SEORANG MUFTI MEMPERHATIKAN KEADAAN-KEADAAN ORANG SEBISA MUNGKIN
(KAIDAH YANG KESEBELAS)
Seorang mufti memperhatikan keadaan-keadaan manusia sebisa mungkin. Hal itu dilakukan dengan menunjukkan rasa senang terhadap orang-orang, berlapang dada, mendengarkan permasalahan dan kesulitan mereka dengan jiwa yang baik dan lapang. Karena cara ini menyebabkan orang-orang suka dan senang dengan ulama tersebut dan dapat menerima fatwanya. Berbeda dengan orang yang membuat lari, gelisah dan malas, maka ini dapat membuat mereka menjauhi ulama dan ilmunya.
Allah ta’ala berfirman:
{ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ }[آل عمران: ١٥٩]
Artinya: “Jika engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ‘imran : 159)
Dan di dalam hadis:
((أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ))
Artinya: “Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”[1]
Hakim bin Hizam berkata, “Saya tidak pernah mendapatkan pagi hari dan tidak ada orang yang memiliki hajat di pintuku, kecuali saya mengetahui bahwa itu merupakan musibah yang saya minta kepada Allah agar mendapatkan pahala dengannya.”[2]
MEMPERHATIKAN APA-APA YANG BELUM TERJADI DAN PERKATAAN-PERKATAAN ULAMA DALAM MENTAHZIR PERTANYAAN TENTANG SESUATU YANG BELUM TEJADI
(KAIDAH KEDUA BELAS)
Seorang mufti wajib memperhatikan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepadanya, apakah permasalahan itu sudah terjadi ataukah belum terjadi? Seorang yang bertanya (terkadang) hanya menanyakan tentang hukum permasalahan tersebut pada masa yang akan datang. Contoh-contoh hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Barang siapa yang membangun di tanah suatu kaum yang dia menyangka bahwa tanah itu adalah tanahnya, maka hukumnya bukanlah seperti orang yang mencuri tanah di awal perkaranya.[3]
- Pendapat yang mengatakan najisnya atau sucinya mani.[4] Orang yang berpendapat kenajisannya harus memperhatikan perbedaan pendapat ini jika si penanya shalat dalam keadaan ada mani di bajunya.
Yang menunjukkan kaidah ini adalah hadis:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, بَاطِلٌ, بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا
Artinya: “Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, batil, batil. Apabila lakinya menggauilinya maka dia berhak mendapatkan mahar sesuai dengan apa yang didapat darinya.”[5]
Hadis ini terdapat pembenaran sesuatu yang terlarang pada satu sisi. Oleh karena itu, padanya terdapat warisan, tetap adanya nasab untuk si anak, dan diharamkan mushaharah. Ini menunjukkan bahwa pada beberapa bagian hal tersebut disahkan. Ini semua melihat kepada apa-apa yang terjadi setelah terlaksananya hukum kemudian dihapuskan atau dibatalkan yang membawanya kepada mafsadat yang menyamai mafsadat yang ditimbulkan dari larangan tersebut atau justru melebihinya.
WAJIB BAGI SEORANG YANG AWAM UNTUK BERTANYA DAN MEMINTA FATWA KEPADA ULAMA TENTANG HAL YANG MENJADI MASALAH BAGINYA
(KAIDAH KETIGA BELAS)
Wajib bagi seorang yang awam untuk bertanya dan meminta fatwa kepada ulama. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) [النحل: ٤٣]
Artinya: “Bertanyalah kepada ahli zikir (orang yang mengetahui) jika kalian tidak mengetahui.” (QS An-Nahl : 43)
Akan tetapi, kepada siapakah orang awam harus meminta fatwa? Terdapat dua pendapat ahli ilmu, yaitu:
- Dikatakan, dia boleh meminta fatwa kepada siapa saja yang dia kenal sebagai seorang ulama yang adil, atau dia melihatnya sebagai seorang yang bekerja sebagai mufti dan pengajar serta dia sangat dibesarkan oleh orang-orang, karena hal tersebut menunjukkan atas keberilmuannya dan bahwasanya dia ahli dalam berfatwa.
