Ikhtiar Berobat dengan Air Sumur Tertentu – Melakukan ikhtiar untuk mencapai sukses tertentu merupakan kewajiban setiap muslim, termasuk berobat, sebab Islam memerintahkannya. Bahkan muslim mencela dan melarang sikap pasrah yang tanpa ikhtiar dan tanpa usaha.
Nabi صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
إِنَّ اﷲَ أَنـْزَلَ الدَّ اءَ وَالدَّ وَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فـَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بحَِرَامٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud No 3855)
Adalah salah jika seseorang beranggapan atau bahkan berkeyakinan bahwa tawakal berarti identik dengan meninggalkan upaya. Tawakal menurut Islam, justru akan disebut tawakal jika dibarengi usaha, upaya dan ikhtiar.
Tetapi apa yang sesungguhnya disebut ikhtiar dalam Islam, dan harus bagaimana ?
Untuk memahami persoalan ikhtiar dan upaya, seorang muslim harus memahami tiga hal mendasar :
Pertama, tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai sebab (ikhtiar) kecuali jika sesuatu itu benar-benar merupakan sebab, baik berupa sebab syar’I atau sebab Kauni.
Kedua, tidak boleh menggantungkan keberhasilan kepada sebab atau ikhtiar. Tetapi harus menggantungkan keberhasilan kepada pembuat sebab, yakni Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى, dengan tetap melakukan upaya sesuai syari’at dan menggunakan sebab yang tepat .
Ketiga, harus memahami bahwa betapa pun besar dan kuatnya sebab, tetapi sebab tersebut tetap terikat dengan ketetapan taqdir Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى dan tidak mungkin lepas darinya. Allah-lah yang berkuas mengendalikan sebab tersebut. Jika tidak berkehendak, maka dia akan tetap menjadikan sebab itu berfungsi sebagaimana mestinya, sesuai dengan kebijakan hikamah-Nya, sehingga orang mempergunakannya dan sekaligus dapat memahami betapa sempurna kebijaksanaan Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى . maka seseorang tertentu, Ketika melakukan upaya dengan menggunakan sebab tertentu, kemudian ia sukses, maka Allah-lah yang menghendaki demikian sesuai dengan kebijaksanaan dan hikmah-Nya. Tetapi terkadang sebaliknya, Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى tidak menjadikan sebab tersebut berfungsi bagi Sebagian orang tertentu lainya, sehingga orang itu tidak sukses, meskipun upaya dan sebab yang dipergunakannya sudah tepat. Salah satu hikmahnya adalah orang yang tidak menggantungkan diri kepada sebab, tetapi hanya menggantungkan diri kepada Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى. Orang juga akan memahami bahwa Allah-Lah yang berkuasa merubah keadaannya, bukan semata mata upaya yang dapat merubah keadaanya. Maka ia pun tetap bersabar dan semakin kuat keimanannya.
Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga hal di atas :
Pertama : Yang dimaksud sebab syar’I dan sebab kauni
Sebab syar’I adalah sebab yang diketahui melalui syariat adalah sesusatu yang di syariatkan. Misalnya bacaan al-Qur’an dan doa-doa yang dibacakan sebagai ruqyah bagi orang yang sakit atau terkena jin.
Rasulullah صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah meruqyah (mengobati dengan bacaab-bacaan doa) orang-orang yang sakit, sehingga dengan bacaan beliau, Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى berkenan menyembuhkan orang-orang yang di kehendaki sembuh.
Nabi صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga membenarkan ruqyah (bacaan ayat atau doa sebagai obat) yang dilakukan shahabat Nabi ketika membaca surah al-Fatihah untuk mengobati seorang kepala suku perdalaman yang terkena gigitan binatang berbisa hingga sembuh.
Beliau صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
Tahukan engkau bahwa surah al-aftihah itu adalah ruqyah (HR. al-Bukhari dan lainnya)
Dari sini dapat di fahami bahwa bacaan ayat, atau doa-doa yang berasal dari nabi صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, atau doa-doa yang jelas kalimatnya sebagai permohonan kepada Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى, merupakan ruqyah yang di syari’atkan. Hal seperti inilah yang disebut syar’I.
