Ensiklopedia Akhlak Salaf (PART 1)

akhlak salaf 01

Ensiklopedia Akhlak Salaf (PART 1) – Segala pujian milik Allah semata. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan meminta ampun kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan amal-amal perbuatan kami. Barang siapa diberi hidayah oleh Allah niscaya tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan oleh Allah niscaya tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tiada illah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Akhlak mulia ialah perkara yang sangat penting. Bahkan berdakwah menuju kemuliaan akhlak merupakan salah satu tujuan terpenting diutusnya Nabi. Allah Ta’ala berfirman:

وإنك لعلى خلق عظيم

Artinya: “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi peketi yang luhur” (QS. Al-Qalam {68}: 4)

Akhlak mulia ialah perkara yang sangat penting. Bahkan berdakwah menuju kemuliaan akhlak merupakan salah satu tujuan terpenting diutusnya Nabi. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

انما بعثتث لامم مكارم الاخلاق

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[1]

Berikut ini akan dijelaskan mengenai akhlak mulia dalam artikel ini dapat menjadi penerang dan motivasi bagi kita semua untuk berusaha keras meraih akhlak yang mulia.

PENGERTIAN AKHLAK MULIA

Untuk menjadi seorang muslim yang berakhlak mulia, tentunya kita perlu memahami benar maksud ahlak mulia itu sendiri menurut syariat islam. Dari sejumblah penjelasan para ulama mengenai ahlak mulia, terdapat satu benang merah yang kita simpulkan, yaitu ahlak mulia itu terangkum dalam bentuk ketundukkan dan ketakwaan kepada Allah kapan pun dan dimana pun kita berada hingga menimbulkan rasa malu sekaligus takut kepada-Nya, sikap santun dan lemah lembut sesama makhlum sehingga timbul rasa saling menghormati dan menjaga hak-hak sesama, serta menjaga kehormatan diri dengan nilai-nilai islam yang luhur sehingga melahirkan pribadi yang terhormat lagi mulai. Berikut ini beberapa nukilan dari pernyataan para ulama mengenai hakikat ahlak mulia menurut Islam.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata : “berahlak mulia terhadap sesama manusia terwujud dengan cara menyambung tali silaturahmi dengan orang yang memutuskan darimu, bisa berupa mengucap salam kepadanya, menghormatinya, mendoakannya, memohonkan ampun untuknya, memuji kebaikannya, serta mengunjunginya. Juga dengan cara tetap memberi kepada orang yang selama ini enggan mengajarkan ilmu dan enggan memberikan manfaat atau hartanya atasmu. Atau, memaafkan siapa saja yang telah mendzalimimu dalam urusan darah, harta, maupun kehormatan. Perkara diatas ada yang hukumnya wajib, dan ada pula yang sunnah. “ [2]

Al-mawardi mengungkapkan: ”seseorang dikatakan berahlak mulia jika budi pekertinya halus, berwatak lembut, wajahnya ceria, tidak suka menghardik, dan selalu bertutur kata yang baik.” [3]

Syaikh Ibnu Sa’di mengatakan: “akhlak mulia adalah ahlak yang utama dan agung. Ia dibangun diatas kesabaran, kelembutan, dan kecendrungan pada perangai yang terpuji. Ahlak ini pun melahirka sifat mudah memaafkan, mampu bersikap toleran terhadap kekeliruan orang lain, dan senang berbagi manfaat dengan sesama unsan. Akhlak terpuji terwujud pula dengan kesabaran dalam menghadapi kejahatan orang lain, memaafkan kekeliruan sesamanya, dan membalas keburukan mereka dangan kebaikan. Seperti itulah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firmannya :

خذ العفو وأمر با لعرف وأعرض عن الجاهلين

Artinya: “ Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Q.S Al-A’Raf : 199)

Al-Ghazali mengatakan : “Menurut sebagian ulama, diantara ciri-ciri ahlak mulia adalah malu untuk melakukan keburukan, tidak senang menyakiti, suka berbuat kebaikan, berkata jujur, tidak banyak bicara namun banyak berkarya, sedikit melakukan kesalahan secara berulang-ulang, dan tidak banyak ikut campur urusan orang lain.

