم

Artinya:

“Puasa adalah perisai (dari siksa api Neraka). Maka itu, apabila salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah ia mengumpat dan berkata-kata tidak boleh senonoh. Jika seseorang menyerangnya atau mencacinya, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa!”[7]

 

Demikianlah seharusnya. Seorang ayng berpuasa harus menghiasi puasanya dengan akhlak mulia hingga tercapailah hikmah dari ibadah puasa itu sendiri, yaitu membentuk insan yang bertakwa sebagaimana firman-Nya:

يأ يها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah {2}: 183)

 

Mengenai ibadah haji, Allah memerintahkan kita supaya menghiasinya dengan akhlak mulia melalui firman-Nya berikut ini:

…فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال فى الحج وما تفعلوا من خير يعلمه الله …

Artinya:

“…Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia berkata jorok (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya …” (QS. Al-Baqarah {2}: 197)

 

Perintah agar berakhlak mulia bahkan hadir dalam urusan jual beli dan muamalah lainnya. Tentang hal itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:

من غشنا فليس منا

Artinya:

“Siapa yang berlaku curang atas kami (dalam urusan jual beli) maka dia bukan golongan kami.”[8]

 

Dalam hadits yang lain , beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

فان من خيار الناس أحسنهم قضاء

Artinya:

“Sesungguhnya sebaik-baik orang yang berhutang adalah yang paling baik dalam cara melunasi utangnya.”[9]

 

Demikianlah setiap muslim dituntut untuk senantiasa menghiasi seluruh ibadah dan muamalahntya dengan akhlak yang mulia. Semua itu terangkum dengan jelas dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berikut:

ان الله كتب الاحسان على كل شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذح وليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته

Artinya:

“Sesungguhnya Allah mewajibkan kita berlaki ihsan (baik) dalam setiap hal. Oleh sebab itulah, apabila kalian membunuh (utuk mengqishash) maka lakukanlah dengan cara yang baik. Apabila kalian menyembelih hewan maka lakukanlah dengan cara yang baik, yaitu tajamkanlah pisau serta berikanlah rasa nyaman kepada hewan sembelihan.”[10]

 

Dari uraian di atas, jelas bahwa seluruh ibadah memiliki hubungan yang erat dengan akhlakn mulia. Maka hilangnya akhlak mulia dapat mengurangi atau bahkan membatalkan nilai dan kesempurnaan ibadah tersebut. Asy-Syathibi menegaskan:”Syariat Islam, secara keseluruhan, hakikatnya adalah berakhlak dengan akhlak yang mulia. Itulah mengapa Rasulullah berkata kepada para Sahabatnya: ‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[11]

  1. Kunci Sukses dalam Dakwah

Apabila kita melakukan kilas balik terhadap perjalanan dakwah Rasulullah, niscaya kita akan melewati bahwa salah satu kunci keberhasilan dakwah beliau adalah akhlak mulia. Hal itu dibenarkan langsung oleh firman Allah Subhanahu Wata’ala:

فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك …

Artinya:

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu …” (QS. Ali Imran {3}: 159)

 

Akhlak mulia ini memiliki peran yang sangat besar dalam kesuksesan dakwah Islam. Nabi sendiri memanfatkan kekuatan akhlak pada awal dakwahnya, dan akhlak mulia yang menjadi senjata beliau ketika itu adalah sifat jujur. Disebutkan dalam kisah yang masyhur, bahwa pada masa awal mendakwahi kaum musrikin di Makkah, Nabi pernah menanyakan kesaksian mereka terhadap kejujuran beliau ini: “Bagaimana menurut kalian andaikan aku mengabarkan bahwa pasukan berkuda akan muncul dari balik bukut ini, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka pun menjawab: “Tentu saja, sebab kami tidak pernah melihatmu berbohong, sama sekali.”[12]

Pada waktu permulaan dakwah itu pula, selain menyeru umat manusia agar mentauhidkan Allah, Rasulullah menyeru mereka agar mentauhidkan Allah, Rasulullah menyeru mereka agar berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang luhur. Demikianlah sebagaimana ditegaskan dalam sabda beliau Shallallahu Alaihi Wasallam:

انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق.

Artinya:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[13]

 

Kisah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, disebutkan bahwa ada laki-laki Badui masuk ke dalam masjid, sementara Rasulullah sedang duduk. Laki-laki ini mengerjakan shalat dua rakaat, lantas ia berdoa: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad saja, janganlah rahmati siapa pun selain kami.” Beliau pun berkata: “Sungguh, kamu telah membatasi sesuatu (rahmat Allah) yang luas.”

Tidak lama kemudian, orang Badui itu kencing di dalam masjid. Orang-orang begegas ingin mendatanginya ,tetapi beliau melarang mereka. Beliau memerintahkan:  “Siramlah air kencingnya dengan satu ember air, atau satu timba air.”

Setelah itu, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

فإ نما بعثتم ميسرين، ولم تبعثوا معسرين.

Artinya:

“Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan untuk membuat sulit.”[14]

 

Mengedepankan akhlak mulia dalam berdakwah adalah perkara yang sangat penting. Ada satu kaidah umum yang harus selalu diingat: kebanyakan orang tidak melihat kadar ilmu dan ibadah kita, tetapi yang mereka lihat pertama kali adalah perangai dan adab kita dalam pergaulan. Jika perangai kita terpuji di mata mereka, pasti mereka akan mengambil ilmu dari kita. Sebaliknya, jika perangai kita buruk, pasti mereka enggan dan tidak mau mengambil ilmu dari kita. Bahkan kita bisa menjadi benih musibah, yakni jika mereka sampai lari dari syariat dan menolak kebenaran akibat akhlak buruk kita. Oleh sebab itu, setiap muslim, khususnya para dai, harus menghiasi diri dengan akhlak yang mulia agar masyarakat dapat merasakan manfaat yang nyata dari kehadirannya di tengah-tengah mereka.

 

BERSAMBUNG …

 

Referensi : Ensiklopedi Akhlak Salaf, Abu Ihsan Al-Atsari & Ummu Ihsan,Pustaka Imam Asy-Syafi’i April 2019 M.

Artikel bulan : Desember 2022

Dibuat oleh : Suci Wahyuni (Pengandian Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits)

 

[1] HR. Ahmad (no. 8952) dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (no. 21301). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (no. 45).

[2] HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam ash-Shaghir (no. 605) dan Silsilah Ahadits Shahihah (no. 751).

[3] HR. At-Tirmidzi (no. 1162) dan Ahmad (no. 7402). Lihat Shahihul Jami’ (no. 1232).

[4] HR. Ath-Thabrani. Lihat al-Mu’jamul Ausath (no. 7697) dan Silsilah Ahadits Shahihah (II/250).

[5]  HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[6] HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[7]  HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[8] HR. Muslim (no. 294).

[9]  HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[10] HR. Muslim (no. 5167) .

[11]Al-Muwafaqat (IV/153).

[12] HR. Al-Bukhari (no. 4971).

[13]HR. Ahmad (no. 8952), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (no. 21301).Disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits (no. 45).

[14] HR. Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (no. 4411) dan Abu Dawud Sunan-nya (no. 380). Disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud.

Baca juga:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.