Adapun sebab kauni atau bisa juga disebut sebab qadari atau sebab hissi (bisa dimengerti dengan indra) atau sebab alami, adalah sebab yang bersifat sunnah kauniyah dan alamiah sebagai ketetapan Allah.
Misalnya obat-obat yang dapat di ketahui melalui :
Penjelasan syariat (nash). Contohnya : madu.
Melalui penelitian, pengalaman dan penalaran alamiah. Contohnya adalah obat-obat dokter, dan umumnya obat-obat herbal.
Dan hal ini, pengaruh dan hubungannya harus bersifat langsung tidak berdasarkan khayalan khurafat.
Itulah maksud sebab syar’I dan sebab kauni yang diakui oleh Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى dan rasul-Nya. Selain kedua sebab itu, maka tidak bisa disebut sebab. Siapa yang menganggap sesusatu yang bukan sebab sebagai sebab, maka bisa terjerumus dalam kemusyrikan, baik syirik akbar (besar) yang menyebabkan pelakunya keluar dari islam, ataupun syirik asghar (kecil) yang merupakan dosa besar, tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari islam.
Kedua : Tidak boleh menggantungkan keberhasilan kepada sebab
Tidak boleh menggantungkan keberhasilan kepada sebab yang benar. Maksudnya orang tidak boleh meyakini bahwa sebab itulah yang menyembuhkan atau menjadikannya sukses. Tetapi hatinya harus yakin bahwa yang menyembuhkan atau yang menjadikan sukses hanyalah Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى. sedangkan fungsi sebab hanyalah sarana yang dijadikan Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى. sebagai alat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkan, misalnya sembuh atau berhasil dan yang lain sebagainy. Dan hal itu harus sesuai dengan ketentuan Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى .
Barangsiapa yang bergantung pada sebab ini, maka iapun akan bisa terjerumus kedalam kemusyrikan, wal-iyadzu billah. Bahkan syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin Rahimullah menegaskan, “apabila seorang bersandar kepada yang syar’i yang benar, namun ia lalai bersandar kepada Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى, Dzat yang telah menetapakan sebab tersebut, maka tindakan ini juga termasuk jenis kemusyrikan. Tetapi syirik (kecil) yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari islam. Sebeb ia sudah bergantung pada sebab dan lalai untuk bergantung kepada Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى
Ketiga :
Perkara Mendasar ketiga yang telah dipaparkan di muka, sudah cukup jelas sehingga tidak perlu diulang lagi penjelasannya disini.
Inilah tiga perkara yang terkait dengan ikhtiar dan upaya. Artinya tidak setiap ikhtiar atau setiap upaya itu dibenarkan menurut syari’at. Apabila seseorang melakukan tindakan yang menurut anggapannya adalah sebuah ikhtiar namum menyimpang, meskipun kemudian berhasil, maka tetap saja ia melakukan penyimpangan. Sebab tidak setiap keberhasilan menunjukan bahwa ikhtiar yang dilakukan pasti benar. Seseorang ingin kaya, tetapi ikhtiar yang dilakukan adalah korupsi, meskipun berhasil dan korupsinya tidak diketahui orang, namum tetap saja usahanya adalah usaha yang tidak halal dan tidak dibenarkan syari’at.
Demikian pula ikhtiar menyimpang untuk menyembuhkan penyakit tertentu, sekalipun penyakitnya berhasil sembuh, tetap saja ia telah melakukan penyimpangan.
AIR SUMUR TERTENTU UNTUK BEROBAT
Terkait dengan air sumur tertentu atau air sumur mata air tertentu, selama air nya bersih, tidak mengandung racun dan memenuhi standar Kesehatan, maka pada asalnya status air-air tersebut sama saja, tidak memiliki perbedaan keutamaan atau perbedaan khasiat. Semuanya layak dimanfaatkan sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Tentu itu adalah anugrah dan barakah dari Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَ yang bersifat umum. Namum menyakni bahwa berikhtiar dengan air sember tertentu memiliki keistimewaan khasiat dalam pengobatan, tanpa memiliki bukti rasional, baik berupa bukti syari’at atau bukti lain berupa bukti ilmiah dan bukti pengalaman yang rasional, maka itu adalah kemusyrikan. Karena ia telah menjadikan sesuatu yang syar’I atau secarah kauni bukan sebagai sebab. Ini berarti ia menganggap ada selain Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى yang bisa membuat sebab.
