Adab-Adab Umum Berkaitan Dengan Utang Piutang – Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat an salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasulullah yang tertulis, Muhammad صلى الله عليه وسلم
Adab-adab umum yang harus ada dalam utang piutang demi terjaganya kepercayaan di antara dua belah pihak, yaitu:
1. Menulis utang piutang
Menulis utang piutang merupakan perintah Allah Ta’ala. Allah سبحانه وتعالى berfirman,
يأَيُهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوۤا۟ إِذَا تَدَاينتُم بِدَينٍ إِلَىٰۤ أَجَل مُّسَمّى فَٱكتُبُوهُۚ وَليَكتُب بَّينَكُم كَاتِبُۢ بِٱلعَدلِۚ وَلَا يأبَ كَاتِبٌ أَن يَكتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَليَكتُب وَليملِلِ ٱلَّذِی عَلَيهِ ٱلحَقُّ وَليَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يبخَس مِنهُ شَيئاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِی عَلَيهِ ٱلحَقُّ سَفِيهًا أَو ضَعِيفًا أَو لَا يستَطِعُ أَن يمِلَّ هُوَ فَليملِل وَلِيُّهُۥ بِٱلعَدلِۚ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentuka, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Rabb-Nya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun darinya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar…” (QS. Al-Baqarah: 282)
Utang piutang wajib dilakukan secara amanah dan dianjurkan agar tertulis secara rinci. Misalnya menulis nama yang berutang, nama yang berpiutang, jumlah utang, tanggal berutang, tanggal pelunasan, cara pelunasan, dan lain-lain. Demikian pula harus dibubuhkan tanda tangan orang yang berutang sehingga tidak terjadi penipuan dengan tujuan menghilangkan hak si pemilik harta. Yang penting dicatat adalah janji tanggal dan bulan dilunasi utang tersebut.
Sebagian orang merasa malu jika utang piutang dilakukan secara tertulis. Orang tersebut mengira bahwa hal itu menunjukan ketidak percayaan kepada pihak yang berutang, terutama jika kedua belah pihak memiliki hubungan kerabat dekat,tetangga, atau teman akrab. Opini seperti itu tidaklah benar. Sebab, ketika Al-Qur’an turun kepada kepada generasi Shahabat
رضي الله عنهم yang terdiri dari orang-orang pilihan dan generasi terbaik, saat itu telah diperintahkan kepada mereka untuk menulis setiap utang piutang yang dilakukan, sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas. Bahkan, perintah ini bersifat umum untuk seluruh kaum mukminin yang disebutkan dalam ayat, yakni orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, hendaklah orang-orang mukmin melaksanakan apa yang tertera dalam ayat tersebut walaupun hukumnya mustajab (anjuran). Sebenarnya utang piutang yang tertulis berfungsi untuk menjaga hak kedua belah pihak. Selain itu, untuk menjaga harta orang yang berpiutang apabila ia meninggal sebelum orang yang berutang melunasi utangnya, jika salah satu pihak lupa, atau seandainya muncul pengingkaran terhadap hutang, dan lain-lain.
Penulisan utang piutang juga dilakukan untuk menjaga nama baik orang yang berhutang dan menghindari dirinya dari tujuan tidak bertanggung jawab atau tidak memegang amanah. Selain itu, menjaga apabila orang yang berpiutang mengklaim jumlah yang lebih banyak daripada utang yang sebenarnya, atau ia meninggal dalam keadaan berhutang yang belum lunas, dan hal-hal yang lainnya.
Hendaknya pula orang yang berutang menulis hal-hal yang berkaitan dengan urutannya sebagaimana yang telah dibahas di atas. Sebab, terkadang orang yang berpiutang malu meminta agar utangnya ditulis, padahal ia menginginkannya, disebabkan kemungkinan karena orang yang berutang kerabat dekat, usianya lebih tua, atau orang yang terhormat. Maka hendaklah orang yang berutang sendirilah yang memintanya untuk menuliskan utang tersebut. Bahkan, terkadang seseorang enggan memberikan pinjaman karena ia tidak mendapatkan surat tertulis yang menjamin hanya berkaitan dengan hutan yang ia berikan.
