Candu Itu Berupa Ketenaran

CANDU ITU BERUPA KETENARAN

CANDU ITU BERUPA KETENARAN

Akhir-akhir ini banyak sekali kita dengar berita-berita orang-orang yang beramai-ramai memamerkan harta kekayaan, gaya hidup mewah, dan kemampuannya untuk berbuat ini itu yang memiliki tujuan untuk mendapatkan sanjungan dan perhatian dari manusia.

Sebagian mereka berhasrat ingin kondang dan tenar. Fenomena ini tidak hanya menjangkiti publik figur atau artis, namun orang yang paham agama pun tak luput darinya. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, demi mendapatkan obsesi ketenaran itu orang-orang rela melakukan hal-hal yang aneh, bahkan memaksiati Allah.

Nabi memerintahkan kita untuk menjauhi ketenaran dan pujian-pujian karena sejatinya itu adalah fitnah bagi hati dan jiwa manusia. Beliau Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

Artinya: “Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih.” (HR. Ahmad no. 16460, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2674)

Islam memerintahkan umatnya agar memiliki sifat tawadhu’ atau rendah hati dan menjauhi popularitas. Terkadang ketenaran bisa membuat seseorang menjadi sombong dan tidak ikhlas dalam beramal. Namun, ketika qodarullah ia menjadi figur terkenal karena keshalihannya, ilmu dinnya atau karena kebaikannya tanpa ia cari, niscaya ini adalah karunia Allah.

Ilmu dan prestasi bisa menggelincirkan manusia manakala ia tidak dibingkai dengan keikhlasan sehingga merasa lebih baik, lebih utama, dan lebih tenar dari orang lain. Porosnya di hati, yakni niat, meskipun orang lain memandangnya memiliki kelebihan namun hatinya rendah hati dan hanya Allah lah yang mengetahui isi hati apakah ia sombong atau benar-benar niatnya ikhlas. Ia tidak begitu peduli dengan pujian manusia. Sanjungan seringkali membuat orang terlena hingga benih-benih kesombongan dan bangga diri pelan-pelan mengusik hatinya dan akhirnya bisa menodai amalannya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ

Artinya: “Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.”(QS. Ali-Imran : 29)

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan, dan tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2965)

Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah:

هُوَ الَّذِي لَا يُظْهِرُ نَفْسَهُ، وَلَا يَهْتَمُّ أَن يُظهِرَ عِندَ النَّاسِ أَوْ يُشَارُ إِلَيهِ بِالبَنَانِ أَوْ يَتَحَدَّثُ النَّاسُ عَنْهُ

Artinya: “Yaitu orang yang tidak menampakkan dirinya, tidak berambisi untuk tampil di depan manusia, atau untuk ditunjuk oleh orang-orang atau diperbincangkan oleh orang-orang.” (Syarah Riyadish Shalihin, 629)

Terkadang kita lihat seseorang nampaknya biasa-biasa saja, tak terlihat beda dengan orang lain namun ternyata dia dikaruniai Allah kefaqihan dalam agama, keluasan rezeki, atau kekayaan dan berbagai nikmat kelebihan yang jarang dimiliki orang lain. Namun, ia begitu pandai menyembunyian diri dan menghindari perhatian orang lain.

Ketenaran ibarat candu yang mematikan. Ketenaran dapat membinasakan dunia dan akhirat seseorang ketika ia sengaja dikejar demi orientasi dunia semata, agar terkenal, agar dihormati orang lain, agar heboh atau tujuan-tujuan rendah duniawi semata. Ini sama sekali jauh dari akhlak Islam. Yakinlah ketenaran demi kebahagiaan dunia semata niscaya pelakunya akan menderita, karena faktanya betapa banyak orang yang tenar akhir hidupnya merana dan tragis.

Bisa juga ketenaran akan perlahan-lahan menyeret kita kepada ketidakikhlasan dalam beramal. Setiap melakukan suatu kebaikan, bisa saja kita terdorong untuk memamerkan dan memperlihatkan amalan agar kita semakin terkenal. Perkara ikhlas dan niat ini sangat berat. Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata:

مَا عَالِجَتُ شَيْئًا أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ نَيَّتِي ؛ لِأَّنَّهَا تَتَقَلِّبُ عَلَيَّ

Terjemahannya: “Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik.” (Jami’ Al-‘ulum wal hikam: 21)

Mendewakan dan memburu ketenaran bagaikan semut yang melihat genangan madu, terpukau. Semakin ia meraihnya ke tengah semakin tenggelam dalam genangan madu. Para penuntut ilmu dan orang shalih bisa jadi juga tidak terlepas dari penyakit ini. Asy-Syathibi Rahimahullah berkata:

آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين: حب السلطة والتصدر

Terjemahannya: “Hal yang paling terakhir luntur dari hatinya orang-orang shalih: cinta kekuasaan dan cinta popularitas” (Al-I’tisham Asy-Syathibi)

Merasa bangga dengan amalan adalah perkara yang membuat kita merasa sudah pantas terkenal. Padahal amal kita sangat sedikit dan itu pun belum tentu diterima. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)

‘Aisyah menjelaskan terkait ayat ini yaitu maksud dari “hati yang takut” adalah khawatir amalannya tidak diterima. Beliau mengatakan, Artinya: “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” Nabi lantas menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq, yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang berpuasa, bersedekah, dan shalat namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR At-Tirmidzi No 3175 dan Ibnu Majah No 4198)

Nabi mengatakan orang yang pertama kali disiksa di neraka, yaitu mereka yang beramal dengan tujuan riya’ dan agar terkenal di antara manusia. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Orang yang pertama kali disidang pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati dalam peperangan. Lalu dia didatangkan ke hadapan Allah, kemudian Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, maka dia pun mengakuinya. Allah berkata, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?’ Orang tersebut menjawab, ‘Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.’ Allah berkata, ‘Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah diucapkan (oleh manusia).’ Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya, sampai dia pun dilemparkan di neraka.

Kemudian ada orang yang belajar agama dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an. Lalu orang itu didatangkan di hadapan Allah, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengakuinya. Allah berkata, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?’ Orang itu menjawab, ‘Aku telah belajar agama, mengajarkannya, dan aku telah membaca Al Qur’an.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut orang alim dan engkau membaca Al Quran supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah dilontarkan.’ Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun diseret dengan wajahnya sampai dia pun dilemparkan di neraka.

Kemudian ada seorang laki-laki yang diberikan kelapangan oleh Allah dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu dia pun didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?’ Orang itu menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.’ Maka orang itu diperintahkan untuk dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya, kemudian dia dilemparkan di neraka. (HR. Muslim no. 1905)

Betapa dahsyatnya gambaran yang diberikan dalam hadits tersebut. Itulah bahayanya fitnah ketenaran. Kebanggaan yang tidak seberapa di dunia namun menyeret pelakunya pada adzab yang sangat pedih. Semoga Allah menjauhkan kita semua dari ujian popularitas dan ketenaran.

Referensi:

Ditulis oleh : Dody Suhermawan.

Majalah HSI Edisi 53 Dzulqa’dah 1444 H.

Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).

Baca juga artikel:

Agar Bahtera Rumah Tangga Tidak Kandas Dihempas  Badai

Allah Tidak Butuh Dengan Kita

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.