Aqidah Imam Empat Madzhab

Aqidah imam empat madzhab[1]

oleh: M.Thoyyib

                Al-Hamdulillah, segala puji bagi Alloh, semoga sholawat serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga serta para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka hingga akhir zaman.

                Aqidah di dalam Islam merupakan suatu hal yang asasi dan mendasar serta perkara yang paling pokok. Aqidah yang benar akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, sementara ketergelinciran dalam hal aqidah akan berdampak fatal dan membahayakan. Salah dalam perkara aqidah berujung kepada salah dalam mengenal Alloh secara benar. Sungguh merupakan perkara yang penting untuk kita mengerti bagaimana aqidah para ulama salaf sholih (generasi sholih terdahulu) kita.

Keyakinan empat imam adalah sama:

                Keyakinan empat imam madzhab fiqih adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan merupakan keyakinan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka secara baik yang tidak pernah diperselisihkan diantara mereka. Para imam kita mengimani seluruh sifat-sifat Alloh dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Alloh, bukan makhluk dan bahwa iman adalah ucapan hati serta lisan dan amalan anggota badan. Keimanan bisa bertambah dan berkurang, mereka pun mengingkari orang-orang jahmiyyah dan yang lainnya dari berbagai golongan y ang menyelisihi aqidah ahlussunnah wal jama`ah.

                Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “…..akan tetapi diantara rahmat Alloh kepada para hamba-Nya adalah bahwa para imam yang senantiasa berbicara kebenaran seperti para imam yang empat dan yang lainnya mengingkari pendapat ahli kalam dari kalangan Jahmiyyah mengenai Al-Qur’an, iman serta sifat-sifat Robb (Alloh). Para imam tersebut bersepakat sebagaimana pendapat para generasi terdahulu bahwa Alloh akan terlihat di akhirat, Al-Qur’an bukanlah makhluk dan bahwa keimanan harus ada padanya pembenaran dengan hati dan lisan…”[2]

                Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya para imam yang terkenal semuanya menetapkan sifat-sifat Alloh dan mengatakan: “Sesungguhnya Al-Qur’an adalah firman Alloh bukan makhluk. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya Alloh bisa dilihat di akhirat.” Hal ini adalah madzhab sahabat dan para pengikut mereka dengan baik dari kalangan ahli bait dan yang lainnya. Hal ini adalah madzhab para imam yang diikuti, seperti Malik bin Anas, Tsauri, Laits bin Sa`d, Auza`i, Abu Hanifah, Syafi`i dan Ahmad…”[3]

                Syaikhul Islam ditanya mengenai aqidah Syafi`i, beliau menjawab: “Aqidah Syafi`i dan pendahulu umat ini seperti Malik, Tsauri, Auza`i, Ibnu Mubarok, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rohuwiyah adalah aqidah para masyayikh yang dijadikan qudwah seperti Fudhoil bin `Iyadh, Abu Sulaiman Ad-Daroni, Sahl bin Abdulloh At-Tusturi dan yang lainnya. Sesungguhnya tidak ada perselisihan diantara para imam dan yang seperti mereka dalam hal dasar-dasar agama. Begitu pula Abu Hanifah, sesungguhnya keyakinannya dalam hal tauhid dan taqdir dan yang semisalnya seperti keyakinan mereka, yaitu keyakinan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Keyakinan tersebut adalah yang diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.” [4]

Imam Abu Hanifah:

                Aqidah beliau dalam hal mentauhidkan Alloh dan tawasul yang syar`i serta yang terlarang.