- Ini adalah pendapat yang shahih (benar) menurut Ibnu Taimiah dan Ibnush-Shalah dan juga dirajihkan oleh An-Nawawi bahwa dia tidak boleh meminta fatwa kepada orang yang menisbatkan diri kepada ilmu, walaupun dia itu bekerja di bagian pengajaran atau selainnya. Akan tetapi, dia boleh meminta fatwa kepada orang yang telah sangat terkenal di antara manusia bahwa mereka meminta fatwa kepadanya dan dia ahli dalam berfatwa.[6]
Oleh karena itu, banyak di antara ahli ushul manyatakan, menurut pendapat yang banyak, bahwa waliyul-amr (pemerintah) harus melarang orang yang tidak dikenal sebagai orang yang berilmu atau orang tidak diketahui keadaannya dalam berfatwa.[7] Bahkan, Rabi’ah (sampai) berkata, “Sebagian orang yang berfatwa lebih berhak untuk dipenjara daripada para pencuri.”[8]
MENJAMIN KESELAMATAN DAN KETERJAGAAN FATWA DARI PENYIMPANGAN TAKWILNYA DAN DARI MENGIKUTI HAWA
(KAIDAH KEEMPAT BELAS)
Kaidah ini berisi hal-hal sebagai berikut:
- Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan memberi fatwa kepada musuh. Dikatakan bahwa hal tersebut dibolehkan dan dibenarkan. Sebagian yang lain membatasinya dengan apabila permusuhannya antara keduanya belum terlalu kuat. Dikatakan juga bahwa hal tersebut tidak dibolehkan dan tidak dibenarkan, seperti persaksian dan hukum.
- Tidak mengeluarkan fatwa dalam keadaan marah atau sejenisnya, sangat lapar dan haus, sakit dan dingin yang menyakitkan, panas yang mengganggu, atau dalam keadaan menahan buang air besar dan kecil, hal ini diharamkan berdasarkan pendapat yang shahih (benar). Ini seperti memutuskan peradilan (di mahkamah). Dan beramal dengannya jika itu benar.
- Seorang ulama harus mengulang-ulang pandangan keilmiahannya dengan pengertian yang luas dengan adanya pengulangan peristiwa dan kejadian terkini, karena ini memungkinkan terjadinya perubahan ijtihad ketika mengulang-ulang pandangannya. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Menurut sebagian ulama yang lainnya, hal itu tidak diharuskan, karena ‘asalnya adalah tetapnya sesuatu pada sesuatu yang awal’ dan tidak berubah-ubah. Berdasarkan pendapat ini apakah seorang yang meminta fatwa harus mengulang-ulangi soalnya ketika peristiwa yang berulang-ulang? Berdasarkan pendapat kebanyakan para ulama, maka (jawabannya adalah) Ya. Karena dia tidak yakin kalau mufti tersebut akan tetap di dalam ijtihadnya (yang dulu) dan mungkin dia meralatnya.
An-Nawawi, Ibnush-Shalah dan lainnya berpendapat ketidakharusannya. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Yang dikhilafkan (yang dijadikan perbedaan pendapat) adalah jika seorang yang meminta fatwa mengetahui bahwa jawaban mufti berdasarkan atas pendapatnya, qiyas atau keragua-raguan pada fatwanya. Apabila yang meminta fatwa tahu bahwa jawaban mufti berdasarkan nas dan ijma’ maka tidak ada keperluan baginya untuk mengulang pertanyaannya yang kedua kalinya.[9]
Sampai sinilah akhir dari apa-apa yang ingin saya kumpulkan yang berupa kaidah-kaidah dan dhabith-dhabit fatwa syariah serta perkataan-perkataan para ulama di dalamnya.
Saya memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar menjadikan ini sebagai amalan yang ikhlas yang hanya mengharapkan wajahnya yang karim dan agar orang yang membacanya mendapatkan manfaat. Dan Dia-lah yang Maha menguasai dan mampu untuk itu.
Salawat dan salam yang banyak mudahan tercurah kepada Nabi kita, Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Diterjemahkan oleh:
Said Yai Ardiansyah dari kitab ‘Al-Ushuul Al-‘Aammah wa Al-Qawaa’id Al-Jaami’ah lil-Fataawa Asy-Syar’iyah’ karya Syaikh DR. Husain Bin Abdil-‘Aziz Alu Syaikh. Penerbit: Daarut-tauhiid linnasyr. KSA. Cetakan pertama: 1426 H./2005 M.
[1] Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari hadis Ibnu ‘Umar dengan lafaz, “Bahwasanya seseorang mendatangi Rasululah shallallahu ‘alahi wa sallam. Kemudian dia bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai oleh Allah? Dan Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun menjawab, ‘Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat di antara mereka. Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam seorang muslim, engkau menghilangkan kesusahan dari dirinya, engkau membayarkan hutangnya, atau engkau menghilangkan kelaparan darinya. Berjalan bersama saudaraku untuk suatu keperluan, lebih saya sukai daripada ber-i’tikaf di masjid ini –yaitu masjid nabawi- selama sebulan. Barang siapa yang menahan marahnya, maka Allah akan menutupi auratnya. Barang siapa yang mengekang marahnya, walaupun sebenarnya dia mampu untuk melampiaskan, maka Allah ‘azza wa jalla akan mengisi hatinya dengan keamanan pada hari kiamat. Barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk suatu keperluan sampai saudaranya mendapatkannya, maka Allah akan menetapkan kakinya di atas Ash-Shirat (jembatan) di hari banyak orang-orang terpeleset padanya.” Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13646 (12/453), Al-Mu’jam Al-Ausath no. 6026 (6/139-140), Al-Mu’jam Ash-Shaghir no. 861 hal. 106, dan di Al-Ausath juga dari hadis Jabir no. 5787 (6/58), dengan lafaz, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia.” Dan juga Al-Qadha’i di Musnad Asy-Syihab no. 129 (1/108), dan no. 771 (2/223), Ibnu Hajar di Al-Mathalib Al-‘Aliah no. 982 (5/713), dan disebutkan oleh Al-Haitsami di Majma’ Az-Zawaid (8//191), dan dihasankan oleh Al-Albani di Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906 (2/573), dan no. 426 (1/787), dan di Shahihul-Jami’ no. 4289 dan di Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623.
