Oleh: Said Yai, M.A.
I. PENDAHULUAN
Di dalam utang-piutang terkadang orang yang memberikan utang membutuhkan jaminan agar orang yang berutang benar-benar bisa membayar utangnya pada waktu yang telah dijanjikan. Jumlah utang yang diberikan tentunya berbeda-beda, ada yang jumlahnya besar dan ada yang jumlahnya kecil. Untuk yang jumlahnya kecil, jika ternyata orang yang berutang tidak membayarnya, mungkin tidak berpengaruh besar terhadap orang yang mengutanginya. Akan tetapi jika jumlahnya besar, tentunya akan berpengaruh besar kepada orang yang mengutanginya.
Orang yang mengutangi sudah memberikan pinjaman harta kepadanya dengan niat berbuat baik kepadanya, demikian pula seharusnya orang yang berutang juga harus memiliki niat baik untuk membayar utangnya pada waktu yang telah disepakati. Dengan demikian terciptalah kerjasama yang baik antara yang mengutangi harta dan yang berutang.
Orang yang memiliki harta untuk membayar utang tetapi dia menunda pembayarannya dengan sengaja dan tanpa ada uzur, maka orang tersebut telah berbuat kezaliman dan dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda pembayaran utang untuk orang yang kaya (memiliki pembayarannya) adalah suatu kezaliman.”1
Sebagian orang yang mengutangi terkadang membutuhkan penjamin atas utang yang dia berikan kepada orang yang berutang. Ini dimaksudkan agar harta yang dipinjamkannya tersebut tetap dalam kondisi aman dan tidak lenyap serta orang yang berutang bisa terjamin akan membayar utangnya tepat waktu.
Di dalam syariat Islam Penjamin ini disebut tautsiqah. Akad-akad tautsiqah ada lima macam, yaitu:
-
Al-Kitabah (Pencatatan) dan Al-Isyhad (Persaksian)
-
Ar-Rahn (Pergadaian)
-
Al-Dhamaan (Penjaminan)
-
Al-Kafaalah (Pertanggungjawaban untuk mendatangkan orang yang berutang)
-
Al-Hawaalah (Pengalihan Utang kepada orang lain)
Kelima akad ini insya Allah akan dibahas pada tulisan ini.
II. PEMBAHASAN
-
Al-Kitabah (Pencatatan) dan Al-Isyhad (Persaksian)
Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan pencatatan transaksi utang dengan segala bentuknya dan juga mendatangkan saksi-saksi atas utang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 282)
Dengan adanya catatan dan persaksian, maka seseorang bisa menjaga hartanya yang telah dia pinjamkan kepada orang lain. Perintah ini disyariatkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata, pada zaman sekarang sangat diperlukan hal ini untuk menjamin utang seseorang.
Banyak kejadian menunjukkan bahwa orang yang berutang menggunakan berbagai cara untuk mengingkari utangnya. Tentunya ini adalah perbuatan zalim. Oleh karena itu, dengan adanya catatan dan persaksian, orang yang berutang tidak bisa berdusta dan tidak bisa mengelak apabila dia ditagih oleh orang yang mengutanginya.
Dan catatan ini juga sangat dibutuhkan untuk mengetahui jumlah utang sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.
-
Ar-Rahn (Pergadaian)
-
Pengertian Ar-Rahn (Pergadaian)
Menurut bahasa Arab arti dari Ar-Rahn adalah ats-tsubuut (tetap) dan ad-dawaam (terus-menerus) dan dia juga berarti al-habs (tertahan).
Yang dimaksud dengan Ar-Rahn di dalam istilah fiqh adalah:
توثيق الدين بعين يمكن استفاؤه منها أو من ثمنها إن تعذر الاستيفاء من ذمة المدين
“Jaminan atas utang dengan menggunakan barang yang memungkinkan untuk membayar utang tersebut dengan barang tersebut atau dengan harganya (hasil penjualannya) jika ada udzur untuk membayar utang yang ditanggung oleh yang berutang.”2
Jadi yang dimaksud dengan ar-rahn adalah orang yang berutang menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utangnya, apabila ternyata pada waktu yang telah ditentukan dia tidak bisa membayarnya maka barang tersebut bisa menjadi pembayarannya atau barang tersebut dijual kemudian hasil penjualannya dipergunakan untuk membayar utangnya.
-
Hukum
Para ulama sepakat akan kebolehannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS Al-Baqarah: 283)
Begitu pula, Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi untuk jaminan utang makanan.
Di dalam riwayat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata:
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan berutang dan beliau menggadaikan baju perangnya.”3
-
Tujuan dari Ar-Rahn
Tujuan dari Ar-Rahn adalah utang yang telah dipinjamkan kepada orang yang berutang terjamin aman dan orang yang meminjamkan bisa mendapatkan kepercayaan atas utangnya tersebut.