Ucapan Imam Abu Hanifah:

Telah diriwayatkan beberapa ucapan Imam Abu Hanifah yang menunjukkan keyakinan dan aqidah beliau yang benar. Diantara ucapan Abu Hanifah adalah sebagai berikut:

“Tidak selayaknya bagi seseorang untuk berdoa kepada Alloh kecuali dengan nama-Nya. Berdoa yang diperbolehkan serta diperintahkan adalah yang terambil dari firman Alloh :

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Alloh nama-nama yang husna (paling baik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama tersebut.” (QS. Al-A`rôf: 180). [5]

“Dimakruhkan (terlarang) seorang yang berdoa mengucapkan: “Aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau hak para nabi dan rosul-Mu dan hak ka`bah.”[6]

“Alloh tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk. Kemarahan dan keridhoan-Nya merupakan diantara sifat-sifat-Nya tanpa diketahui bagaimana caranya. Dan hal tersebut adalah pendapat ahlus wal jama`ah. Alloh marah dan ridho dan tidak dikatakan: “Kemarahan Alloh adalah hukuman-Nya sedangkan keridhoaan-Nya adalah pahala-Nya. Kita menyifati-Nya sebagaimana Dia menyifati diri-Nya yaitu: Yang Esa, tempat bergantungnya segala sesuatu, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya, Maha Hidup, Maha Mampu, Maha Mendengar, melihat dan mengetahui. Tangan-Nya tidak sama dengan tangan makhluk-Nya, dan wajah-Nya tidak sama dengan wajah makhluk-Nya.”[7]

Tatkala beliau ditanya mengenai turunnya Alloh, maka beliau berkata: “Dia turun tanpa diketahui caranya.”

Aqidah Imam Malik bin Anas:

Pernyataan Imam Malik bin Anas dalam hal sifat-sifat Alloh:

Telah diriwayatkan dari Abu Nu`aim dari Ja`far bin Abdulloh ia berkata: “Kami pernah bersama Malik bin Anas, kemudian seseorang datang dan berkata: “Wahai Abu Abdillah, Alloh yang Maha Pengasih beristiwa’ (bersemayam) di atas `Arsy, bagaimana Dia beristiwa’? Maka Malik mendapati pertanyaan tersebut sebagai sesuatu yang besar, lalu ia melihat ke tanah dan mengetukkan ranting pada tangannya hingga beliau berkeringat. Kemudian beliau mengangkat kepala dan membuang ranting seraya berkata: “Bagaimana cara (beristiwa`) tidak dimengerti, dan arti istiwa’ telah diketahui sedangkan beriman kepada sifat istiwa’ adalah wajib dan bertanya mengenai cara beristiwa’ adalah bid`ah. Aku melihat engkau adalah pelaku bid`ah.” Kemudian beliau memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan dari majelisnya, maka orang itupun dikeluarkan dari majelisnya.[8]

Abu Daud telah meriwayatkan dari Abdulloh bin Nafi`, ia berkata: “Malik berkata: “Alloh berada di langit, dan ilmunya disemua tempat.”[9]

Pernyataan Imam Syafi`i:

Imam Syafi`i dalam kitabnya Ar-Risâlah[10] mengatakan: “Segala puji bagi Alloh sebagaimana sifat yang Dia berikan kepada diri-Nya dan melebihi sifat yang diberikan oleh makhluk-Nya.”

Adz-Dzahabi dalam Siyar min A`lâmin Nubalâ’ menyebutkan bahwa Imam Syafi`i mengatakan: “Kita tetapkan sifat-sifat yang disebutkan oleh Al-Qur’an serta As-Sunnah (hadits). Dan kita tiadakan penyerupaan darinya sebagaimana Dia tiadakan penyerupaan tersebut dari diri-Nya. Alloh berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syûrô: 11).

Imam Syafi`i pernah ditanya mengenai sifat-sifat Alloh dan perkara yang harus diimani. Maka beliau berkata: “Alloh memiliki nama dan sifat yang disebutkan Al-Qur’an dan telah diberitahukan oleh Nabi-Nya kepada umatnya. Seseorang yang telah tegak baginya dalil bahwa Al-Qur’an turun dengan menyebutkan nama serta sifat tersebut, dan telah datang kepadanya hadits shohih mengenainya yang telah diriwayatkan oleh perowi yang adil, tidak boleh baginya untuk menyelisihi hal tersebut. Jika ia menyelisihinya setelah tegaknya hujjah baginya maka ia telah ingkar kepada Alloh l . Adapun apabila belum tegak baginya hujjah karena belum datang kepadanya berita tersebut, maka udzurnya diterima karena ia belum mengerti. Karena mengetahui perkara tersebut tidak bisa dicapai hanya menggunakan akal serta pikiran. Dan demikian pula apa yang Alloh khabarkan bahwa Dia Maha Mendengar dan bahwa Dia memiliki dua tangan, berdasarkan firman-Nya:

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

“Tetapi kedua tangan Alloh terbuka” (QS. Al-Mâidah: 64).