Akhlak mulia itu ditandai juga dengan sikap tenang, sabar, selalu bersyukur, ridha terhadap manis-pahitnya kehidupan, bijaksana, lemah lembut, serta pandai menjada kesucian dan harga diri. Selain itu, ia ditunjukkan juga dengan munculnya sifat penyayang, tidak senang melaknat atau mencela benda maupun manusia, tidak suka mengadu domba atau memfitnah, tidak tergesa-gesa, tidak bersifat hasad dan kikir, ataupun tidak bermanis-manis di  bibir dan wajah namun diam-diam memendam dengki dalam hati. Juga, mencintai dan membenci seseorang karena Allah, serta ridha dan marah karena-Nya.”[4]

Yusuf bun Asbarth menyebutkan bahwa akhlak mulia terangkum dalam sepuluh hal, yaitu: tidak suka memperuncing perbedaan pendapat, bersikap adil, menjauhi satu keramaian yang tidak berfaedah, memperbaiki yang terlihat tidak baik, tidak segan meminta maaf, tabah menghadapi kepedihan dan kesulitan hidup, tidak menyalahkan orang lain dan introspeksi diri saat mengalami kegagalan, tidak mencari kekurangan diri sendiri, murah senyum kepada semua orang tanpa melihat usianya, dan bertutur kata santun kepada setiap orang baik tua maupun muda.[5]

Al-Hasan berkata bahwa berakhlak mulia itu berarti berjiwa muda, bermurah hati, dan tabah menghadapi cobaan.[6] Dalam kesempatan lainnya, al-Hasan berkata: “Akhlak mulia diwujudkan dengan wajah berseri, rela mendermakan harta yang baik, dan mencegah keburukan supaya tidak menimpa orang lain”[7]

Sebagian ahli balaghah mengatakan: “Akhlak mulia pada diri seseorang akan menenengkan dan menjamin keselamatan bagi orang lain, sedangkan akhlak tercela akan menjadi musibah bagi orang lain selain melelahkan diri sendiri.” [8]

Salah seorang penyair berkata:”orang yang berakhlak baik akan memiliki banyak teman dan sedikit musuh. Perkara yang sulit akan mudah baginya, begitupun hati yang keras akan melunak terhadapnya.”[9]

Abu hazim salamah bin dinar pernah mengatakan:”sejatinya orang yang berakhlak buruk akan menyusahkan dan melelahkan diri sendiri. Bala ini akan menimpa dirinya, lantas menjalar keistri dan anak-anaknya.  Bahkan keluarganya yang tengah bergembira, saat mendengar suaranya ketika masuk rumah, akan menjauh dari dirinya. Hewan tunggangannya pun akan meringkik kesakitan. Betapa tidak? Orang itu terkadang melempar batu kearah binatang itu tanpa alasan yang jelas. Anjingnya pun akan kabur, sebagaimana kucingnya yang lari ketakutan karena sifat buruknya.”[10]

KEDUDUKAN AKHLAK MULIA DALAM ISLAM

  1. BERAKHLAK MULIA MERUPAKAN PERINTAH ALLAH

Didalamya ada banyak ayat yang memerintahkan kita agar menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang terpuji, serta menjanjikan balasan kebaikan didunia serta pahala yang sangat besar diakhirat. Allah azza wajalla berfirman:

… لا تعبدون الا الله وبالوالدين احسانا وذى القربى واليتامى والمساكين وقولوا للناس حسنا …

Artinya: janganlah kamu menyembah selain allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katakanlah yang baik kepada manusia...”

