Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Mendidik Anak Tanpa Amarah (Bagian 2)

mendidik anak tanpa amarah 2

Mendidik Anak Tanpa Amarah (Bagian 2) – Bismillah, alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du. Berikut merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang bisa dibaca disini Mendidik Anak Tanpa Amarah (Bagian 1).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar ketika seseorang marah hendaknya ia diam. Dalam sebuah Hadits beliau bersabda:

عَلِّمُوا وَيَسِّرُوا وَلَاتُعَسِّرُوا وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

Artinya: “Ajarilah, mudahkan urusan dan jangan menyusahkan, bila salah seorang dari kamu marah, hendaklah ia diam.”[1]

Beliau juga mengajarkan agar seseorang yang marah mengubah posisi untuk meredam kemarahannya. Jika berdiri hendaknya ia duduk, jika duduk hendaknya ia berbaring. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian marah dan ia berdiri maka hendaklah ia duduk, maka jika amarahnya tidak hilang hendaklah ia berbaring!”[2]

Demikianlah Islam memberikan bimbingan terbaik saat seorang hamba mukmin dilanda rasa amarah di dalam dada. Allah subhanahu wata’ala telah menjelaskan karakter orang-orang yang bertakwa dalam firman-Nya:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾‏ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٣٤﴾

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 133-134)

 

Dalam ayat lain Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ ﴿٣٧﴾‏

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (QS. Asy-Syuuraa: 37)

Dalam ayat di atas Allah subhanahu wata’ala memberikan bimbingan yang sangat agung:

Pertama, hendaknya kita berusaha menahan amarah itu dan tidak meluapkannya. Ingatlah balasan yang Allah janjikan adalah surga. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa menahan amarahnya sementara ia dapat meluapkannya, niscaya Allah akan memanggilnya di hadapan segenap makhluk sehingga menyuruhnya untuk memilih bidadari surga dan mengawinkannya dengan bidadari yang ia kehendaki.”[3]

Kedua, berusahalah untuk berdamai dengan perasaan kita. Berusahalah agar kemarahan itu hilang secepat mungkin. Hingga wajah kembali berseri, kata-kata terkendali dan hubungan kembali hangat seperti sedia kala.

Ketiga, lapangkan dada dan berikan maaf. Tidak ada dendam dan sakit hati. Sebaliknya penuhi hati dengan ketulusan cinta dan kasih sayang, demi mengharap keridhaan Allah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang.

 

Kehidupan Hati Adalah Kunci

Sejatinya, kecerdasan mengelola emosi sangat erat kaitannya dengan kondisi hati seorang mukmin. Sebab, belajar teori tidaklah terlalu sulit. Namun mengamalkan ilmu itu jauh lebih berat. Apalagi jika berkaitan dengan amalan hati.

Ingatlah, bahwa baik buruknya kondisi hati akan menentukan kondisi jasad seseorang. Dan akan menentukan pula baik buruknya sikap, perkataan dan perbuatannya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Artinya: “Ketahuilah, dalam jasad ada sekerat daging. Apabila baik sekerat daging itu maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila buruk, maka buruk pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa sekerat daging itu adalah al-qalbu.”[4]

Kecerdasan dalam mengelola emosi, kunci utamanya adalah kehidupan hati. Yaitu hati yang disinari dengan cahaya keimanan, kecintaan kepada Allah dan kerinduan kepada kampung akhirat. Apabila seseorang memiliki hati yang hidup seperti ini, maka ia akan menjadi pribadi yang kuat dan bijak dalam menyikapi setiap permasalahan yang dihadapinya. Ia akan mampu mengambil sikap yang benar dalam kondisi emosi bagaimanapun. Baik ketika ia merasa senang, puas dan gembira maupun di saat kesedihan, kekecewaan dan amarah melanja jiwanya. Karena itu dalam mengemban tanggung jawab sebagai orang tua, kita harus terus berusaha memupuk keimanan dan memperbaiki amal perbuatan kita. Kita harus selalu mengoreksi ketakwaan kita kepada Allah. Sebab, inilah kunci kemudahan dan kesuksesan. Seorang mukmin sangat yakin bahwa janji Allah adalah benar. Allah subhanahu wata’ala telah mengabarkan:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا ﴿٤﴾

