IZIN MENIKAHKAN GADIS DAN JANDA-Nikah merupakan benteng yang melindungi seorang hamba dari jerjerumusnya seorang hamba dalam kubangan dosa, yaitu zina. Zina merupakan salah satu dosa besar. Allah telah memperingatkan agar kita sebagai hambaNya untuk senantiasa waspada terhadap zina dan kerugian yang akan ditimbulkan. Keutamaan menikah adalah agar memelihara garis keturunan, melindungi kemaluan, menjaga kehormatan, dan membentengi dari perkara yang menimbulkan permusuhan antar manusia.
Jika laki-laki datang untuk meminang, maka ia boleh memandang wajah dan kedua telapak tangannya. Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah, ia meminang wanita, lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قُلْتُ: لَا، قَالَ، فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Artinya: “Apakah engkau telah memandangnya?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau mengatakan, “Pandanglah ia, karena itu lebih dapat melanggengkan di antara kalian berdua.”[1]
Dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, seorang wanita datang kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي قَالَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّرَسُولُ اللهِ رَأْسَهُ
Artinya: “Wahai Rasulullah, aku datang menghibahkan diriku padamu.” Nabi memandang dan mencermati, lalu beliau menggelengkan kepalanya.”[2]
Mayoritas para ulama baik ulama salaf maupun khalaf, berpendapat tentang bolehnya laki-laki memandang wanita yang akan dipinangnya. Namun, terjadi perbedaan pendapat terkait apa saja yang dapat dilihat dan dipandang dari tubuh wanita. Mayoritas ulama membolehkan untuk memandang wajah dan telapak tangan. Dari Imam Ahmad rahimahullah ada tiga riwayat, yaitu pertama: memandang wajah dan telapak tangan, kedua: memandang apa yang biasa wanita tampakkan di hadapan mahramnya, dan yang ketiga: memandang seluruh tubuhnya.Jika telah terjadi kesepakatan di antara keluarga maka hendaklah ia melaksanakan shalat istikharah sekali lagi jika suka.
Gadis diminta izinnya atas laki-laki yang telah datang melamarnya, dan izinnya adalah diamnya. Berbeda halnya dengan janda, janda dimintai persetujuannya lewat kata-katanya.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرُ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَ كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْتَسْكُتَ
Artinya: “Janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya, dan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” beliau menjawab, “Diamnya.”[3]
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِيْهَا وَإِذنُهَا صُمَاتُهَا قَالَ نَعَمْ
Artinya: “Gadis diminta izinnya berkenaan dengan dirinya, dan izinnya adalah diamnya.” Beliau mengatakan, “Ya.”[4]
Ini adalah perintah yang ditekankan karena dikemukakan dalam bentuk kalimat berita yang menunjukkan ketepatan dan keharusan apa yang harus diberitakan itu. Pada asalnya segala yang diperintahkan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam itu mengindikasikan sebuah kewajiban selama tidak ada ijma’ yang menyelisihinya. Pendapat ini sejalan dengan kaidah-kaidah syariat, karena gadis yang sudah baligh, berakal lagi dewasa , ayahnya tidak boleh mempergunakan sedikitpun dari hartanya kecuali dengan kerelaannya, dan ia tidak boleh memaksa untuk mengeluarkan sedikit pun dari hartanya itu tanpa kerelaan hatinya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang ayah memaksanya dan memberikan kehormatannya dengan tanpa kerelaannya kepada laki-laki yang diingnkanya, sementara anaknya tidak menyukai laki-laki tersebut.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Artinya: “Ingatlah, berbuat baiklah pada kaum wanita, karena mereka adalah tawanan bagi kalian.”[5]
‘Awan adalah tawanan. Mengeluarkan seluruh hartanya dengan tanpa kerelaannya adalah lebih ringan baginya daripada dinikahkan dengan laki-laki yang bukan pilihannya dengan tanpa keridhaannya. Sungguh batil ucapan orang yang mengatakan: jika gadis itu memilih laki-laki yang sekufu, maka yang menjadi pertimbangan adalah pilihan ayahnya walaupun laki-l,aki itu tidak disukainya lagi buruk rupahnya. Pendapat ini selaras dengan kemaslahatan umat, maka tidak diragukan lagi bahwa kemaslahatan anak perempuan terletak pada dinikahkannya dengan laki-laki yang dipilihnya dan diridhainya. Tujuan pernikahan terealisir untuknya dengan laki-laki yang dipilih dan diridhainya, sebaliknya.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan janda lebih lebi berhak terhadpa dirinya daripada walinya, maka diketahui bahwa wali gadis lebih berhak terhadapnya daripada dirinya sendiri. Jika tidak demikian, maka pengkhususan janda dengan hal itu tidak ada artinya. Izin yang diberikan janda lewat ucapannya dan izin seorang gadis lewat diamnya. Hal ini menunjukkan bahwa keridhaan gadis tidak menjadi pertimbangan dan ia tidak memiliki hak terhadapnya dengan keberadaan hak ayahnya.
