Tabayyun Dalam Menerima Berita

tabayyun dalam menerima berita

Tabayyun Dalam Menerima Berita – Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rohimahullah berkata: “Jika ada orang fasik membawa berita maka hendaknya diteliti terlebih dahulu, tidak langsung diterima. Jika langsung diterima maka bisa  menjatuhkan pelakunya kepada perbuatan dosa. Berita orang fasik tentu tidak sama dengan berita orang yang benar. Jika dianggap sama (tidak dilakukan tabayun) maka bisa berakibat saling bunuh, hilangnya harta dan nyawa tanpa bukti yang benar, dan pasti menyesal.

Oleh karena itu apabila datang berita dari orang yang fasik hendaknya diteliti, jika berita yang disampaikan nyata atau ada tanda kebenarannya, maka boleh diterima. Namun jika berita itu dusta maka dustakanlah dan tolaklah. Ayat ini juga menunjukkan bahwa berita orang yang benar boleh diterima dan berita orang yang pendusta ditolak. Sedangkan berita orang fasik ditangguhkan sampai ada bukti lain yang menunjukkan kebenaran atau kedustaannya. Sehubungan dengan hal itu ulama salaf menerima berita orang Khowarij yang dikenal kejujurannya, sekalipun mereka itu fasik.” (Tafsir al-Karimur-Rohman: 1/799)

Perkataan Syeikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah diatas merujuk pada penafsiran ayat 6 dari surat An-Nisa’ berikut ini:

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujarat[49]: 6)

Sebab Turun Ayat

Rasulullah mengutus al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’id rodhiallahu ’anhu pergi ke bani al-Mustholiq guna mengambil zakat. Tatkala bani al-Mustholiq mendengar berita ini, mereka gembira lalu pergi menemui Rasulullah. Ketika al-Walid rodhiallahu ‘anhu mendapat berita bahwa mereka pergi menemui Rasulullah pulanglah dia menjumpai Rasulullah lalu berkata : “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya bani al-Mustholiq enggan membayar zakat.” Tatkala Rasulullah mendengar berita tersebut (al-Walid rodhiallahu ‘anhu), beliau marah sekali. Saat itu pula beliau merencanakan menjumpai mereka. Tiba-tiba dating utusan (bani al-Mustholiq) seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Kami mendapat berita bahwa utusanmu pulang di Tengah perjalanan, sedangkan kami khawatir dia pulang menerima surat dari anda, lalu baginda marah kepada kami, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala dari kemarahan-Nya dan kemarahan utusan-Nya.

Karena Rasulullah ingin menyenangkannya, maka Allah subhanahu wata’ala menurunkan udzur mereka di dalam ayat ini, yaitu dalam QS. Al Hujarat[49]: 6” (HR. al-Baihaqi: 8/95, dishohihkan oleh al-Albani, baca silsilah shohihah: 8/95)

Makna Fasik

Berita dari orang fasik ditangguhkan sampai jelas perkaranya, lalu siapa orang fasik yang dimaksud di sini? Mereka adalah orang yang keluar dari ketentuan syar’i, orang yang berbuat maksiat, yang meninggalkan perintah subhanahu wata’ala dan keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu iblis dikatakan fasik karena enggan melaksanakan perintah Allah subhanahu wata’ala agar sujud kepada nabi Adam ‘alahis salam[1].

Kefasikan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : kefasikan yang menjadikan pelakunya tetap muslim akan tetapi mereka bermaksiat, seperti ayat di atas (QS. Al Hujarat[49]: 6) dan kefasikan yang menjadikan pelakunya kafir, keluar dari Islam, seperti firman-Nya :

اَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًاۗ لَا يَسْتَوُنَ

Artinya: “Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. Sajdah[32]: 18)[2]

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahullah berkata: “Orang yang terang-terangan mengerjakan kafasikan tidak boleh menjadi imam sholat, inilah pendapat ulama Sunnah. Walaupun ada Sebagian yang membolehan, namun untuk menghukumi mereka fasik bukan perkara yang mudah seperti umumnya orang berkata. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala mencela orang yang mudah memfasikan orang yang beriman.

بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِ

Artinya: “Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman” (QS. Al-Hujarat [49]: 11) (Liqo’ Babil Maftuh: 6/119)

Namun jika yang menjadi imam adalah waliyul ‘amri yang curang, maka kita wajib bermakmum kepadanya, karena keluar dari mereka sungguh sangat berbahaya. Utsman bin Affan rodhiallahu’anhu berkata: “Sholat adalah perbuatan manusia yang paling baik, jika mereka baik sholatnya maka ikutilah kebaikannya, jika jelek sholatnya maka jauhilah kejelekannya.” Dan ada Sebagian yang berpendapat mengulangi sholatnya di rumah dengan tidak menampakkan kepada orang lain.” (Tafsir al-Qurthubi: 16/ 312)

Makna Tabayyun

Pada ayat di atas kita jumpai kalimat فَتَبَيَّنُوا  diterjemahkan dengan “periksalah dengan teliti” Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Hendaknya meneliti berita yang dating kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang. (Baca Tafsiru Ayatil Ahkam:  1/226, Fathul Qodir:  7/10)

Haruskah ditolak berita orang fasik?

Apabila kita mengamati ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala tidak memerintahkan kita agar menolak berita orang fasik atau menerimanya, karena bisa jadi beritanya benar atau salah. Karenanya wajib diteliti terlebih dahulu agar kita tidak menyesal atas kurangnya kehati-hatian kita.

Al Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rohimahullah berkata: “Dari ayat ini kita dapat mengambil faedah, bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak memerintahkan menolak berita dari orang fasik dan tidak pula menyuruh untuk mendustakan nya, tetapi menolak dia sebagai saksi secara umum. Kita diperintahkan agar meneliti berita yang disampaikannya, jika ada qorinah (tanda) dan bukti bahwa berita yang dibawanya benar, maka boleh mengambil beritanya, sekalipun kefasikan yang telah dilakukannya berat. Ini adalah kaidah untuk mengambil Riwayat dari orang yang fasik dan persaksiannya, sebab banyak pula orang fasik yang benar berita dan riwayatnya dan juga persaksiannya. Sedangkan kefasikan mereka itu urusan lain. Jika seperti ini berita atau persaksian nya tidak boleh ditolak. Akan tetapi jika kefasikan nya karena dia sering berdusta dan mengulang-ulang kedustaannya , dan sekiranya bohongnya lebih banyak dari pada benarnya, maka kabarnya dan kesaksiannya tidak diterima.” (Tafsir al-Qoyyim oleh Ibnul Qoyyim:  2/130)

Mungkin ada yang bertanya: jika berita orang fasik tidak langsung ditolak, lalu apa faedahnya ayat di atas? Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahullah menjawab: “Berita orang fasik itu ada faedahnya, yaitu menggerakkan jiwa dan semangat agar manusia bertanya dan menelitinya. Karena tanpa berita dari mereka, kita tidak bergerak dan tidak pula berusaha, akan tetapi Ketika ada berita, kita berkata : barangkali berita ini benar, maka menggerakkan kita untuk menanya dan mencari kebenarannya. Jika ada bukti atas kebenarannya atau tanda kebenaran perkataannya, maka kitab oleh mengambilnya. Namun jika tidak, maka kita menolaknya.” (Tafsirul Qur’an lil Utsaimin: 7/14)

Wajibkah tabayyun bila berita itu dari orang yang jujur?

Tabayyun terhadap sebuah berita bukan hanya ditunjukkan kepada orang fasik saja, sekalipun orang fasik lebih diutamakan karena terkait dengan kefasikan nya, akan tetapi kepada mukmin yang tsiqoh pun sebaiknya juga perlu tabayyun, karena bagaimana pun juga manusia bisa lupa dan salah.