Apabila utang itu dilakukan dengan cara cicilan, maka bagi yang berpiutang hendaknya untuk menuliskan setiap jumlah yang di cicil oleh yang berutang. Sesungguhnya yang demikian itu dapat menjaga hak masing-masing sebagaimana yang telah lalu. Demikianlah sikap adil yang harus dilakukan. Sebab, sebagaimana ia suka jika hanya terjaga, demikian juga orang lain suka jika hak mereka terjaga.
Apabila semua utang telah selesai dan lunas, orang yang berpiutang hendaknya mengembalikan surat utang tersebut atau merobek nya dihadapan orang yang berutang atau menuliskan pernyataan bahwa utang tersebut sudah lunas atau dengan cara lain tanpa harus dimintai oleh yang berutang. Terkadang orang yang berutang merasa malu meminta surat hutang yang pernah ia tulis sendiri. Apabila orang yang berpiutang tidak melakukan hal tersebut, makan ndak lah orang yang berhutang tidak merasa malu meminta surat utang tersebut demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahul musta’an.
2. Saksi
Diantara adab yang ditetapkan Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya dalam Al-Qur’an adalah firman-Nya,
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإلم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya…” (QS. Al-Baqarah: 282)
Ketika utang piutang dilakukan maka haruslah disaksikan oleh dua orang yang adil dan dapat dipercaya karena hal itu lebih menguatkan penulisannya. Selain itu, disertai pula dengan membuburkan tanda tangan saksi-saksi yang ada. Hal ini juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya penukaran atau perubahan tulisan sebenarnya yang mungkin saja dilakukan oleh salah satu dari kedua belah pihak. Jika ternyata tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh disaksikan oleh satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Sebab, persaksian dua orang wanita. Wallaahu a’lam.
3. Membuat jaminan atas pinjaman
Cinta dan sayang terhadap harta kekayaan merupakan tabi’at dan karakteristik manusia, walaupun perasaan manusia tidak sama antara satu orang dengan yang lainnya, tergantung kepada iman,harapan, dan angan-angan setiap orang.
Allah سبحانه و تعالى berfirman,
وتحبون المال حبا جما
Artinya: “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)
وإنه لحب الخير لشديد
Artinya: “Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.”(QS. Al-‘Aadiyat: 8)
Oleh karena itu, ketika Allah memerintahkan untuk mencatat dan Allah juga menetapkan adanya jaminan. Allah سبحانه وتعالى berfirman :
وإن كنتم على سفر ولم تجدو كاتبا فرهان مقبوضة
Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. (QS. Al-Baqarah: 283)
Disebutkan dalam As-sunnah bahwa cara ini tidak hanya terbatas dalam perjalanan (safar) saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah رضي الله عنها ,
أن النبي صلى الله عليه وسلم اشترى طعاما من يهودي إلى أجل ورهنه درعا من حديد
Artinya: “Bahwa nabi membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara berutang yang akan dibayar pada waktu mendatang, dan beliau menjadikan baju besinya sebagai jaminan. (Shahih: HR. al-Bukhari (no.2068,2200,2251,2252), muslim (no. 1603), an-Nasa’i (VII/303), Ibnu Majah (no. 2436), Ahmad (VI/42,160,230), Ibnul Jarud (no.664), dan al-Baihaqi (VI/36).
Sistem ini juga dinamakan ar-rahn (sistem gadai), yakni orang yang berhutang menggadaikan suatu barang sebagai jaminan. Jika utang sudah jatuh tempo dan belum bisa dilunasi, maka barang jaminan tersebut dijual untuk melunasi utangnya. Apabila nilainya melebihi jumlah utangnya, maka kelebihan uangnya dikembalikan kepada orang yang berhutang dan apabila nilainya kurang, maka orang yang berhutang harus membayar kekurangannya.
REFERENSI:
Diringkas oleh : Dewi Sartika pengajar di ponpes darul Qur’an wal hadits Ogan Komering ulu timur sumsel
Judul : Adab-adab umum berkaitan dengan utang piutang
Judul Buku : Ruh seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga dilunasi
Edisi: ke-7 Jumadil akhir 1439 H / Februari 2018
Karya: Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Penerbit: Pustaka At-Taqwa PO. Box 264-At-Taqwa, Bogor 16001 Jawa barat- Indonesia
BACA JUGA :

Ajukan Pertanyaan atau Komentar