-
Syarat-syarat Ar-Rahn
Ar-Rahn (pergadaian) dikatakan sah apabila:
-
Munajjaz (tidak terikat) dan bukan mu’allaq (terikat)
Maksudnya adalah barang yang digadaikan tersebut jika telah habis tempo pembayaran utang, tidak secara otomatis menjadi milik orang yang meminjamkan utang (al-murtahin), tetapi barang tersebut dikembalikan hak transaksinya kepada pemiliknya/yang menggadaikannya, apakah barang tersebut akan menjadi pembayaran atas utangnya dengan tawar menawar harga ataukah barang tersebut akan dijual kepada orang lain dan hasil penjualannya digunakan untuk membayar utangnya.
-
Bersamaan dengan haq atau setelahnya
Maksudnya adalah pergadaian dianggap sah, apabila disebutkan pada saat akad utang-piutang atau setelah akad tersebut. Sehingga ar-rahn tidak sah jika belum terjadi akad tersebut.
-
Barang yang digadaikan adalah milik yang menggadaikan atau barang tersebut diizinkan untuk dijadikan barang gadaian oleh pemiliknya
Dengan demikian, kita bisa menjaminkan barang yang kita miliki untuk menjadi barang gadaian atas utang orang lain. Dan tidak sah menggadaikan barang yang bukan milik kita atau kita tidak diberi izin untuk menggadaikan barang tersebut.
-
Barang tersebut sah untuk diperjualbelikan
Barang yang tidak sah untuk diperjualbelikan maka tidak sah untuk dijadikan barang gadaian, seperti: minum-minuman keras, anjing, babi, harta waqaf dan lain-lain.
Jika barang tersebut sah diperjualbelikan maka memungkinkan untuk menjadi pembayaran jika utangnya tidak terbayar.
-
Harus diketahui: jenis, takaran dan sifatnya.
Dengan demikian bisa ditentukan nilai harga barang tersebut.
-
Barang tersebut dijadikan jaminan atas utang
Jika barang tersebut bukan dijadikan jaminan atas utang maka dia tidak dinamakan ar-rahn. Utang yang dimaksud di sini adalah semua jenis utang, baik:
– Utang tersebut sifatnya wajib dibayar oleh seseorang, seperti: utang-piutang biasa, utang dalam pembelian barang yang belum dibayar atau utang atas barang yang telah dirusak dan belum diganti harganya.
– Utang tersebut belum wajib dibayar, tetapi berpotensi menjadi wajib, seperti: barang yang telah dicuri dan belum dikembalikan, barang pinjaman dan belum dikembalikan dan barang yang dipegang oleh pembeli tetapi masih dalam tawar-menawar belum sampai kepada tahapan akad, maka boleh menjadikan suatu barang sebagai gadaian.
-
Apa Saja Yang Sah Untuk Menjadi Barang Gadaian `dan Apa Yang tidak Sah
-
Barang yang sah untuk dijadikan barang gadaian adalah seluruh barang yang sah untuk diperjualbelikan.
-
Adapun barang-barang yang tidak sah untuk dijadikan barang gadaian adalah:
– barang-barang yang tidak sah untuk diperjualbelikan dan , seperti: orang merdeka, ummul walad, anjing, budak yang kabur dll.
Dan dikecualikan dari hal tersebut adalah: kurma, buah-buahan atau biji-bijian sebelum tampak ciri-ciri akan matangnya, maka boleh dijadikan sebagai barang gadaian tetapi tidak sah diperjualbelikan.
– Dan harta anak yatim yang dipegang oleh orang yang fasiq.
-
Hukum-hukum Seputar Ar-Rahn
Ada beberapa hukum terkait dengan pembahasan ar-rahn (pergadaian) ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
-
Ar-Rahn boleh dilakukan ketika berakad utang piutang atau setelah berakad.
-
Orang yang menggadaikan barangnya (ar-raahin) boleh membatalkan barang gadaiannya selagi masih ditangannya (ar-raahin), tetapi jika sudah dipegang oleh orang yang meminjamkan uang (al-murtahin) maka dia tidak bisa mengambilnya darinya kecuali dengan ke-ridha-an al-murtahin.
-
Al-Murtahin berhak membatalkan ar-rahn kapanpun dia mau.
-
Orang yang menggadaikan barang (ar-raahin) tidak boleh melakukan akad apapun terkait barang tersebut tanpa seizin orang yang meminjamkannya uang, seperti: menjual barang gadaian, menghibahkannya kepada orang lain, mensedekahkannya dan lain-lain.
-
Segala yang tumbuh atau yang dihasilkan dari barang gadaian menjadi barang gadaian, seperti: seorang yang menggadaikan sapi betina dan ternyata setelah beberapa lama, maka sapi tersebut beranak, maka anak dari sapi tersebut adalah barang gadaian dan bukan menjadi milik orang yang meminjamkan utang (al-murtahin).
-
Barang gadaian yang ada di tangan orang yang meminjamkan uang adalah titipan berdasarkan amanah. Seandainya terjadi apa-apa terhadap barang tersebut, bukan karena kelalaiannya, maka al-murtahin tidak berkewajiban untuk menjamin barang tersebut.
