Tindak-tanduk seorang penguasa serta perbuatan-perbuatannya tidak lepas dari dua kemungkinan: (1) Perbuatan yang dia lakukan untuk dirinya sendiri dan (2) perbuatan yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang dia berlakukan kepada orang lain.
Tindak-tanduk Pertama: YANG DIA LAKUKAN UNTUK DIRINYA SENDIRI
Tindak-tanduk penguasa yang ia lakukan untuk dirinya sendiri terbagi menjadi 5 (lima) bentuk:
Bentuk pertama: Penguasa menjalankan ketaatan baik yang bersifat wajib nıaupun sunah.
Perbuatan seperti ini mewajibkan masyarakat untuk bersikap Ioyal kepada diri penguasa, mencintai dan menolongnya berdasarkan keumuman dalil yang menunjukan hal itu, semisal firman Allah Ta’ala
“Orang-orang mukmin dan mukminat, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. ” (QS. At-Taubah (9): 71)
Bentuk kedua: Penguasa mengerjakan hal-hal yang sifatnya mubah (boleh).
Perbuatan seperti ini tidak menuntut masyarakat untuk memberikan loyalitas ataupun membencinya. Penguasa tidak dicintai karena perbuatan tersebut, tetapi tidak pula dimusuhi karenanya, karena hal-hal yang sifatnya mubah tidak berkonsekuensi pujian bagi yang mengerjakannya, tidak pula celaan bagi yang meninggalkannya. Tidak ada pahala ataupun ancaman hukuman karena mengerjakan yang mubah, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ahli ushul fıqih.[1]
Sebagian orang yang senang mencela penguasa, mereka menghujatnya karena şebab perbuatan yang sebenarnya bersifat mubah, seperti tinggal di dalam istana yang megah, memiliki harta yang banyak, mengkonsumsi makanan dan minuman yang mubah dan bervariasi. Perkara-perkara tersebut manakala dimiliki penguasa dengan jalan yang mubah dan dalam penggunaannya tidak terdapat larangan-larangan syar’i seperti pemborosan dan kesombongan, tidak melegalkan hujatan kepada mereka sebagaimana yang menjadi kebiasaan orang-orang awam.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كلوا واشر بوا والبسوا وتصدقوا فى غير إسراف ولا مخيلة
Artinya: “Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah tanpa bersikap boros ataupun sombong. “[2]
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa berkata,
كل ما شئت والبس ما شئت. ما أ خطأ تك اثنتان سرف أو مخيلة
Artinya: “Makanlah yang engkau mau dan pakailah pakaian yang engkau kehendaki, selama tidak menimpamu dua hal, yaitu boros dan sombong. “[3]
Di sisi lain, bisa jadi hal-hal mubah tersebut sebenarnya mengandung maslahat yang dibutuhkan secara syar’i, jika dinilai dari sudut pandang seorang penguasa. Mereka dipercaya untuk menjaga hak-hak dan kemaslahatan yang tidak dipercayakan kepada orang yang selain mereka, seperti menjaga kredibilitas dan kedaulatan pemerintahannya, memperlihatkan kejayaan İslam, menerima tamu dari kalangan para raja, pemimpin-pemimpin negara, para pangeran, tokoh-tokoh penting dan menjamu tamu-tamu tersebut yang tidak mungkjn bisa direalisasikan kecuali dengan adanya hal-hal mubah tadi. Maka jika maksud dari penguasa melakukan hal-hal mubah seperti itu adalah dalam rangka mewujudkan hak-hak dan kemaslahatan seperti di ataş, maka ini justru disyari’atkan, baik hukumnya wajib maupun mustahab (dianjurkan).