Syaikh Abdul Muhsin al-Badr hafidzohullah pernah ditanya: “Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam QS. Al-Hujarat [49]: 6, apakah berita dari orang yang bukan fasik diterima, mengingat orang muslim pada asalnya bersifat adil? Belia menjawab : “menurut asalnya orang muslim itu tidak dikenal dengan kejujurannya, sampai diketahui dia jujur atau tidak. Seandainya orang Islam itu asalnya benar atau jujur, tentu tidak perlu digelari tsiqoh (dapat dipercaya), atau dia demikian dan demikian. Inilah asalnya orang Islam. Akan tetapi manusia berbicara tentang taqdil (pujian) dan Jarh (celaan) tsiqoh dan dhoif, kuat atau lemah hafalannya. Ini bukan berarti jika orang islam tidak dijumpai kelemahannya lalu di hukumi tsiqoh atau dapay dipercaya, karena pernyataan dia dipercaya atau tidak atas dasar ilmu, setelah meneliti keadaannya.” (syarah sunan Abi Dawud: 92/28)

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahullah ditanya: “Ketika dating orang menyampaikan berita kepadaku, kami berkata: “Kami teliti dahulu, karena Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam QS. Al-Hujarat: 6.’ Lalu orang itu menanya kepadaku: ‘Apakah saya ini orang fasik? Atau kamu menuduh saya fasik maka bagaimana pendapat anda wahai Syaikh?” Jawab beliau: “meneliti berita dibutuhkan dua perkara:

Pertama : dari sisi amanat. Inilah yang dimaksud dalam QS. Al Hujarat: 6, karena orang fasik tidak amanat.

Kedua : dari sisi kekuatan, yaitu kekuatan ingatannya Ketika menerima berita atau menyampaikannya dengan cepat sekali. Maka Ketika saya bertanya kepadanya, saya akan teliti dahulu, bukan berarti saya mengatakan kamu fasik, kamu menurut saya adalah orang yang jujur, akan tetapi boleh jadi kamu memahami ayat keliru, atau terburu-buru, atau lupa.

Namun sebaiknya jika menjumpai orang yang dhohirnya jujur dalam menyampaikan berita, kita tidak membacakan QS. Al Hujarat: 6, agar dia tidak tersinggung. Akan tetapi katakan kepadanya: saya menerima beritamu, akan tetapi kami pelajari dahulu. Ternyata bila hatinya ragu-ragu” (Liqo’ babil maftuh:11/207).

Al Imam Al-Qurthubi rohimahullah berkata: “ayat ini membantah pendapat orang berkata bahwa semua orang muslim dapat dipercaya beritanya sehingga diketahui cacatnya, karena Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita agar meneliti berita sebelum menerimanya, dan bukan maksudnya penelitian itu dilakukan setelah dilaksanakan hukum, karena keputusan hakim sebelum mengadakan penelitian boleh jadi menimpakan hukuman yang salah kepada yang dihukum. (tafsir al-Qurthubi: 16/311)

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahullah berkata: “QS. Al-Hujarat: 6 memberitahukan bahwa jika ada orang yang jujur menyampaikan berita maka beritanya kita terima, akan tetapi ketentuan ini harus diperjelas lagi sebagaimana keterangan ayat dan hadits yang shohih, misalnya saksi pelaku perbuatan zina, jika dating kepada kita satu orang yang istiqomah agamanya dan baik akhlaknya, lalu dia berkata bahwa si fulan berbuat zina, maka kita tidak menerimanya sekalipun ia orang yang jujur, bahkan dia dicambuk sebanyak 80 kali karena menuduh orang yang tidak berbuat zina. Maka dalam hal ini kita hukumi dia fasik sekalipun dia orang yang jujur sehingga dia bertaubat.” (Baca QS. An-Nuur [24]: 4 dan tafsir al-Qur’an lil Utsaimin: 7/14)

 

Kesimpulannya, tabayyun terhadap sebuah berita sangat diperlukan sekalipun dari orang muslim yang dipercaya, karena tabayyun berbeda dengan buruk sangka, akan tetapi penelitian yang dilakukan adalah untuk mencari tambahan keterangan.

 

Sumber :

Majalah Al-Furqon Edisi. 7 Tahun ke 9

Shofar 1431 H (Januari/Februari 2010)

Diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi (Staff Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur Sumatera Selatan)

[1] Baca QS. Al-Kahfi[18]:50 serta baca pula Tafsir Ayatul Ahkam 1/534

[2] Baca kitab Madarikush Sholihin: 1/360 dan Ash-Sholatu Wa Hukmu Tarkiha: 1/72 oleh Ibnul Qoyyim al-Jauzi dan Majmu’ fatawa warosail Ibnu Utsaimin: 8/562

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.