Mungkin suatu sendang tertentu mengandung zat tertentu hingga memiliki khasiat istimewa dalam hal tertentu menurut penelitian atau penalaran ilmiah, namun karena orang tidak mengetahui hal itu lalu ia menyakini berdasarkan khayalah khurafat bahwa ada kekuatan gaib yang tidak nalar, maka ikhtiar orang tersebut dengan keyakinan tersebut tetap meupakan kesalahan dan kemusyrikan.
Ikhtiar orang dengan hal-hal diluar nalar, bukan hanya melalui air saja. Bahkan melalui benda-benda lain yang dikalungkan di leher atau diletakan pada sudut-sudut rumah tertentu seperti gelang kuningan, tembaga, akar bahar, rajah, kalung keran, dan akik, atau semburan air liur ‘orang pintar’dan lain-lain yang diyakini sebagai bertuah. Itu semua termasuk syirik
Jika benda-benda itu diyakini sebagai sumber sembuh atau sumber sukses, maka itu merupakan syirik akbar . dan jika diyakini bahwa Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى yang menyembuhakan, yang memberi rizki dan yang menjadikan sukses, tetapi benda-benda itu hanya sebagai lantaran saja, maka itu termasuk syrik asygar yang merupakan dosa besar sebeb Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى tidak menjadikan hal-hal itu sebagai sebeb atau sebagai alat ikhtiar. Sebagai mana telah dijelaskan dimuka, menjadikan sesuatu sebagai sebab atau alat ikhtiar, pada hal Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى tidak menjadikannya sebagai sebab atau alat ikhtiar berarti melakukan Tindakan yang menandingi Allah سُبْحَا نَهُ وَتَعَالَى. dan itu adalah syrik.
Berbeda dengan obat yang sudah diteliti secara ilmiah dan berdasarkan pengalaman. Obat itu dimakan atau diolehkan, mempunyai pengaruh dan hubungan langsung yang dapat dirasakan oleh indra, dalam dinalar oleh akal serta halal, maka itu termasuk yang dibenarkan dalam islam, karena itu merupakan sebab yang di benarkan dalam syari’at.
Pada nabi Muhammad صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ada Sebagian orang yang belum mengerti melakukan ikhtiar-ikhtiar yang tidak benar sebagai pencegahan atau sebagai upaya menghilangkan penyakit. Diantaranya ada yang mengalungkan bekas tali busur ke leher onta meraka agar tidak terkena penyakit. Dalam hal ini rasulullah صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sempat mengutus delegasi khusus untuk melakukan operasi pembersihan.
Dengan demikian, jika ada penderitaan sesak napas misalnya, lalu datang kesendang tertentu untuk memimum air sendang itu sebagai ikhtiar yang hanya didasarkan pada ‘keyakinan’ (baca : khayalan) khurafat, maka ikhtiarnya adalah ikhtiar yang menyimpang. Tidak ada kaitan antara penyakit dengan air sendang tersebut. Kecuali orang kehausan yang tidak mempunyai air matang, ia boleh memimun air sendang itu sepuasnya dan tidak berdosa.
Lain hal dengan air zamzam, air ini memiliki barakah dan keistimewaan lebih dari air-air lainnya berdasarkan nash.
Dan diantara dalil dalil yang menyebutkan keutamaan air zamzam adalah
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ
“Air terbaik di seluruh muka bumi adalah air zamzam” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 11/98)
Orang yang sesak nafas misalnya, boleh meminum air zamzam ini sebagai upaya penyembuhan, atau berobat menurut saran ahli Kesehatan, baik dokter ataupun orang-orang berpengalaman lainnya dengan tetap bertawakal kepada Allah. Namun bukan menuruti pengalaman yang bersifat mistis dan khurafat.
Wallahu al-Musta’an wa’Alaihit Tulkan
REFERENSI:
Di Tulis Oleh : Ustadz ahmas Faiz Asifuddin
Di Ringkas Oleh : Muqbil , Gantha Putra Wijaya
Di Ambil Dari : Majalah As-Sunnah edisi 12/Thn XVII/Jumadi Akhir 1435H/April 2014M
BACA JUGA :
Leave a Reply