
TERKAIT PERMASALAHAN THAHARAH
Definisi thaharah, keterangan tentang urgensinya dan macam-macamnya
Urgensi thaharah dan macam macamnya. Thaharah merupakan kunci shalat dan syaratnya yang paling ditekankan Dan syarat itu harus mendahului perkara yang dipersyaratkan
Thaharah terbagi menjadi dua macam
Pertama: Thaharah maknawi, yaitu sucinya hati dari syirik, kemaksiatan, dan segala yang mengotorinya, la lebih penting daripada kesucian badan, dan kesucian badan itu tidak mungkin dapat diwu judkan dengan adanya najis syirik, sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At-Taubah: 28)
Kedua Thaharah indrawi
Definisi thaharah
Secara bahasa berarti bersih dan suci dari kotoran.
Secara istilah berarti menghilangkan hadats dan melenyapkan khabats
Yang dimaksud dengan “menghilangkan hadats” adalah meng hilangkan sıfat penghalang shalat dengan menggunakan air (yang diguyurkan) pada seluruh tubuh, bila hadatsnya adalah hadats besar Sedangkan bila hadats kecil, maka cukup dengan membasuh anggota wudhu dengan niat. Bila dia tidak mendapatkan air atau dia tidak mampu menggunakannya (karena sakit), maka dia bisa mengguna kan alat bersuci yang menggantikan kedudukan air, yaitu debu, se suai cara yang diperintahkan secara syar’i Keterangan tentangnya akan hadır, insya Allah, di dalam bab tayamum.
Yang dimaksud dengan “melenyapkan khabats” adalah meng- hilangkan najis dari badan, pakaian, dan tempat shalat
Jadi, thaharah indrawı terbagi menjadi dua. pertama, bersuci dari hadats, dan ia dikhususkan dengan badan. Kedua, bersuci dari khabats (najus) yang mencakup badan, pakaian, dan tempat.
Hadats terbagi menjadi dua pertama, hadats kecil, yaitu hadats yang mewajibkan wudhu. Kedua, hadats besar, yaitu hadats yang mewajibkan mandi
Khabats (najis) terbagi menjadi tiga macam Najis yang wajib dibasuh, najis yang wajib diperciki air, dan najis yang wajib diusap
Bagian Kedua: Air yang layak untuk digunakan thaharah (bersuci)
Thaharah itu memerlukan sesuatu yang digunakan sebagai sarananya, yang dengannya najis dihilangkan dan hadats dilenvap kan, yaitu air. Air yang bisa digunakan untuk bersuci disebut de ngan al-Ma ath Thakur, yaitu air yang suci pada dirinya (ath-Thahirfi Dzatilu) dan menyucikan untuk selainnya (al-Muthahhur li Gharihi) Air ini adalah air yang masih tetap sebagaimana ia diciptakan (les tari), yakni sesuai dengan sifat di mana ia diciptakan padanya, baik ia turun dari langit seperti hujan, lelehan salju dan embun, atau air yang mengalir di bumi, seperti air sungai, mata air, sumur, dan laut.
Hal ini berdasarkan Firman Allah ﷻ
ويُنزِلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً يَظْهَرَكُم بِهِ.
Artinya; “Dan Allah menurunkan bagı kalian huwan darı langit untuk menyuci kan kalian dengannya” (QS. Al-Anfal: 11)
Dan Firman Allah ﷻ
وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al-Furqan 48)
Dan juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ
اللهم اغسلي من خطاياي بالماء والثلج والبرد.
Artinya: “Ya Allah, bersihkanlah aku darı kesalahan-kesalahanku dengan air. salju, dan embun.” (Muttafaqun Alaih)
Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang air laut,
هُوَ الظَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِل مَيْتَتُهُ.
Artinya: “Laut itu suci (dan menyucikan) airnya, dan bangkainya halal” (Muttafaqun Alaih)
Thaharah tidak terwujud dengan benda cair selain air, seperti cuka, bensin, jus, air jeruk, dan sebagainya, berdasarkan Firman Allah ﷻ
فَلَمْ تَجِدُوا مَاهُ فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Artinya:
“…lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)” (QS. Al-Ma’idah: 6)
Seandainya thaharah terwujud dengan cairan selain air (saat tidak ada air), niscaya Allah memindahkan kita kepadanya dan tidak memindahkannya kepada (pemakaian) tanah.
Bejana
Bejana adalah wadah tempat penyimpanan air dan lainnya, baik terbuat dari besı atau selainnya. Hukum asalnya adalah boleh, berdasarkan Firman Allah ﷻ
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْض جَمِيعًا
Artinya: “Dia lah Allah Yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian” (QS. Al-Baqarah: 29)
Bab ini terdiri dari beberapa bagian:
Bagian Pertama: Menggunakan bejana emas, perak, dan lainnya dalam bersuci
Boleh menggunakan segala macam bejana untuk makan, minum, dan penggunaan lainnya, bila ia suci lagi mubah, sekalipun ia mahal, karena ia masih tetap di atas hukum dasar, yaitu mubah,
kecuali bejana emas dan perak, karena haram makan dan minum dengan menggunakan bejana
emas dan perak secara khusus, tanpa penggunaan yang lainnya.
Berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ.