Di dalamnya tidak ada yang menunjukkan tentang bolehnya menikahkan gadis dengan tanpa keridhaannya, padahal ia sudah baligh, berakal, dan dewasa, serta menikahkannya dengan laki-laki yang paling tidak ia sukainya, meskipun laki-laki tersebut sekufu dengannya. Ini juga hanya mejadi dalil, jika ada yang mengatakan mafhum-nya memiliki keumuman, maka hal ini salah. Namun, yang benar bahwa tidak ada keumumannya. Sebab indikasinya merujuk pada kenyataan bahwa pemgkhususan dengan apa yang elah disebutkan sudah pasti memiliki manfaat, yaitu menafikan hukum dari selainnya. Sebagaimana diketahui, pembagian selainnya menjadi hukum yang tetap dan hukum yang tidak tetap terdapat manfaat, dan menetapkan hukum lain yang didiamkan memiliki manfaat, jika tidak bertentangan dengan hukum manthuq dan perinciannya terdapat manfaat.
Para ulama berselisih pendapat mengenai sandaran pemaksaan dalam enam pendapat:
- Boleh dipaksa karena masih gadis. Ini pendapat Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad dalam satu riwayat
- Bole dipaksa karena masih anak-anak. Ini pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam riwayat kedua
- Boleh dipaksa karena keduanya sekaligus. Ini riwayat ketiga dari Ahmad
- Boleh dipaksa karena yang mana saja di antara keduanya yang ada. Ini riwayat keempat dari Ahmad
- Boleh dipaksa karena sudah memilki anak, maka janda yang sudah baligh dipaksa. Hal ini disampaikan oleh al-Qadhi Isma’il dari al-Hasan al-Bashri. Namun, pendapat ini menyelisihi ijma’. Ia mengatakan, “Ini memilki argumentasi yang bagus dari fiqih.”
- Boleh dipaksa wanita yang masih dalam tanggungan
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa izin yang diberikan gadis adalah dengan diamnya dan yang diberikan janda ialah dengan bicaranya. Jika gadis memberikan izin dengan berbicara, maka ini lebih tegas lagi. Menurut Ibnu Hazm, tidak sah dinikahkan kecuali dengan diamnya. Hal ini sesuai dengan didi Zhahiriyahnya. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita yatim diminta izinnya (dengan berbicara) berkenaan dirinya, padahal tidak ada sebutan yatim setelah baligh. Hal ini menunjukkan bolehnya menikahi wanita yatim sebelum baligh. Ini adalah pendapat Aisyah radhiallahuanha, dan ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Ini juga pendapat Ahmad.
Renungkanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan gadis dimintai izin oleh ayahnya,” setelah sabdanya, “janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya,” untuk memutuskan kerancuan pendapat tersebut dan bahwa gadis dinikahkan dengan tanpa ridhanya dan tanpa izinnya, sehingga ia tidak memiliki hak sama sekali terhadap dirinya. Kedua kalimat tersebut disambung satu sama lain sebagai penolakan terhadap kerancuan tersebut. Sebagaimana diketahui, bukan suatu keharusan bila janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, lantas gadis tidak memilki hak terhadap dirinya sama sekali.
Referensi:
Madji bin Manshur bin Sayyid asy-Syuri. 2019. Mahkota Pengantin. Jakarta: Pustaka at-Tazkia.
Diringkas oleh:
Shofwah Siska (Pengajar Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
[1]HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i
[2]HR. Bukhari dan Muslim
[3]HR. Bukhari dan Muslim
[4]HR. Muslim
[5]HR. At-Tirmidzi
Baca juga artikel:
Leave a Reply