Akan tetapi jika ternyata terjadi kehilangan atau kerusakan atas keteledoran dan penggunaan barang yang dilakukan oleh al-murtahin melampaui batas kewajaran, maka al-murtahin wajib bertanggung jawab atas barang gadaian tersebut.
-
Orang yang menjaga barang gadaian tidak boleh memanfaatkan apapun dari barang gadaian, apabila dia memanfaatkannya maka orang yang mengutangi telah mengambil manfaat dari perutangan, dan ini riba.
-
Akan tetapi, jika barang tersebut adalah barang yang membutuhkan perawatan atau nafkah, seperti diberi makan atau dibersihkan, contohnya: sapi, onta, kuda dll., maka orang yang mengutangi boleh memanfaatkan sapi atau onta tersebut sesuai upah perawatannya, seperti: mengambil susunya atau menjadikannya sebagai tunggangan atau pembawa barang. Jika ternyata manfaat yang diambil dari hewan tersebut kurang, maka al-murtahin bisa memintanya kepada yang menggadaikannya. Jika ternyata manfaat yang diambil lebih dari upah perawatannya, maka al-murtahin harus membayarnya kepada yang menggadaikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang bisa ditunggangi boleh untuk dinaiki jika dia menjadi barang gadaian dan susu hewan boleh diminum jika dia menjadi barang gadaian, Akan tetapi, orang yang menaikinya dan minum darinya wajib memberikan makan kepadanya (hewan tersebut).”4
Sebagian ulama membolehkan pemanfaatan budak untuk al-murtahin, tetapi al-murtahin wajib memberinya nafkah hidup. Dan manfaat yang diambil hanyalah boleh sebesar jumlah nafkah yang diberikan kepadanya.
-
Di saat al-murtahin berhak untuk menggunakan barang yang digadaikan, maka ini tergantung izin dari dari ar-raahin (pemilik barang tersebut). Jika dia tidak mengizinkannya maka tidak boleh memanfaatkannya.
-
Jika barang yang digadaikan adalah barang yang dimiliki bersama dengan orang lain, maka sah menggadaikannya sesuai jumlah bagiannya saja yang terdapat pada barang tersebut. Misalkan si Alan dan si Bolan bersama-sama memiliki sebuah mobil dengan perbandingan si Alan memilikinya sepertiga dan si Bolan memiliki dua pertiga, maka si Alan berhak menggadaikan bagiannya yang sepertiga tersebut.
-
Boleh menjadikan barang yang telah dibeli dengan berutang sebagai barang jaminan. Inilah pendapat yang kuat. Apabila seseorang membeli rumah dengan cara berutang, maka orang tersebut boleh menjadikan rumah tersebut sebagai barang jaminan kepada penjual rumah tersebut, karena rumah tersebut sudah menjadi milik pembeli dan bukan lagi menjadi milik penjual dengan adanya akad jual beli meskipun dengan berutang.
-
Seandainya sebagian utang telah dibayar, maka barang gadaian tetap menjadi jaminan sampai ar-raahin (orang yang menggadaikan barang) membayar seluruh utangnya.
-
Apabila telah habis tempo pembayaran utang dan utang tersebut belum juga dibayar, maka orang yang mengutangi boleh memaksa untuk meminta utangnya. Jika orang yang berutang tidak mau membayarnya, maka dia boleh dilaporkan ke hakim. Dan sang hakim boleh memenjarakannya atau memberikan hukuman sesuai kebijakan sang hakim (ta’ziir), sampai orang yang berutang mau membayar utangnya.
-
Jika orang yang berutang tetap tidak mau membayar utang maka sang hakim boleh menjual barang gadaian tersebut dan membayar sejumlah utangnya. Jika hasil penjualan barang tersebut memiliki kelebihan dari pembayaran utang, maka harus dikembalikan kepada orang yang memiliki barang tersebut. Jika ternyata kurang, maka ini tetap menjadi utang. Oleh karena itu, nilai barang yang digadaikan sebaiknya sama atau lebih besar dari jumlah utang yang dia pinjam.
-
Akan tetapi jika disepakati dari awal, bahwa barang gadaian tersebut boleh langsung dijual oleh al-murtahin ketika habis tempo dan utangnya belum dibayar, maka hal tersebut diperbolehkan, dengan syarat harga jual barang tersebut telah disepakati oleh orang yang menggadaikannya.
-
Permasalahan
-
Bagaimana Hukum Gadai Emas? Apakah boleh Al-Murtahin mengambil upah menjaga barang gadaian tersebut?
Pergadaian emas ini banyak kita temukan di sebagian lembaga keuangan. Mereka mengatakan bahwa akad yang dipakai adalah akad ijarah (sewa menyewa) dalam menjaga emas tersebut agar tidak hilang. Menurut mereka hal ini diperbolehkan karena yang namanya sewa-menyewa dalam menjaga barang itu sah-sah saja di dalam syariat Islam.
Kalau kita perhatikan, hukum gadai emas sama seperti barang yang lainnya, yaitu tidak boleh mengambil manfaat sedikitpun dari barang yang digadaikan. Dan ini sudah kita bahas pada pembahasan sebelumnya.