Contoh perilaku penguasa seperti ini adalah yang dilakııkan Mu’awiyah radhiyallaahu ‘anhumaa ketika menjadi Gııbernur Syam di zaman kekhalifahan Umar bin Al-Khattab radhiyallaahu ‘anhumaa. Dikisahkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullaah bahwa saat Umar bin Al-Khattab memasuki negeri Syam dan melihat Mu’awiyah beliau berkata, “Inilah kaisarnya Negeri Arab.” Ketika itu Mu’awiyah menemui Umar bin Al-Khattab dengan pengawalan pasukan dalam jumlah besar. Ketika Mu’awiyah mendekat ke arah Umar, maka Umar berkata kepadanya, “Apakah engkau yang memiliki pasukan pengawal sebesar ini?” Mu’awiyah menjawab, “Ya, wahai Amirul Mukminin.” “Padahal telah sampai berita kepadaku tentang banyaknya orang miskin berdiri di depan pintumu,” ujar Umar. “Memang benar berita yang sampai kepada Anda,” jawab Mu’awiyah. Umar bertanya, “Mengapa kamu lakukan yang demikian?” Mu’awiyah menjawab, “Kami berada di negeri yang diintai oleh banyak mata-mata dari kalangan musuh. Karena itu kami harus memperlihatkan kejayaan kekuasaan kami supaya bisa membuat hati mereka gentar. Jika kau perintahkan akan tetap kulakukan. Jika kau melarang akan kuhentikan.” Umar pun berkata kepada Mu’awiyah, “Setiap kali aku menanyakan sesuatu kepadamu, jawabanmu kerap membuatku bimbang. Jika yang kau katakan memang benar, itu pendapat yang cerdas. Tapi jika yang kau katakan justru salah, maka itu hanya tipu muslihat orang licik yang pandai bersilat Iidah.” Mu’awiyah pun berkata, “Perintahkan aku wahai Amirul Mukminin!” Umar pun menjawab, “Aku tidak memerintahkanmu dan tidak pula melarangmu.[4]
Amr berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alasan yang disampaikannya lebih baik daripada pendapat yang Anda sebutkan.” Umar pun menjawab’ “Sungguh karena baiknya asal usulnya kami bebankan dia (Mu’awiyah) tanggung jawab sebagai pemimpin.”
Bentuk ketiga: Penguasa meninggalkan yang sunah (dianjurkan) dan mengerjakan yang makruh (dibenci).
Bentuk ini terbagi menjadi dua keadaaan.
Keadaan pertama, penguasa meninggalkan yang sunah dan mengerjakan yang makruh untuk dirinya sendiri.
Contoh meninggalkan yang sunah adalah penguasa meninggalkan qiyamul lail, membaca Al-Qur’an dan berpuasa sunah. Contoh mengerjakan Yang makruh adalah berkacak pinggang dalam shalat, menghamparkan kedua hasta di saat shalat (meletakkan tangan sampai siku ketika sujud —pent), menyegerakan sahur dan mengakhirkan berbuka puasa.
Perbuatan jenis ini tidak memiliki konsekuensi pengingkaran dan tidak pula dosa dikarenakan meninggalkan suatu sunah (anjuran) dan mengerjakan yang makruh bukanlah maksiat, selama pelakunya tetap meyakini sunahnya perbuatan sunah dan makruhnya perbuatan makruh, sedangkan suatu pengingkaran hanya dapat diberlakukan ketika seseorang mengerjakan pekerjaan yang mungkar berupa meninggalkan yang wajib atau mengerjakan maksiat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, …yaitu apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik diperintahkan dengan konteks wajib (keharusan) maupun konteks sunah (anjuran), sehingga tidak boleh meyakini hukum yang sebaliknya. Akan tetapi boleh meninggalkan hal yang dianjurkan selama tidak ada keyakinan tidak dianjurkannya hal tersebut. Mengenal perintah yang bersifat anjuran adalah fardhu kifayah agar tidak ada perkara agama yang tersia-siakan sedikitpun[5]
Akan tetapi perbuatan penguasa yang demikian tidak boleh menghalangi manusia mendoakan kebaikan untuknya dan memotivasi penguasa untuk menjalankannya, dalam rangka meneladani dorongan dari Allah dan RasulNya kepada umat agar mengerjakan perkara sunah dan meninggalkan yang makruh sembari menjelaskan ganjaran kebaikan dan pahala yang Allah sediakan bagi yang melaksanakannya.
Keadaan kedua, penguasa meninggalkan yang sunah dan yang makruh, dan itu berimbas kepada orang lain.
Contohnya, ia menjadi imam shalat namun mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktu yang dianjurkan tanpa adanya maslahat. Begitu pula manakala dia mengerjakan sebagian hal-hal yang makruh ketika shalat seperti berkacak pinggang dan menghamparkan kedua lengan saat sujud.