Ayat ini berisi perintah agar kita mentauhidkan Allah azawajalla, setelah perintah yang agung tersebut, diapun mengiringinya dengan seruan supaya seorang hamba selalu berbuat kebajikan dan berakhlak mulia kepada seluruh manusia.

Tatkala menafsirkan firmannya: ”Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia,” Ali bin abi thalib mengatakan:”Yaitu terhadap setiap manusia.”[11]

Senada dengan hal tersebut, Atha rahimahullah menjelaskan: ”Ayat ini memerintahkan kita agar meperlakukan umat manusia dengan baik, yang mukmin maupun yang musyrik.”[12]

Demikianlah Allah memerintahkan para hambanya agar bersikap santun dan berlaku baik kepada setiap orang, kawan maupun lawan, mukmin atau kafir. Dalam ayat lain, Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas sallam:

فقول له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى

Artinya: “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS.Taha: 44)

Sudah pasti kita tidak lebih mulia daripada Nabi Musa maupun Nabi Harun. Dan, siapapun orangnya, sudah tentu dia tidak lebih buruk daripada firaun. Meskipun demikian, Allah memerintahkan  kedua Nabinya itu agar bertutur kata yang lembut ketika berbicara kepada sang penguasa dzalim itu. Bahkan, Ibnu Abbas radiyaallahuanhu mengungkapkan: ”Seandainya firaun mengatakan kepadaku: ’barakallahu fiik, semoga allah memberkahimu, pasti aku akan menjawab wafiiki, dan juga untukmu. Namun, dia telah lama mati.”[13]

Allah mendorong setiap hambanya agar tidak membalas keburukan dengan keburukan yang sama, karena tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan. Allah taala berfirman:

ولا تستوى الحسنة ولا السيئة ادفع بالتى هى احسن فاذا الذى بينك وبينه عدوة كانه ولى حميم

Artinya: “dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatn itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS: Fusilat: 34)

Maka, jangan sampai kebencian mendorong kita berlaku dzalim kepada sesama, hingga kita mengabaikan akhlak mulia. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:” ayat ini diturunkan terkait dengan kebencian kaum musli kepada orang-orang kafir, dan kebencian seperti ini diperintahkan oleh syariat. Apabila dalam konteks kebencian yang syar’i saja kita dilarang mendzalimi orang kafir, lantas bagaimana pula dengan kebencian terhadap sesama muslim yang (secara umum) lahir dari interpretasi dan hawa nafsu belaka? Orang muslim tersebut tentu lebih berhak diperlakukan secra baik, adil, dan tidak dizhalimi.”[14]

Maka itu, Allah mendorong hambanya agar memiliki sifat pemaaf atas kedzaliman orang lain terhadap dirinya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين

Artinya: “jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makhruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS.Al-Araf:199)

 

BERSAMBUNG…..

Referensi

Ensiklopedi Akhlak Salaf, Abu Ihsan Al-Atsari & Ummu Ihsan, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, April 2019 M.

Dibuat Oleh : Suci Wahyuni (Pengabdian Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits)

[1] HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 273), dengan lafazh صا لحى الاخلاق . dishahihkan al-Albani (no. 45) .

[2] Majmu’ fatawa karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (X/658).

[3] Abab ab-Dunya wa ad-Din (hlm. 243).

[4] Ihya Ulumud Din (III/75).

[5] Ihya Ulumud Din (III/75).

[6] Jami’ul Ulum wal Hikam (hlm 160).

[7] Ihya Ulumud Din (III/75).

[8] Adabu Dunya wad Din (hlm 237)

[9] Adabu Dunya wad Din (hlm. 237). Syair ini dinisbatkan kepada Da’bal al-Khuza’i.

[10] Siyar A’lamin Nubala (VI/99).

[11] Syu’abal Iman (V/288).

[12] Tafsir Ibnu Jarir (II/296).

[13] Shahih Adabul Mufrad (no. 848)

[14]Minhajus sunnah (V/126)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.