Dan bahwa Dia memiliki tangan kanan berdasarkan firman-Nya:

وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67)

Dan Dia memiliki wajah berdasarkan firman-Nya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Alloh.” (QS. Al-Qoshosh: 88).

Allohpun memiliki telapak kaki berdasarkan sabda Rosululloh : “Hingga Alloh meletakkan telapak kaki-Nya di Jahannam.”[11]

Pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal:

Telah disebutkan dalam Kitab Al-Mihnah karya Imam Ahmad, ia berkata: “Alloh l senantiasa berbicara dan Al-Qur’an adalah perkataan Alloh l , bukan makhluk dalam segala sisi. Dan Alloh tidak disifati dengan sesuatu yang melebihi apa yang Alloh l , sifati diri-Nya dengan-Nya.”

Abdulloh bin Ahmad dalam Kitab As-Sunnah berkata: “Sesungguhnya Ahmad pernah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa Alloh tidak berkata tidak berbicara maka dia orang yang kafir, hanya saja kami meriwayatkan hadits-hadits ini sebagaimana datang.”[12]

                Ia juga pernah mengatakan: “Sifatilah Alloh dengan Sifat yang Alloh berikan kepada diri-Nya, dan hilangkan dari Alloh apa yang Dia hilangkan dari diri-Nya.”[13]

                Demikianlah secara singkat, beberapa pernyataan para imam madzhab fiqih yang terkenal. Kesemuanya menunjukkan pendapat mereka yang sama, bahwa kewajiban kita adalah mengimani sifat-sifat Alloh yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, tanpa menafsirkan dan memalingkan maknanya yang zhohir kepada makna yang lain. Dan bahwa segala sifat yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak boleh untuk kita tetap bagi Alloh. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita semua. Walhamdulillâhi robbil `âlamîn.

[1] Diadopsi dari Kitab I`tiqôdul Aimmatil Arba`ah Abi Hanifah wa Malik wa Asy-Syafi`i wa Ahmad.

[2] Kitâb Al-îmân hal. 350, 351. Dar Ath-Thibâ`ah Al-Muhammadiyyah, dengan disertai komentar dari Muhammad Al-Harros.

[3] Minhâjus Sunnah (2/ 106).

[4] Majmu`ul Fatâwâ (5/ 256).

[5] I`tiqôdul Aimmatil Arba`ah, hal. 8.

[6] Syarhul `Aqîdatith Thohâwiyyah hal. 234, Syarhul Fiqhil Akbar hal. 198. Lihatlah I`tiqôdul Aimmatil Arba`ah, hal.8.

[7] I`tiqôdul Aimmatil Arba`ah, hal.10.

[8] Dikeluarkan oleh Ash-Shobuni dalam `Aqidatus Salaf Ash-Hâbul Hadits hal. 17-18 serta yang lainnya, sanadnya jayyid dan dishohihkan oleh Adz-Dzahabi.

[9] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Masâilul Imâm Ahmad, hal. 263, dan yang lainnya.

[10] Halaman 7, 8.

[11] Dikeluarkan oleh Bukhori dalam Kitab At-Tafsîr bab: Wa taqûlu Hal min Mazîd, (8/594). Dikeluarkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Jannah wa Shifatu Na`îmuhâ wa Ahluhâ, bab An-Nâru Yadkhuluhal Jâbbârûn wal Jannatu Yadkhuluhadh Dhu`afâ’ (4/ 2187), semuanya dari jalur Qotadah dari Anas bin Malik.

[12] As-Sunnah, hal. 71, Dârul Kutub Al-`Ilmiyyah.

[13] Manâqibul Imâm Ahmad, hal. 221.

Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 02 Tahun 02

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.