Artinya:
“Janganlah kalian minum menggunakan bejana emas dan perak, dan jangan pula kalian makan
menggunakan piring besar (yang terbuat dari) keduanya, karena sesungguhnya ia (bejana emas
dan perak) untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat”. (Muttafaqun Alaih)
Dan sabda Nabi ﷺ
الَّذِي يَشْرَبُ فِي آبية الفصةِ إِنَّمَا يُجْرْجِرُ فِي بَطْبه نار جهنم
Artinya:
“Orang yang minum menggunakan bejana perak sejatinya ta hanya menggelegakkan api Neraka Jahanam di dalam perutnya”. (Muttafaqun Alaih)
Hadits ini adalah dalil yang menetapkan pengharaman makan dan minum (dengan menggunakan bejana emas dan perak), tanpa penggunaan yang lain, maka hadits ini menunjukkan bolehnya meng- gunakan keduanya dalam thaharah (bersuci) Larangan ini bersifat umum, mencakup bejana emas dan perak murnı atau yang disepuh dengan keduanya atau yang padanya ada bagian dari emas dan perak.
Bagian Kedua: Hukum menggunakan bejana yang ditambal dengan emas dan perak
Bila tambalannya terbuat dari emas, maka haram menggunakan wadah tersebut secara mutlak, karena ta tercakup di dalam keumuman dalil tadi Adapun bila tambalannya terbuat dari perak yang sedikit, maka boleh menggunakan wadah tersebut, berdasarkan hadits Anas Radhiyallahu Anhu, dia berkata:
انْكَسَرَ قَدَحُ رَسُولِ اللهِ ، فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةٌ مِنْ فِضَّةٍ.
Artinya:
“Wadah minum Rasulullah pecah, maka beliau merekatkan bagian yang pecah dengan rangkaian dari perak ” (Muttafaqun Alaih)
Bagian Ketiga: Bejana orang kafir
Hukum asalnya, bejana orang-orang kafir adalah halal untuk digunakan, kecuali bila diketahui najisnya. Dalam kondisi ini tidak boleh menggunakannya, kecuali setelah mencucinya, berdasarkan hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani, dia berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَفَتَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لَا تَأْكُلُوا فِيْهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا فَاغْسِلُوهَا ثُمَّ كُلُوا فِيهَا.
Artinya:
“Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di daerah suatu kawm (darı kalangan ahlı kitab ayukatı kamu boleh makan dengan menggunakan bejana mereka? Beliau menjawab, Janganlah kalian makan dengan menggunakan bejana mereka, kecuali bila kalian tidak mendapatkan selainnya, maka cucilah sa kemudian makanlah dengan menggunakannya”. (Muttafaqun Alaih)
Bila najisnya tidak diketahui, yaitu ketika pemiliknya tidak di kenal bersinggungan dengan benda-benda najis, maka boleh menggunakannya, karena telah diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi dan para sahabat mengambil air untuk berwudhu dari kantong kulit milik wanita musyrik dan karena Allah telah menghalalkan ma- kanan ahlı kitab untuk kita, dan kadang mereka menyuguhkannya kepada kita dengan nampan-nampan mereka sebagaimana seorang hamba sahaya Yahudi mengundang Nabi dan dia menyuguhkan roti gandum dan lemak yang telah berubah baunya lalu beliau makan sebagian darinya.
Bagian Keempat: Thaharah (bersuci) dengan bejana yang dibuat dari kulit bangkai
kulit bangkai yang sudah disamak boleh digunakan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبعَ فَقَدْ ظَهرَ.
Artinya:
“Kulit apa pun yang telah disamak, maka sungguh ia telah suci”. (Muttafaqun Alaih)
Dan juga karena Nabi ﷺ pernah melewati bangkai kambing, maka beliau ﷺ bersabda,
هَلَّا أَخَذُوا إِهَابَهَا فَدَبَعُوهُ فَانْتَفَعُوا بِهِ؟ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةً قَالَ فَإِنَّمَا حرم أكلها
Artinya:
“Mengapa mereka tidak mengambil kulitnya lalu menuamakannya lalu memanfaatkannya Orang-orang berkata “la bangkat Beliau ﷺ bersabda Sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya”. (Muttafaqun Alaih)
Hal ini bila bangkai tersebut berasal dari bangkai hewan yang penyembelihan dapat membuatnya halal dan bila tidak dermukaan maka tidak halal dengan disamak
Adapun bulunya, maka ia suci maksudnya bulu bangkai hewan yang halal dimakan saat ia belum menjadi bangkai Ada pun daging bangkat, maka ia najis dan haram dimakan berdasarkan Firman Allah ﷻ
إلا أن يكون مينةٌ أَوْ دَما مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ جَرِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
Artinya:
“Kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengain atau daging babi, karena semua itu kotor” (Al-An’am 145)
Penyamakan dilakukan dengan membersihkan penyakit dan kotoran yang menempel pada kulit dengan menggunakan bahan- bahan yang dicampurkan ke dalam air seperti garam dan yang semisalnya atau dengan daun-daunan seperti daun akasia, daun al-ar’ar (mirip pinus) dan yang sepertinya.
Adapun hewan yang penyembelihan tidak dapat membuatnya halal, maka ia tidak suci. Berdasarkan ini, maka kulit kucing dan hewan vang lebih kecil darınva tidak suci dengan disamak, sekalipun ia suci saat hidup.
Kulit hewan yang haram dimakan, sekalipun ia suci saat hidup maka ia tidak suci dengan disamak.
Ringkasnya, hewan apa pun yang mati sedangkan ia termasuk yang dagingnya halal dimakan, maka kulitnya dapat disucikan dengan disamak. Sebaliknya, hewan apa pun yang mati sedangkan ia tidak termasuk yang dagingnya halal dimakan, maka kulitnya tidak dapat disucikan dengan disamak.
REFERENSI:
Nama Penulis: Syaikh Shalih Bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh
Dibuat oleh : Isti Mala Dewi
Sumber : Buku Fiqih Muyassar
Tanggal dibuat artikel : 19 november 2024
Baca juga artikel:
Ajukan Pertanyaan atau Komentar