[2] Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ milik Adz-Dzahabi (3/51).
[3] Lihat Al-Inshaf milik Al-Mawardi (6/135), Manarus-sabil (1/403), As-Sunan Al-Kubra milik Al-Baihaqi no. 11268-11270 (6/91), dan Al-Kharraj milik Yahya bin Adam Al-Qurasyi no. 298-300 hal. 114.
[4] Lihat Al-Ausath milik Ibnul-Mundzir (2/157-162), Al-Mughni milik Ibnu Qudamah (1/416-417), Al-Majmu’ milik An-Nawawi (2/525), Fathul-Bari milik Ibnu Hajar (1/272 dan 333) dan (10/71), Syarh Az-Zarqawi ‘ala Al-Muwaththa’ (1/148) dan Tuhfatul-Ahwadzi milikAl-Mubarakfuri (1/317).
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadis ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di Kitab An-Nikah, bab Al-Waliyu no. 2083 (2/229), At-Tirmidzi di Kitab An-Nikah, bab Ma jaa la nikaha illa biwaliy no. 1102 (3/307), Ibnu Majah di Kitab An-Nikah, bab La nikaha illa biwaliy no. 1879 (1/605), Ahmad (6/47, 66, 165) dan Ad-Darimi no. 2184 (2/185), Ibnu Hibban no. 4074 (9/384), Ibnul-Jarud no. 700 hal. 289, Asy-Syafii di Musnad-nya hal. 220 dan 275, Ibnu Abi Syaibah no. 15919 (3/454), dan no. 36117 (7/284), Abdur-Razzaq no. 10472 (6/195), Ad-Daruquthni no. 2 (1/84), dan no. 10-11 (3/221), Aththayalisi no. 1463 hal. 206, Sa’id bin Manshur no. 528 (1/175), Al-Hakim no. 2706 (2/182) dan no. 2709 (2/183), dan di-shahih-kan olehnya. Al-Baihaqi di As-Sunan Al-Kubra no. 13376 (7/1055), no. 13490 (7/124), no. 13569 (7/138), no. 13032 (7/219), dan no. 20313 (10/138), Abu Ya’la no. 4682 /139, no. 4750 (8/191), dan 4837 (8/251), Ath-Thabrani di Al-Ausath no. 6352 (6/260), Al-Haitsami di Mawarid Adzh-dzham’an no. 1248 (1/305), dan Diriwayatkan di Al-Kabir dari hadis Ibnu ‘Abbas no. 11494 (11/202), dan di Al-Ausath juga no. 873 (1/268), dan di-shahih-kan oleh Al-Albani di Shahih Sunan Abi Dawud no. 2083 (2/229), dan di Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1102 (3/405), dan Shahih Sunan Ibni Majah no. 1879 (1/605).
[6] Lihat Adabul-Fatwa milik An-Nawawi hal. 72, Fatawa Ibnish-Shalah hal. 86, Al-Muswaddah milik ibnu Taimiah hal. 13, dan hal. 465, Adabul-Mufti Wal-Mustafti milik Asy-Syuhrazuwi hal. 157, Al-Fatwa fil-Islam milik Al-Qasimi hal. 103.
[7] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil-Islam Ibni Taimiah (21/336), Al-Furu’ milik ibnu Muflih (6/377), I’lamul-Muwaqqi’in milik ibnul-Qayyim (4/217).
[8] Lihat Al-Muwafaqat milik Asy-Syathibi (4/174-175), Al-I’thisham (2/173), Shifatul-Fatwa milik Ahmad bin Hamdan An-Namri Al-Harrani hal 11, Adabu-Mufti wal-mustafti milik Asy-Syuhrazuwi hal. 85, Fatawa Ibnish-Shalah hal. 20, I’lamul-Muwaqqi’in milik Ibnul-Qayyim (4/207), Al-Kawakib An-Nairat milik muhammad bin Ahmad Abul-Barakat Adz-Dzahabi Asy-Syafii (meninggal tahun 929 H.) hal. 21.
[9] Lihat I’lamul-Muwaqqi’in (4/261), Raudhatuth-Thalibin milik An-Nawawi (11/104), dan Al-Bahr Ar-Ra’iq milik Ibnu Nujaim (6/291).
Baca juga artikel:
Leave a Reply