Adapun dalil yang digunakan oleh mereka yaitu dengan menggunakan akad ijarah (sewa-menyewa) jasa menjaga emas tersebut, maka hal ini tidak dibenarkan, karena ini hanya hilah (tipu daya) untuk menghalalkan riba.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan, inti dari transaksi gadai emas itu adalah meminjam uang. Jika akadnya meminjam uang, maka tidak dibenarkan bagi pihak yang memimjamkan uang untuk mengambil keuntungan sedikit pun dari utang-piutang tersebut. Dan kita dapatkan pada transaksi ini, lembaga keuangan mengambil manfaat dari utang tersebut. Di dalam qaidah mengenal riba dikatakan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
Kalau begitu, apa manfaat yang didapatkan oleh lembaga keuangan atau orang yang meminjamkan uang?
Kita perlu ingat, bahwa utang-piutang adalah saling tolong-menolong antara satu dengan yang lain, sehingga tidak dibenarkan memanfaatkannya untuk mencari untung. Dan sebenarnya orang yang meminjamkan uang juga mendapatkan keuntungan yang dibolehkan dalam syariat, yaitu: mendapatkan pahala seperti bersedekah, hartanya tersimpan di dalam tanggungan orang yang meminjamnya dan dia mendapatkan keamanan atas hartanya dengan adanya barang gadaian tersebut. Oleh karena itu, gadai emas tidak ada bedanya dengan gadai yang lain, yaitu dia tidak boleh dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan di dalamnya.
-
Apakah al-murtahin boleh menggarap sawah yang digadaikan selama pemilik sawah belum bisa mengembalikan uangnya?
Soal ini banyak ditanyakan, baik dia berhubungan dengan sawah, kebun atau semisalnya. Hukum permasalahan ini sama dengan hukum sebelumnya yaitu riba, karena orang yang meminjamkan uang mengambil manfaat atas utang yang dia berikan kepada pemilik sawah atau kebun tersebut.
-
Apakah boleh menempati rumah gadaian selama belum jatuh tempo utang?
Permasalahan ini sama dengan permasalahan sebelumnya. Hukumnya adalah riba, karena riba bisa berupa tambahan uang, barang, jasa atau manfaat yang menguntungkan pihak yang meminjamkan uang. Pada kasus ini orang yang meminjamkan uang mengambil manfaat jasa menempati rumah orang yang berutang kepadanya.
Demikian pembahasan tentang ar-rahn atau pergadaian. Pada intinya yang menjadi jaminan pada akad ini adalah barang yang digadaikan, sehingga jika orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan maka dia bisa menjual barang tersebut untuk mendapatkan pembayaran utangnya.
C. Adh-Dhaman (Penjaminan)
-
Pengertian Adh-Dhaman
Menurut bahasa Adh-Dhaman berasal dari kata Adh-Dhamn yang berarti jaminan. Orang yang menjamin menanggung kewajiban orang yang dijaminnya.
Sedangkan menurut syariat adalah:
التزام ما وجب على غيره، مع بقائه على مضمون عنه، والتزام ما قد يجب أيضا ؛ كأن يقول: ما أعطيت فلانا؛ فهو علي.
“Mewajibkan diri untuk menanggung apa yang wajib dilakukan oleh orang lain, dengan tetapnya kewajiban tersebut pada diri orang lain tersebut dan menanggung apa yang mungkin menjadi wajib juga (bagi orang lain tersebut), seperti dia mengatakan, ‘Apa yang engkau berikan kepada dia, maka itu menjadi tanggunganku.”
Dari pengertian di atas kita bisa memahami bahwa orang yang menjamin (adh-dhaamin), menjadi penjamin atas utang yang dimiliki oleh orang lain. Utang tersebut tetap menjadi kewajiban orang lain tersebut untuk membayarnya. Akan tetapi, jika sudah jatuh tempo dan orang yang dijamin tersebut tidak mampu membayarnya, maka yang membayar utangnya adalah adh-dhaamin (yang menjaminnya). Contohnya di rumah sakit-rumah sakit, biasanya jika pasien tidak bisa membayar biaya operasi, maka pihak rumah sakit, meminta ada penjamin yang membayarkan biaya operasi tersebut. Jika ternyata, setelah dioperasi pasien tidak mampu membayarnya, maka pihak rumah sakit menuntut kepada penjamin tersebut.
-
Hukum Adh-Dhaman
Hukum adh-dhamaan ini boleh berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ kaum muslimin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam kisah Nabi Yusuf:
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan gelas khusus milik raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS Yusuf: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الزَّعِيمُ غَارِمٌ ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ.
“Orang yang bertanggung jawab dia adalah ghaarim (penjamin) dan utang wajib dibayarkan.”5
Dan secara umum para ulama sepakat akan dibolehkannya jaminan dalam utang-piutang.
