Akhlak Usahawan Muslim

akhlak usahawan muslim

Akhlak Usahawan Muslim – Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Agung dan Maha Lembut, Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan ‘Arasy yang agung. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan langit dan bumi dan Tuhan ‘Arasy yang mulia.

Berkaitan dengan laknat  terhadap setiap orang yang terlibat dalam aktivitas riba pada sisi manapun, baik sebagai pemakan riba, atau orang yang memberikannya, sebagai sekretaris pelaku riba, atau saksi sekalipun, semuanya disebutkan dalam hadits jabir bin Abdullah رضي الله عنه

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا ومو كله وكاتبه و شاهديه وقال: هم سواء

Artinya: “Rosulullah Sallalahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang memberikannya, juru tulisnya, dan saksi dari kedua bela pihak, Rosulullah menegaskan,  semuanya sama saja”. (HR Muslim)

6. Menghindari mengambil harta orang lain dengan cara batil

Kehormatan harta seorang muslim sama dengan kehormatan darahnya, Tidak halal harta seorang muslim untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya, Diantara bentuk memakan harta orang lain dengan cara haram adalah, uang suap, penipuan, manipulasi, perjudian, najsy, menyembunyikan harga yang sebenarnya (kamuflase harga), menimbun barang, memanfaatkan ketidaktahuan seorang, penguluran pembayaran hutang oleh orang kaya, dan lain sebagainya. Masing-masing diantaranya telah disebutkan larangan dalam hadita-hadits shahih,. Nanti akan disebutkan rinciannya di tengah-tengah pembahasan ini, insya Allah.

Allah Ta’ala berfirman :

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan jangalah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. “ (QS. An-Nisa’ : 29)

Allah melarang hamba-hambanya yang beriman dari memakan harta sesamanya dengan cara haram, yakni dengan cara berbagai cara yang diharamkan, seperti riba, judi, suap serta berbagai aktivitas sejenis yang berbentuk manipulatif serta berbagai macam aktivitas yang menggiring kepada permusuhan dan memakan uang sesama dengan cara batil.

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantar kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. “ (QS. Al-Baqarah : 188)

Ayat ini mengisyaratkan diharamkannya suap menyuap. Tidak seorangpun pantas menyangkal, karena sebenarnya ia tahu bahwa ia telah berbuat dzalim.

Diantara riwayat yang menunjukkan diharamkannya tipu menipu adalah hadits abi hurairah رضي الله عنه  bahwa Rosulullah صلى الله عليه وسلم   pernah lewat di hadapan setumpuk makanan. Beliau memasukkan tangan beliau ke dalam tumpukan makanan itu, ternyata jari-jari beliau menyentuh bagian makanan yang basah,. Beliau bertanya, “apa ini? “ pemiliknya menjawab, “itu bekas terkena air hujan tadi malam, wahai Rosulullah. “ beliau Sallalahu alaihi wasallam bersabda,

أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس من غش فليس مني

Artinya: “kenapa kamu tidak meletakkannya dibagian atas sehingga bisa terlihat orang? Barang siapa yang menipu, ia bukan termasuk golongan ku. ( HR. Muslim)

Larangan terhadap jual beli gharar ( akad jual beli tipuan yang menyodorkan barang yang tidak jelas) disebutkan dalam hadits Abu Hurairah dalam ash-Sahih bahwa ia menceritakan,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة، وعن بيع الغرور.

Artinya: “Rosulullah Sallalahu alaihi wasallam melarang menjual dengan sistem hashat ( melempar batu, seperti menjual tanah dan mengukur luasnya dengan lemparan batu) dan jual beli gharar. (HR. Muslim)

Larangan jual beli gharar  merupakan kaidah besar ilmu perdagangan islam. Banyak permasalahan besar yang tidak bisa dihitung dengan jari yang tercakup didalamnya, seperti menjual barang yang tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau tidak bisa diserah terimakan, atau barang yang belum sempurna menjadi milik penjual.

Memang bisa jadi menjual sesuatu mengandung sebagian bentuk gharar ini karena kebutuhan mendesak, seperti ketidak tahuan akan pondasi rumah atau menjual kambing hamil. Dalam kondisi demikian, jual beli itu sah, karena pondasi itu terikat dalam sebuah rumah, demikian juga janin dalam kambing hamil. Kebutuhan dalam hal ini amat mendesak, karena tidak mungkin nya melihat kedua hal tersebut.

