Hukum Arisan Dalam Islam

hukum arisan dalam islam

Hukum Arisan Dalam Islam – Arisan sangat masyhur di bumi Indonesia. Baik di kampung maupun di kota, dilakukan oleh berbagai elemen yang ada di masyarakat. Apakah sebenarnya arisan itu? Bagaimana hukumnya dalam pandangan syariat?

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebut kan, bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi di antara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hal. 57)

Ini sama dengan pengertian yang disampaikan ulama dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni.

Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para ulama sebagai kesepakatan sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan oleh yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya, kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan -sesuai dengan kesepakatan mereka-. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang sebelumnya. Terkadang arisan ini berlangsung satu putaran, dua putaran, atau lebih tergantung pada keinginan anggota.

Hakikat Arisan

Hakikat arisan ini, yaitu setiap orang dari anggotanya mengutangkan uang kepada anggota yang sudah menerimanya dan berutang kepada yang belum menerimanya, kecuali orang yang pertama

mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berutang terus setelah mendapatkan arisan. Juga orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi utang kepada anggota lainnya.

Adapun yang berhak mendapatkannya, biasanya ada yang menggunakan cara diurutkan sesuai nama para anggotanya, ada juga yang menggunakan cara diundi atau cara lainnya.

Hukum Asal Muamalah

Dari gambaran di atas maka arisan adalah salah satu bentuk muamalah kontemporer

antara sesama yang dilakukan dalam bentuk undian. Maka hukum asalnya adalah hukum muamalah, yaitu halal, sebagaimana kaidah fikih yang masyhur:

الْأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ وَالْمُعَامَلَاتِ الْحِلُ وَالْجَوَازُ

Terjemahannya: “Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmu al-Fatawa (29/18) berkata, “Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali bila ada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang pengharamannya.” Adapun cara undian yang diterapkan untuk menentukan yang berhak, maka hukum asalnya juga diperbolehkan jika terpenuhi syaratnya, sebagaimana kaidah fikih:

تُشْرَعُ الْقُرْعَةُ إِذَا جُهِلَ الْمُسْتَحِقُ وَتَعَذَّرَتْ الْقِسْمَةُ

Terjemahannya: “Disyariatkan mengundi jika tidak ketahuan yang berhak serta tidak bisa dibagi.”

Hal ini didasari beberapa dalil, di antaranya hadits riwayat Aisyah yang mengatakan:

أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا

Artinya: “Apabila Rasulullah ingin melakukan safar maka beliau mengundi istri-istri beliau, yang keluar undiannya maka beliau safar bersamanya.” (HR. al-Bukhari)

Juga diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain,

أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالُ غَيْرَهُمْ فَدَعَا بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَزَّأَهُمْ أَثْلَاثًا ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً

Artinya: “Bahwasanya ada seseorang yang memerdekakan enam budaknya saat dia menjelang meninggal dunia, dan dia tidak memiliki harta kecuali keenam budaknya tersebut. Maka Rasulullah memanggil mereka, lalu beliau membagi mereka menjadi tiga bagian, kemudian beliau mengundi, akhirnya beliau memerdekakan dua dan yang empat tetap menjadi budak.” (HR. Muslim)

Hukum Arisan

Meski hukum asal muamalah adalah boleh, namun karena beberapa sisi pandang lainnya para ulama berselisih pendapat tentang hukum arisan. Secara umum ada dua pendapat ulama dalam menghukumi arisan.

Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah al- Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (Mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdur- rahman al-Barak. Dalil mereka adalah:

  1. Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad utang bersyarat, yaitu mengutangkan dengan syarat diberi utang juga dari peserta lainnya. Ini adalah utang yang membawa keuntungan. Padahal para ulama sepakat, bahwa semua utang yang memberikan manfaat maka itu adalah haram dan riba, seperti dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’, halaman 120, dan Ibnu Qudamah
  2. Utang yang disyariatkan adalah mengutangi dengan tujuan mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berutang. Oleh karena itu, orang yang mengutangi dilarang menjadikan utang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang berutang.
  3. Dalam arisan, ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi, seperti dua jual beli dalam satu transaksi (al-bai’atain fi al-bai’ah) yang dilarang oleh Rasulullah dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

نَهَى النَّبِيُّ صل الله عليه وسلَّم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Artinya: “Nabi melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR. Ahmad dan dihasankan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 5/149)

Syaikh Shalih al-Fauzan dalam fatwanya berkata, “Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan), dan perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan adalah haram.

Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada salah satu pihak (pemberi utang), melainkan pada kedua belah pihak. Ustadz Ahmad Sabiq, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan). Dalilnya adalah sabda Nabi,

كُلَّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Artinya: “Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.” (Asna al-Mathalib hal. 240, al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hal. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hal. 124)

Seluruh ulama telah sepakat atas makna yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi melarang adanya dua akad dalam satu akad. Wallahu a’lam.”

Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-Hafizh Abu Zur’ah al-‘Iraqi (wafat 826 H)

(sebagaimana tertera dalam Hasyiyah al-Qalyubi 2/258 ) , fatwa mayoritas anggota Dewan Majelis Ulama Besar (Hai’ah Kibar al-‘Ulama’) Saudi Arabia, di antara mereka Syaikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baz (Mufti Saudi Arabia terdahulu), Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin.

Hujjah mereka adalah:

  1. Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena itu adalah utang yang membantu meringankan orang yang berutang. Orang yang berutang dapat memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia mengembalikannya sesuai dengan jumlah uang yang diambilnya tanpa ada penambahan dan pengurangan. Inilah hakikat utang (al-qardh al- mu’tad) yang sudah diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para ulama. Arisan adalah salah satu bentuk utang. Utang dalam arisan serupa dengan utang-utang biasa, hanya saja dalam arisan berkumpul padanya utang dan mengutangkan (piutang) serta pemanfaatan lebih dari seorang. Namun kondisi ini tidak menyebabkan dia terlepas dari hakikat dan penamaan utang.
  2. Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah

halal. Semua transaksi yang tidak ada dalil syariat yang mengharamkannya adalah diperbolehkan. Anggap saja arisan ini tidak termasuk jenis utang, maka ia tetap pada hukum asalnya, yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang melarangnya.

  1. Arisan berisi unsur kerja sama, tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, karena ia

adalah salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang butuh dan menolong mereka untukmenjauhi muamalah terlarang. Firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (menger jakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Ma’idah: 2)

  1. Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak

mengurangi sedikit pun harta orang yang meminjam uang, dan kadang orang yang meminjam mendapatkan manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang lainnya. Sehingga maslahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh peserta arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau mendapatkan tambahan manfaat pada pemberi utangan yang menjadi tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan mengharamkan kemaslahatan yang tidak berisi kemadharatan.

Insya Allah pendapat yang lebih kuat, bahwa hukum asal arisan itu boleh. Adapun yang dikatakan oleh pendapat pertama, maka bisa didudukkan, bahwa arisan bukan utang yang membawa manfaat duniawi, karena masing-masing anggota mendapatkan yang sama dengan lainnya.

Adapun alasan kedua mereka, yaitu dua akad dalam satu akad, maka juga kurang pas bila diterapkan dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berfatwa dalam Syarh Bulughil Maram, “Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap bulan (untuk di kumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka. Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?

Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan uang lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata, ‘Bukankah disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)?’membelain 2

Kami jawab, bahwa hal itu bukan syarat adanya akad lain, tetapi semata-mata syarat agar utang itu dilunasi. Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lain dengan syarat ia mengembalikan uang itu kepadanya senilai itu juga, tidak lebih.

Berdasarkan keterangan ini, pendapat bahwa arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/ riba adalah anggapan yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang senilai seribu dengan syarat

  1. Harus yakin bisa membayar arisannya tersebut. Jangan sampai karena semangat ikut arisan, malah akan membebani hidupnya karena tak mampu membayarnya. Rasulullah mengajar kan kita dia agar terhindar dari utang. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

Artinya: “Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berutang.” Tatkala beliau ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau sering berlindung dari utang?” Beliau menjawab:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

Artinya: “Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya.” (HR. al- Bukhari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

  1. Sistem arisan yang diikutinya tidak terdapat pelanggaran syar’i. Karena di zaman sekarang banyak sekali istilah halal tetapi mengandung keharaman. Contohnya, apa yang diistilahkan oleh sebagian kalangan dengan arisan berantai atau Program Investasi Bersama. Yang dimaksud arisan berantai atau sering juga disebut dengan Program Investasi Bersama adalah setiap peser ta harus mengirim uang dalam jumlah tertentu, umpamanya Rp. 20.000, kepada 4 anggota ari san lain yang sudah ditentukan. Gambaran cara kerjanya sebagai berikut:
  2. Peserta mengirim uang ke 4 orang anggota.
  3. Mengubah isi surat dengan cara memasukkan nama dirinya pada urutan paling bawah dan menaikkan urutan peserta sebelumnya satu tingkat sehingga peserta pada urutan pertama yang dikirimi uang keluar dari daftar urutan calon penerima uang.

 

Referensi :

Dibuat oleh : Ustadz Abdullah Umar Said

Majalah As-Sunnah

Dibuat ulang oleh : Khoirunnisa

Tanggal : 24 april 2024

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.