-
Orang Yang Sah Menjadi Penjamin dan Yang Tidak Sah
Orang yang sah menjadi penjamin adalah yang memiliki sifat sebagai berikut:
-
Orang yang merdeka dan bukan budak, karena harta yang dipegang budak adalah harta majikannya, sehingga dia tidak sah untuk bertransaksi harta tanpa seizin majikannya.
-
Mukallaf (orang yang dibebani syariat),
-
Bukan mahjuur, yaitu orang yang dibatasi penggunaan hartanya, seperti: orang yang banyak utangnya dan belum dibayar, kemudian sang hakim membatasi penggunaan hartanya.
-
Dia ridha untuk melakukan hal tersebut, yaitu dengan pilihannya sendiri dan bukan dipaksa. Karena orang yang akan menjamin maka dia seperti orang yang akan bersedekah ketika ternyata orang yang dijamin tidak bisa membayar pada waktunya, sehingga dibutuhkan kerelaan hatinya dan tidak boleh dalam keadaan terpaksa.
-
Hukum-hukum Seputar Adh-Dhamaan
Berikut ini beberapa hukum terkait adh-dhaman (jaminan):
-
Adh-Dhaman adalah akad yang didalamnya ada perbuatan menolong orang lain sehingga tidak diperkenankan mengambil keuntungan di dalamnya, seperti: orang yang menjamin minta dibayar 5 % dari utang yang dijamin tersebut atau dia minta untuk dicatkan rumahnya dan yang semisalnya yang berupa manfaat untuknya. Apabila dipersyaratkan demikan maka dia seperti orang yang mempersyaratkan untuk mendapatkan manfaat atas utang yang dia berikan, sebagaimana telah penulis jelaskan pada kaidah mengenal riba di atas.
-
Lafaz adh-dhaman bebas, yang paling penting di dalamnya ada pemahaman bahwa dialah yang bersedia menjadi penjamin utang orang lain.
-
Orang yang meminjamkan utang tidak berhak untuk menuntut adh-dhamin (yang menjamin) kecuali al-madhmun (yang dijamin) tidak bisa membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan.
-
Tanggung jawab menanggung utang yang telah disepakati oleh adh-dhamin (orang yang menjamin) tidak bisa dilepaskan sekendak hatinya, karena dia terikat dengan utang orang yang dijamin. Apabila utangnya sudah dibayar lunas, maka hilanglah tanggung jawabnya, tetapi jika belum lunas, maka tanggung jawab menjamin tersebut tetap ada pada dirinya.
-
Orang yang menjamin jumlahnya boleh lebih dari satu orang. Apabila demikian, maka seluruh penjamin harus bersedia menanggung utang itu, jika yang dijamin tidak bisa membayar pada waktunya. Mereka harus membayarkan utang orang yang dijamin dengan pembagian yang mereka sepakati. Tanggung jawab menanggung tersebut tidak bisa lepas sampai utang tersebut lunas.
-
Jaminan (adh-dhaman) bisa dipakai pada ‘Uhdatutstsaman dan ‘Uhdatul-Mutsman.
Maksud dari ‘Uhdatutstsaman adalah perjanjian akan mengembalikan barang jika ternyata uang atau harga pembayaran bukanlah pembayaran yang sah. Seperti seseorang saling bertukar barang, penjual menjual mobil dan pembeli membayar dengan tanah. Penjual mobil mengatakan, “Seandainya tanah ini bukan milikmu, maka saya akan mendapatkan kerugian. Oleh karena itu, saya butuh penjamin, kalau ternyata tanah itu bukan milikmu, maka dia sebagai penjamin untuk mengembalikan mobilku.”
Adapun ‘Uhdatul-Mutsman adalah kebalikannya, pembeli dengan menggunakan pembayaran tanah mengatakan, “Seandainya mobil ini bukan milikmu, maka saya akan mendapatkan kerugian. Oleh karena itu, saya butuh penjamin, kalau ternyata mobil itu bukan milikmu, maka dia sebagai penjamin untuk mengembalikan tanahku.”
-
Jaminan bisa juga dipakai pada barang yang dicuri atau digunakan tanpa izin oleh seseorang kemudian dia ketahuan oleh pemiliknya, pemilik barang tersebut mengatakan kepadanya, “Kamu telah mengambil barangku.” Kemudian pencuri tersebut membenarkan dan berjanji akan mengembalikannya. Pemiliknya mengatakan, “Saya butuh penjamin.” Kemudian pencuri tersebut mendatangkan penjamin.
-
Adapun pada barang yang dipegang dalam masa tawar menawar atau disebut (Al-Maqbuudh ‘Ala Wajhissaum) dan barang yang dipinjam (‘Ariyah) maka tidak dibenarkan untuk meminta jaminan menurut pendapat yang kuat Allahu a’lam, karena barang tersebut diberikan kepada mereka dengan izin pemiliknya, sehingga dia seperti barang yang diamanahkan untuk menjaganya. Akan tetapi, dia boleh meminta jaminan jika ternyata yang memegang barang tersebut tidak amanah dalam menjaga atau menggunakannya.