Mengenai haramnya jual beli an-Najsy, adalah hadits Ibnu Umar رضي الله عنهما  beliau berkata:

نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن النجش

Artinya: “Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang najsy” (Muttafaqun ‘alaihi)

Disebutkan oleh Ibnu aufa, “orang yang melakukan najsy adalah pemakan riba yang berkhianat. “

Sementara mengenai diharamkannya seseorang menjual barang kepada seorang yang masih dalam proses jual beli dengan orang lain agar tidak melukai hatinya, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar bahwa Rosulullah Sallalahu alaihi wasallam bersabda:

لا بيع بعضكم على بيع بعض

Artinya: “janganlah sebagian diantara kalian menjual (sesuatu yang sama) yang masih dalam proses jual beli dengan orang lain “ (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam riwayat lain disebutkan:

لا بيع الرجل على بيع أخيه،  ولا يخطب على خطبة أخيه، إلا أن يأذن له

Artinya: “Jangalah seseorang melakukan jual beli diatas jual beli saudaranya, dan janganlah salah seorang laki-laki meminang wanita yang masih berada dalam pinangan orang lain, kecuali ia (peminang pertama) mengizinkan untuknya. “ (Muttafaqun  ‘alaihi)

Muttafaqun ‘alaihi ialah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan imam Bukhari.

Sementara diharamkannya menimbun barang disebutkan dalam hadits Ma’mar bin Abdullah, bahwa Rosulullah Sallalahu alaihi wasallam bersabda:

لا يحتكر إلا خاطئ

Artinya: “Tidak ada yang menimbun (barang komoditi) kecuali pendosa “ (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan ihtikar adalah, membeli komoditi disaat harganya mahal, lalu menyimpannya hingga harganya semakin mahal sementara orang-orang amat membutuhkan komoditi tersebut.

Hikmah diharamkannya ihtikar adalah sebagai upaya mencegah bahaya yang menimpa masyarakat umum.

Termasuk diantara sikap buruk yang nekat adalah ketika seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram dengan menggunakan sumpah palsu. Hal itu diisyaratkan oleh hadits Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rosulullah Sallalahu alaihi wasallam bersabda,

عن أبي أمامة إياس بن ثعلبة الحارثي -رضي الله عنه- مرفوعاً: «من اقْتَطَعَ حَقَّ امرئٍ مسلم بيمينه، فقد أَوْجَبَ اللهُ له النارَ، وحَرَّمَ عليه الجنةَ» فقال رجل: وإن كان شيئا يسيرا يا رسول الله؟ فقال: «وإنْ قَضِيبًا من أَرَاكٍ».

Artinya: “Barang siapa yang merebut haq seorang muslim dengan sumpah (palsu) nya, pasti Allah akan menjebloskan nya kedalam neraka dan mengharamkan nya masuk surga. “ Ada seorang sahabat bertanya, Meskipun hanya sesuatu yang sepele wahai Rosulullah? “ Beliau menjawab, “ Ya meskipun hanya sebatang ranting kayu arak. “ ( HR. Muslim)

Dan diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه   bahwa ia pernah mendengar Rosulullah Sallalahu alaihi wasallam bersabda,

من حلف على مال امرئ مسلم بغير حق لقي الله وهو عليه غضبان

Artinya: “Barang siapa bersumpah untuk mendapatkan harta seorang muslim dengan cara haram, ia akan bertemu dengan Allah dan Allah dalam keadaan murka kepadanya, “ (HR. Muslim)

7. Menjaga komitmen terhadap peraturan dalam bingkai undang-undang syariat

Seorang usahawan muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang positif karena ia melanggar aturan-aturan dan rambu-rambu yang dihormati di tengah masyarakat. Ketika seseorang melakukan sikap tersebut, bukan berarti ia menetapkan hak bagi manusia untuk membuat undang-undang yang absolut, akan tetapi sikap itu ia lakukan demi mengokohkan kewajiban yang dititahkan Allah kepadanya untuk mencegah terjadinya kerusakan dan bahaya serta tidak membiarkan diri sendiri celaka, Oleh sebab itu, hendaknya bersungguh-sungguh menghindari berbagai aktivitas usaha yang dapat menjerumuskannya pada perangkap berbagai aturan yang bisa saja bertentangan dengan syariat, Misalnya, tidak terlambat membenahi rekening dan nota-nota penting sehingga tidak terkena hukuman denda keterlambatan.

8. Tidak memudaratkan (membahayakan) orang lain

Seorang usahawan Muslim harus menjadi kompetitor yang baik dan terhormat. Dalam melakukan kompetisi bisnis, ia tetap menganut kaidah “tidak melakukan mudarat dan tidak membalas dengan mudarat terhadap orang lain”. Ia tetap akan memainkan harga barang, menaik turunkan harga untuk merugikan pedagang lain. Ia juga tidak akan memahalkan harga barang karena memanfaatkan kebutuhan orang lain, dan karena dia sendiri yang memiliki barang tersebut, karena orang yang memiliki peluang mengendalikan harga barang kaum muslimin, lalu ia sengaja memahalkannya, pasti ia akan menerima siksa Allah di Hari kiamat nanti.

 

REFERENSI:

Diringkas oleh: Salman agus fani, pengabdian ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits Oku timur

Rujukan: kitab fiqih ekonomi islam

Penulis: prof. Dr. Shalah ash-Shawi dan Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.