Artinya: Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan segala urusannya menjadi mudah.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

 

Hati terbagi menjadi tiga:

Pertama: Hati yang sehat dan selamat, yaitu hati yang selalu menerima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuannya tentang kebenaran benar-benar sempurna, juga selalu taat dan menerima sepenuhnya.

Kedua: Hati yang keras, yaitu hati yang tidak menerima dan taat pada kebenaran.

Ketiga: Hati yang sakit, jika penyakitnya kambuh maka hatinya menjadi keras dan mati, dan jika ia mengalahkan penyakit hatinya maka hatinya menjadi sehat dan selamat.

Agar hati tetap hidup:

Pertama, kita harus memberikan makanan dan asupan gizi yang dibutuhkan. Yaitu dengan mempelajari ilmu bermanfaat yang bersumber dari kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula merenungi ayat-ayat kauniyah Allah berupa alam semesta.

Kedua, kita harus menjaga kebugaran hati dengan bersungguh-sungguh mengerjakan ketaatan dan ibadah hanya untuk Allah subhanahu wata’ala semata.

Ketiga, kita harus berusaha keras menyembuhkan hati dari berbagai macam penyakit yang bisa melemahkannya, baik berupa kejahilan, kelengahan, maksiat, mengikuti hawa nafsu dan lain sebagainya.

Keempat, kita harus mewaspadai faktor luar yang bisa mengancam kehidupan hati, berupa godaan setan, gemerlap dunia ataupun teman dan lingkungan yang jahat.

Dengan hati yang hidup maka segala bentuk kebaikan akan mudah dan ringan untuk kita realisasikan. Maka bersungguh-sungguhlah untuk terus belajar dan belajar. Khususnya tafaqquh fiddiin (mendalami Islam) dan mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Berusahalah untuk dapat mengamalkan ilmu, yaitu dengan memperbanyak amal-amal ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Sebab perbuatan dosa akan menjadikan hati ternoda, bahkan jika dosa dilakukan terus menerus niscaya bisa menutupinya.

Teruslah berusaha mengangkat kejahilan. Janganlah tenggelam dalam kelengahan. Bersungguh-sungguhlah melawan hawa nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan. demikian pula, kita harus memberikan perlawanan terhadap segala bujuk rayu setan, serta berupaya mencari lingkungan dan pergaulan yang bisa mendorong kepada kebaikan.

 

Koreksilah Keikhlasanmu!

Coba tanyakan, mengapa aku harus marah? Apa rupanya yang aku inginkan dalam mendidik anakku? Apa tujuanku? Sudahkah aku ikhlas hanya mengharap pahala Allah?

Dalam mendidik anak kita perlu keikhlasan. Rawat dan didiklah mereka dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala. canangkan niat semata-mata untuk Allah subhanahu wata’ala dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan dan hukuman.

Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan termasuk fondasi iman dan merupakan keharusan dalam Islam. Allah subhanahu wata’ala tidak akan menerima suatu amal perbuatan tanpa keikhlasan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾

Artinya: “dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ingatlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات, وإنَّمَا لكل امرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”[5]

Ya benar, kita akan memperoleh hasil kerja menurut kadar niat yang terpatri dalam hati kita. Semakin tinggi tingkat ketulusan dan keikhlasan, semakin besar pula balasannya di akhirat dan semakin tinggi pula martabat kita disisi Allah subhanahu wata’ala. Niat yang ikhlas, selain mendatang keridhaan dan pahala Allah subhanahu wata’ala, juga akan meneguhkan hati kita di saat ujian datang. Dan hati kita akan tetap lapang, bagaimanapun hasil yang kita raih setelah usaha dan doa.