Maksud dari Al-Maqbuudh ‘Ala Wajhissaum adalah barang yang dipegang ketika masih terjadi tawar-menawar. Misalnya seorang calon pembeli ingin membeli baju dan dia masih tawar-menawar, kemudian dia berkata kepada penjual, “Saya bawa baju ini dulu untuk saya perlihatkan ke istri saya, apakah dia setuju ataukah tidak.” Kemudian penjual membolehkan dia membawa baju tersebut. Pada masa baju tersebut dipegang oleh calon pembeli, maka penjual boleh meminta penjamin dengan mengatakan, “Kamu boleh membawa baju tersebut, tetapi saya minta ada yang menjaminnya.” Kemudian pembeli datang dengan membawa penjamin. Dan jaminan ini hanya diberikan apabila pembeli ta’addin (melampaui batas penggunaan) atau tafriith (menyepelekan penjagaan) ketika memegangnya.
-
Tidak disyaratkan bagi orang yang menjamin untuk mengetahui besar atau jenis utang yang ditanggungnya, contohnya seseorang berkata kepada temannya, jika ada orang yang meminjam uang kepadamu, maka saya menjadi penjamin atas utangnya. Hal ini diperbolehkan, meskipun tidak diketahui jumlah utangnya.
-
Tidak dipersyaratkan ke-ridha-an orang yang dijamin. Orang yang dijamin nantinya ridha atau tidak ridha terhadap orang yang telah menjamin utangnya, ini tidak menjadi masalah. Dengan demikian tidak mengapa bagi orang yang menjamin untuk tidak mengetahui orang yang dijaminnya, sebagaimana di dalam kisah Nabi Yusuf:
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan gelas khusus milik raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS Yusuf: 72)
Perkataan “Aku menjadi penjamin terhadapnya” tidak diketahui besar takarannya.
D. Al-Kafaalah
-
Pengertian
Di dalam bahasa Arab makna dari al-kafaalah adalah adh-dhamaan yaitu jaminan.
Sedangkan menurut istilah syariat maknanya adalah:
التزام إحضار من عليه حق مالي لربه
“Mewajibkan diri untuk bisa mendatangkan orang yang memiliki kewajiban harta kepada pemilik hak harta tersebut.”
Dengan demikian kita bisa memahami bahwa al-kafalah adalah penjamin untuk mendatangkan badan orang yang memiliki kewajiban membayar hak harta seperti utang kepada pemilik harta tersebut. Sehingga yang ditanggung adalah kehadiran orang tersebut untuk mempertanggungjawabkan utangnya.
-
Hukum Al-Kafalah
Hukum al-kafalah boleh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلَّا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ فَلَمَّا آتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
“Ya’qub berkata, ‘Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kalian, sebelum kalian memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kalian pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kalian dikepung musuh.’ Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata, ‘Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini).’.” (QS Yusuf: 66)
Pada ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihissalam meminta mereka untuk menjadi kafiil (penjamin) untuk bisa mendatangkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
Adapun dalil dari hadits Nabi adalah perkataan beliau:
الزَّعِيمُ غَارِمٌ
“Orang yang bertanggung jawab dia adalah ghaarim (penjamin).”
Orang yang bertanggung jawab bisa berbagai macam bentuknya dan di antaranya adalah al-kafalah.
-
Hukum-hukum Seputar Al-Kafaalah
Berikut ini adalah beberapa hukum terkait al-kafalah (penjamin badan):
-
Akad al-kafaalah terletak pada badan al-makfuul (orang yang ditanggung) untuk semua yang berhubungan dengan hak harta, termasuk di dalamnya adalah utang.
-
Al-kafaalah dianggap sah dengan adanya ke-ridha-an dari al-kafiil (penjamin) dan tidak dipersyaratkan ridha dari al-makfuul (yang dijamin), seperti hukum adh-dhamaan.
-
Tanggung jawab al-kafiil terlepas jika:
– Al-makfuul (yang dijamin) meninggal dunia.
– Jika al-kafiil (penjamin) telah mendatangkan al-makfuul (yang dijamin) di tempat akad.
– Jika al-makfuul (yang dijamin) telah menyerahkan dirinya sendiri kepada yang memiliki hak.
-
Apabila al-kafiil (penjamin) tidak bisa mendatangkan al-makfuul (yang dijamin) pada waktu yang memungkinkan untuknya untuk mendatangkannya, maka al-kafiil menanggung seluruh kewajiban harta yang wajib dibayar oleh al-makfuul.
-
Apabila al-makfuul ditanggung oleh dua orang atau lebih, jika salah satu dari mereka menyerahkan al-makfuul kepada pemilik hak, maka tanggung jawab al-kafiil yang lain belum terlepas, kecuali jika al-makfuul menyerahkan dirinya sendiri.
-
Apabila ada si A ingin berutang kepada si B, dan si B mengatakan, “Saya tidak mengenalmu.” Kemudian ada si C mengatakan, “Saya jamin kamu untuk pinjaman tersebut. Saya akan memberitahumu siapa dia dan dimana dia.” Kemudian si B pun meminjamkan uangnya kepada si A, maka secara otomatis dengan perkataan si C tersebut, dia menjadi al-kafiil, karena si B tidaklah meminjamkan uangnya kepada si A, kecuali atas dasar jaminan dari si C.