Dalam kondisi demikian, penguasa hendaknya dinasihati sesuai dengan batasan-batasan syar’i, karena apa yang dilakukannya akan menghilangkan amalan yang utama di kalangan masyarakat dan agar perbuatan penguasa itu tidak ditiru masyarakat. Jika penguasa menerima nasihat maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak maka tidak boleh menimbulkan pertikaian dengan penguasa karena menghindari fitnah harus lebih didahulukan di atas amalan yang bernilai sunah.
Di antara penguat dalam masalah ini adalah pengingkaran Ibnu Mas’ud kepada Utsman bin Affan yang melaksanakan shalat secara itmam[6] ketika berada di Mina, namun Ibnu Mas’ud dan para muridnya tetap ikut menyempurnakan shalat karena tidak ingin menimbulkan perselisihan (dengan sang penguasa). Imam Al-Baihaqi berkata:
وعاب عبد الله بن مسعود إتمام الصلاة بمنى. فقال علقمة: فقام فصلى بنا أربعا.قال:فقلت له: أتفعل ما عبت؟ قال: الخلاف شر.
Artinya: “Abdullah bin Mas’ud mengingkari itmam shalat di Mina. Alqamah berkisah, ‘Ibnu Mas’ud berdiri dan melaksanakan shalat sebanyak empat raka’at. Maka aku pun bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau mengerjakan hal yang engkau ingkari?’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Perselisihan itu buruk.’”[7]
Bentuk keempat: Penguasa Inengerjakan yang harmn (terlarang).
Contohnya mengerjakan bid’ah ghairu mukaffirah (bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir), berbagai bentuk kemaksiatan baik yang merupakan dosa besar maupun dosa kecil, baik itu berimbas pada dirinya sendiri maupun pada masyarakat, seperti kezaliman, pelanggaran hak rakyat, atau mendahulukan diri sendiri di atas rakyatnya.
Perilaku penguasa yang demikian memiliki 3 (tiga) konsekuensi berikut:
Pertama, membenci perbuatan tersebut, mengingkarinya secara rahasia (tidak terang-terangan), berlemah lembut kepadanya, meluruskan niat ketika menasihati dan memperbaikinya, serta mengajaknya untuk bertaubat dan melakukan perbaikan, berdasarkan dalil umum tentang kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ummu Salamah yang telah lewat: “Sesungguhnya akan ditimpakan kepada kalian para penguasa yang kalian mengenal mereka namun kalian mengingkari perbuatan mereka. Siapa yang membenci yang diingkarinya maka dia telah berlepas diri dan siapa yang mengingkari maka dia telah selamat. Akan tetapi siapa yang ridha dan taat (maka mereka tercela atau berdosa)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis ‘Iyadh bin Ghanm radhiyallaahu ‘anhu: “Barangsiapa yang ingin menyampaikan nasihat kepada penguasa maka janganlah ia menyampaikannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya dan berdua-duaan dengannya. Jika penguasa menerima nasihatnya maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya atas penguasa dan hak penguasa atasnya. “[8]
Kedua, tetap sabar memberikan hak penguasa yang kezaliman dan keburukannya melanggar hak dirinya, melampaui batas dengan memukul, memenjarakan atau mengambil hartanya, serta mendahulukan haknya di atas hak rakyatnya.
Bersambung bagian ke 3.
REFERENSI:
- Al-Mu’jam Al-Kabir, Imam Ath-Thabrani
- Ma’rifatus Sunan Wal-Atsar, Imam Al-Baihaqi
- Tarikh Ad-Dimasyq, Imam Ibnu Asakir
[1] Lihat Al-Muwafaqat karya Asy-Syathibiy (1/171-172)
[2] HR. Ahmad dalam Musnadnya (11/294) (6695). Dimuat pula oleh Al-Bukhari secara mu’allaq di dalam Shahihnya (7/140). Syaikh Al-Albani menilai hadis ini hasan di dalam kitab Shahih Al-Jami’ (2/830) (4505)
[3] HR> Abu Bakar Ad-Dainury dalam Al-Mujalasah wa Jawahir Al-‘Ilm (4/407)
[4] Al-Isti’ab (3/1417) dan Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (59/112)
[5] Majmu Fatawa (4/436)
[6] Yaitu menyempurnakan jumlah raka’at yang empat dan tidak meng-qashar-pent.
[7] Ma’rifah As-Sunan wa Al-Atsar (4/260)
[8] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (17/367)(1007)
Baca juga artikel:
Leave a Reply