Penuhi hatimu dengan kecintaan kepada akhirat. Sebab, jika akhirat menjadi tujuanmu maka Allah akan menjadikan kekayaan dan kecukupan dalam hatimu. Allah juga akan memudahkan segala urusanmu, termasuk dalam mendidik anak. Sebaliknya, jika dunia yang menjadi tujuan kita maka Allah akan jadikan kekurangan dan kefakiran dalam hatimu. Allah juga akan mencerai beraikan kekuatanmu hingga segala urusan menjadi sulit.

Jaga keikhlasanmu! Sebab jika yang kita harapkan dalam mendidik anak adalah pahala Allah dan surga-Nya, kita tidak akan pernah merugi apa pun hasilnya dan bagaimanapun keadaannya. Maka untuk apa kita marah-marah?

Kiat meraih Keikhlasan

Keikhlasan dalam mendidik anak adalah cita-cita tinggi yang hanya bisa diraih dengan kesungguhan. Ini bukanlah perkara mudah. Sebab menjaga keikhlasan merupakan pekerjaan yang sangat berat. Bahkan banyak di antara alim ulama mengungkapkan bahwa menjaga keikhlasan merupakan amal yang paling berat. Terlebih lagi pada diri manusia tertanam kecintaan kepada dunia, pujian dan berbangga-banggaan dengan anak. Karenanya, ayah dan bunda perlu mengetahui dan memperhatikan sarana-sarana yang akan membantu untuk meraih keikhlasan.

Memohon pertolongan Allah

Menjaga keikhlasan adalah pekerjaan yang sangat sulit dan berat. Dan kita adalah makhluk yang lemah. Hati kita juga lemah dan begitu mudah berbolak-balik. Karenanya kita sadar bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah subhanahu wata’ala. Rabb yang Maha kuasa. Tidak ada satu pun perkara yang mudah jika Allah menghendakinya sulit. Sebagaimana tidak ada satu pun perkara yang sulit jika Allah menghendakinya mudah.

Maka amal seberat apa pun, akan menjadi mudah bagi mereka yang diberi kemudahan oleh Allah subhanahu wata’ala. Begitu juga dalam meraih keikhlasan. Karenanya, ketika panggilan untuk ikhlas mengetuk hati kita, ketahuilah bahwa tiada tempat meminta dan memohon pertolongan kecuali Dzat yang memegang hati ini dan memolak-balikkan sekehendak-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

Artinya: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika kamu mohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.”[6]

Maka mohonlah kepada Allah subhanahu wata’ala, agar Dia berkenan menanamkan keikhlasan di hati kita dalam mengasuh dan mendidik anak. Serta menjauhkan kita dari sifat gila pujian dan suka berbangga-banggaan.

 

Bersambung ke bagian berikutnya, insyaallah.

 

Referensi:

diringkas dari buku: Mendidik Anak Tanpa Amarah

Penulis: Ummu Ihsan Choiriyah & Abu Ihsan alAtsary

Penerbit: Pustaka Al Khoir

Diringkas Oleh: Abu Muhammad Fauzan (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

[1] Hadits riwayat Ahmad (I/239), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (191) Ibnu ‘Adi dalam al Kamil (IV/259) dari Ibnu Abbas. Dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (1375) dan dinisbatkan juga kepada Ibnu Sahaini dan Al-Quda’i. Silakan lihat adabul mufrad (1840).

[2] Hadits riwayat Ahmad (V/152), Abu Dawud (4782), Ibnu Majah (VII/5659/479) dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu. Shahihul jami’ (694).

[3] Hadits riwayat Ahmad (III/437), Abu Dawud (4777), At-Tirmidzi (2021), dan ia menghasankannya, dan ibnu Majah (4186) dari Mu’adz bin Anas. Shahihul Jami’ (6522).

[4] Muttafaqun ‘alaihi.

[5] Muttafaqun ‘alaihi.

[6] Hadits riwayat at-Tirmidzi (2516) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (7957).

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.