E. Al-Hawaalah
-
Pengertian
Yang dimaksud dengan al-hawaalah adalah memindahkan utang dari orang yang mengalihkan utang kepada orang yang dialihkan utang, karena orang yang memindahkan utang tersebut memiliki piutang kepada orang yang dialihkan utang.
Misalnya, si A punya utang kepada si B sebesar Rp 5 juta dan si C memiliki utang Rp 5 juta kepada si A, dengan kata lain si A memiliki piutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Kemudian si A mengalihkan utangnya kepada si C, sehingga yang bertanggung jawab membayar utang Rp 5 juta tersebut kepada si B adalah si C, karena utang si A telah dialihkan kepada si C. Inilah yang dinamakan dengan al-hawalah.
-
Hukum
Hukum al-hawalah (pengalihan utang) ini diperbolehkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ ، وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ
“Menunda pembayaran utang untuk orang yang kaya (memiliki pembayarannya) adalah suatu kezaliman. Barang siapa yang diikutkan/dialihkan kepada orang yang mampu membayar maka dia harus mengikutinya.”6
Dan banyak ulama mengatakan bahwa hukumnya boleh berdasarkan ijma’.
Dengan dibolehkannya al-hawalah maka ini memudahkan pihak-pihak yang memiliki utang-piutang untuk menyelesaikan utangnya.
-
Syarat-syarat al-hawalah
Dipersyaratkan untuk sahnya al-hawalah syarat-syarat sebagai berikut:
a. Utang orang yang dialihkan utang kepadanya haruslah mustaqirr (tetap), maksudnya tidak berpotensi untuk batal utangnya, seperti: utang pembeli kepada penjual yang masih dalam masa khiyar, maka ini tidak sah menjadi al-hawalah, karena penjual atau pembeli masih bisa membatalkan jual-beli sehingga pembeli tidak lagi berutang kepada penjual dan contoh yang lain adalah utang bapak kepada anaknya, maka yang seperti ini tidak bisa dilakukan al-hawalah, karena utang bapak kepada anaknya bisa saja lunas jika bapaknya menginginkannya, karena harta anak adalah harta bapaknya.
b. Utang dan piutang yang dialihkan harus sama jenisnya, sama jumlahnya, sama waktu pembayarannya.
– Sama jenisnya maksudnya adalah pada jenis utangnya, seperti: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, dolar dengan dolar dan semisalnya.
– Sama jumlahnya maksudnya adalah jumlah utang yang dialihkan sama besar, contohnya Rp 3 juta dengan Rp 3 juta, 6 gram emas dengan 6 gram emas dan tidak boleh ada perbedaan di dalam pengalihannya.
Apabila jumlah utang yang dimiliki oleh si A kepada si B lebih besar dari piutang si A kepada si C, maka yang boleh dialihkan adalah utang si A kepada si B sejumlah piutang si A kepada si C saja, adapun kekurangan utang A kepada si B tetap menjadi utang si A untuk membayarnya.
Begitu pula jika piutang si A kepada si C lebih besar daripada utang si A ke si B, maka si C membayar seluruh utang si A ke si B dan sisa piutang si A kepada si C tetap harus dibayar oleh si C kepada si A.
– Sama waktu pembayarannya maksudnya adalah habis tempo pembayaran utang-piutangnya sama, misalkan setelah satu bulan. Apabila berbeda maka tidak sah, seperti utang si A kepada si B jatuh temponya setelah 1 bulan dan piutang si A kepada si C jatuh temponya setelah 2 bulan, maka ini tidak sah. Akan tetapi, jika uang si C kepada si A jatuh temponya lebih cepat daripada jatuh tempo utang A kepada si B, maka hal tersebut tidak mengapa, karena si B akan menerima pembayaran utang tersebut lebih cepat dari yang disepakati dengan si A.
d. Disyaratkan dalam pengalihan hanya ridha dari orang yang mengalihkan utang kepada piutangnya dan tidak dipersyaratkan ridha dari orang yang dialihkan utangnya kepadanya. Begitu pula tidak dipersyaratkan ridha dari orang yang piutangnya dialihkan kepada orang lain, karena Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ ، وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ
“Menunda pembayaran utang untuk orang yang kaya (memiliki pembayarannya) adalah suatu kezaliman. Barang siapa yang diikutkan/dialihkan kepada orang yang mampu membayar maka dia harus mengikutinya.”7
Jadi orang yang dialihkan piutangnya kepada orang lain harus menerima hal tersebut, apabila orang yang akan membayar piutangnya adalah orang yang maliy (mampu membayar utang pada waktunya). Dan al-maliy yaitu orang yang dialihkan utang kepadanya haruslah orang yang mampu dan bukan orang yang terkenal suka mengundur pembayaran utang. Jika dia terkenal suka mengundur pembayaran utang atau bahkan suka tidak membayar utang, maka yang dialihkan piutangnya boleh menolaknya.
Apabila telah terpenuhi syarat-syarat di atas, maka orang yang dialihkan piutangnya tidak lagi menuntut utang kepada orang yang mengalihkannya, tetapi dia menuntut kepada orang yang telah dialihkan piutang kepadanya. Karena al-hawalah adalah cara pembayaran utang yang dianggap sah di dalam syariat, jika dia sah maka selesailah tanggung jawab orang yang berutang kepadanya dengan mengalihkannya kepada orang lain.
Permasalahan yang timbul antara orang yang memiliki piutang dengan orang yang telah dialihkan piutang kepadanya diselesaikan oleh mereka berdua dan tidak ada kewajiban bagi yang mengalihkan utang untuk bertanggung jawab.
Kecuali jika yang mengalihkan utang dengan sengaja mengalihkan kepada orang yang tidak suka membayar utang tepat pada waktunya atau bahkan tidak mau membayar utang, maka orang yang dialihkan piutangnya boleh menuntut kepada yang mengalihkannya.
III. PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang macam-macam akad yang bisa digunakan untuk menjadi jaminan dalam utang-piutang. Dan demikian kita bisa menarik kesimpulan sebagai berikut:
-
Akad-akad tautsiqah ada lima macam, yaitu:
-
Al-Kitabah (Pencatatan) dan Al-Isyhad (Persaksian)
-
Ar-Rahn (Pergadaian)
-
Al-Dhamaan (Penjaminan)
-
Al-Kafaalah (Penanggung jawab atas orang yang berutang)
-
Al-Hiwaalah (Pengalihan Utang kepada orang lain)
-
Pencatatan utang-piutang dan mendatangkan saksi dalam akad utang-piutang disyariatkan untuk menghindari berbagai macam perselisihan dalam akad utang-piutang.
-
Ar-Rahn adalah pergadaian dalam bahasa Indonesia, dan maksudnya adalah jaminan atas utang dengan menggunakan barang yang memungkinkan untuk membayar utang tersebut dengan barang tersebut atau dengan harganya (hasil penjualannya) jika ada udzur untuk membayar utang yang ditanggung oleh yang berutang.
-
Adh-Dhaman adalah mewajibkan diri untuk menanggung apa yang wajib dilakukan oleh orang lain, dengan tetapnya kewajiban tersebut pada diri orang lain tersebut dan menanggung apa yang mungkin menjadi wajib juga (bagi orang lain tersebut), seperti dia mengatakan, “Apa yang engkau berikan kepada dia, maka itu menjadi tanggunganku.”
-
Al-Kafalah adalah mewajibkan diri untuk bisa mendatangkan orang yang memiliki kewajiban harta kepada pemilik hak harta tersebut.
-
Al-Hawalah adalah memindahkan utang dari orang yang mengalihkan utang kepada orang yang dialihkan utang, karena orang yang memindahkan utang tersebut memiliki piutang kepada orang yang dialihkan utang.
Dan penulis menyarankan agar jika kita ingin melakukan transaksi utang-piutang di zaman sekarang ini, maka gunakanlah salah satu dari akad-akad penjamin di atas untuk mengurangi resiko buruk yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, karena kita tidak tahu niat-niat orang yang melakukan transaksi. Ada yang berniat baik untuk menyelesaikan utang dan ada juga yang tidak berniat sama sekali untuk membayar utang.
Demikian tulisan ini mudahan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
-
Al-Haawi Al-Kabiir. Abul-Hasan Al-Mawardi. Beirut: Darul-Fiqr.
-
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Wizaarah Al-Awqaaf Wasy-Syu-uun Al-Islamiyah. Kuwait: Darus-Salaasil.
-
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Al-Idaarah Al-’Aammah Limuraaja’ati Al-Mathbu’aat Ad-Diiniyah.
-
Al-Mulakhkhashaat Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah. ‘Imaad ‘Ali Jum’ah. Ar-Riyadh: Daar An-Nafaa-is.
-
Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘Ala Zaadil-Mustaqni’. Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
-
Manaarus-Sabiil Fi Syarhid-Daliil. Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhuwaiyaan. Tahqiiq: Zuhair Asy-Syaawiisy. Beirut: Al-Maktab Al-Islami.
-
Matn Bidayah Al-Mutafaqqih. Wahiid Abdussalaam Baali. Mesir: Dar Ibni Rajab.
-
Dan beberapa buku lainnya.
1 HR Al-Bukhari no. 2287 dan Muslim no. 2400 dari Abu Hurairah.
2 Al-Mulakhkhashat Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah hal. 81.
3 HR Al-Bukhari no. 2096 dan Muslim no. 1603.
4 HR At-Tirmidzi no. 1299 dan Ibnu Majah no. 2440. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah.
5 HR Ibnu Majah no. 2405. Shahih menurut Syaikh Al-Albani.
6 HR Al-Bukhari no. 2288 dan Muslim no. 1564.
7 HR Al-Bukhari no. 2288 dan Muslim no. 1564.
Leave a Reply