
Hukum Seputar Memberi Nama Anak – Para pembaca yang budiman. Anak adalah salah satu aset terpenting yang Allah karuniakan kepada pasangan suami istri. Dengan kehadirannyalah terasa indah dan nikmatnya hidup yang Allah berikan kepada kita. Dengannya pulalah bertambah nikmat Allah yang harus kita syukuri setiap saatnya. Pun dengan kehadirannya juga, setiap pasangan dituntut untuk mengetahui cara-cara dalam merawat, menjaga dan mendidik seorang anak.
Artikel sebelumnya kita telah membahas mengenai hukum seputar memberi nama anak dan terhenti di sub bab memberi nama yang makruh. Pada artikel kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan dari buku Tuhfathul Maudud bi ahkamil maulud, insyaallah.
- Menamai dengan nama-nama syaithan
Di antara nama yang dimakruhkan adalah memberi nama dengan nama-nama syaithan, seperti Khinzib, al-Walahan, al-A’war, dan al-Ajda.
Asy-Sya’bi dari Masruq, ia menuturkan, “Suatu hari aku bertemu dengan Umar bin Al-Khaththab -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, ‘Siapa namamu?’ ‘Masruq bin al-Ajda.’ Jawabku. Mendengar namaku, Umar -semoga Allah meridhainya- pun berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
الأجدع شيطان
“Al-Ajda itu adalah (nama) syaithan.”’[1]
Dalam Sunan Ibnu Majah dan dalam tambahan-tambahan Abdullah dalam Musnah ayahnya dari hadits Ubay bin Ka’ab -semoga Allah meridhainya- dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
إن للوضوء شيطانا يقال له الولهان فاتقوا وسواس الماء
Artinya: “Sesungguhnya pada penggunaan air wudhu terdapat syaithan yang bernama al-Walhan, maka takutlah dari perasaan was-was yang ada pada air tersebut.”[2]
Dikisahkan bahwasanya Utsman bin Abi al-Ash pernah mengadu kepada Nabi ﷺ tentang perasaan was-wasnya ketika shalat, maka beliau menjawab,
ذاك شيطان يقال له خنزب
Artinya: “Itulah syaithan yang bernama Khinzib.”[3]
Abu Bakar bin Abi Syaibah menyebutkan sebuah hadits: Humaid bin Abdurrahman meriwayatkan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya ia menuturkan, “Ada seseorang laki-laki bernama al-Hibab, lalu Rasulullah ﷺ mengganti namanya menjadi Abdullah, seraya berkata, “al-Hibab itu adalah nam Syaithan.”’[4]
- Menamai dengan nama-nama penguasa zhalim
Nama-nama lain yang dimakruhkan adalah nama-nama raja yang kejam dan penguasa-penguasa zhalim, seperti Firaun, Qarun, Haman, dan al-Walid.
Terkait hal ini, Abdurrazaq dalam kitabnya al-Jami’ berkata: “Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, ia menceritakan, “Ada seseorang laki-laki yang ingin memberi nama anaknya dengan nama al-Walid. Mendengar ini, Rasulullah ﷺ pun melarangnya, seraya bersabda:
إنه سيكون رجل يقال له الوليد, يعمل في أمتي بعمل فرعون في قومه
Artinya; “Kelak akan ada seorang laki-laki yang bernama al-Walid. Ia akan memperkakukan umatku seperti perlakuan Firaun atas kaumnya.”’[5]
- Menamai dengan nama-nama malaikat
Termasuk nama yang dimakruhkan yaitu nama para Malaikat; Jibril, Mikail, dan Israfil. Penamaan manusia dengan nama-nama tersebut adalah makruh. Asyhab pernah menuturkan: “Ketika Imam Maluk ditanya tentang pemberian nama dengan nama Jibril, beliau -semoga Allah merahmatinya- tidak menyukainya dan tidak kagum dengannya.
Al-Qadhi Iyadh menjelaskan, “Sebagian ulama tidak menyukai penamaan dengan nama-nama para malaikat. Inilah pendapat yang diungkapkan oleh al-Harits bin Miskin.” Imam Malik, lanjut al-Qadhi bin Iyyad, tidak menyukai penamaan Jibril dan Yasin, sedangkan ulama lain membolehkan.
Al-Bukhari dalam Tarikhnya menuturkan, “Ahmad bin Al-Harits berkata, ‘Abu Qatadah asy-Syami berkata meriwayatkan kepada kami,
صحبني رجل من مزينة فأتى النبي صلى الله عليه وسلم وأنا معه فقال : يا رسول الله ، ولد لي مولود فما خير الأسماء؟ قال : إن خير الأسماء لكم الحارث وهمام ، ونعم الاسم عبد الله وعبد الرحمن ، وتسموا بأسماء الأنبياء ، ولا تسموا بأسماء الملائكة . قال : وباسمك ؟ قال : وباسمي، ولا تكنوا بكنيتي
Artinya: “Aku bersama seorang laki-laki dari Muzainah menghada Nabi ﷺ lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, aku dikaruniai seorang anak, apakah nama yang baik? Lalu beliau ﷺ bersaba, ‘Sesungguhnya sebaik-baik nama bagimu adalah al-Harits dan Himam, sedangkan seindah-indah nama adalah Abdullah dan Abdurrahman. Berilah nama anak-anakmu dengan nama para Nabi, janganlah kamu memberi nama dengan nama-nama malaikat.,”[6]
- Menamai dengan nama-nama yang tidak enak
Selain nama-nama yang disebutkan di atas, juga dimakruhkan yaitu nama-nama yang maknanya tidak disukai oleh jiwa manusia dan dirasa tidak enak di hati, seperti Harb (perang), Murrah (pahit), Kalb (anjing), Hayyah (ular), dan yang semisalnya. Riwayat tentang hal ini telah dikemukakan di atas, yaitu sebuah atsar (riwayat) yang disebutkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa’ sebagai berikut:
Suatu ketika, Rasulullah pernah bertanya kepada Laghah (tukang mengawinkan hewan ternak): “Siapakah yang mau memerah susu unta ini?” Lalu seorang laki-laki berdiri, Rasulullah bertanya: “Siapa namamu?” “Murrah (artinya: pahit)”, jawab laki-laki itu. “Duduklah!” Perintah beliau. Kemudian beliau bertanya lagi kepada mereka: “Siapa yang mau memerah susu unta ini?” Lalu seorang laki-laki lainnya berdiri. “Siapa namamu?” tanya Rasulullah ﷺ. Ia menjawab: “Harb (artinya: perang),” Rasulullah ﷺ memerintahkannya: “Duduklah kamu!” Kemudian beliau bertanya lagi: “Siapa yang mau memerah susu unta ini?” Maka seorang laki-laki lainnya berdiri. “Siapa namamu?” tanya Rasulullah. Laki-laki itu menjawab: “Ya’isy (artinya: hidup).” Karena namanya baik, maka Nabi ﷺ berkata kepadanya: “Sekarang perahlah (susunya)!” Beliau tidak menginginkan orang yang memiliki nama-nama yang tidak disukainya itu turun tangan untuk memerah susu kambing.
Nabi bersikap keras dalam menanggapi nama yang buruk. Dan, nama-nama yang buruk itu sangat tidak disukai oleh beliau ﷺ digunakan untuk nama manusia, tempat, kabilah, dan untuk nama gunung. Hingga suatu hari ketika beliau melewati celah di antara dua gunung, lalu menanyakan nama kedua gunung tersebut. Diberitahukan kepada beliau, namanya adalah Fådhih (yang reputasinya jelek) dan Makhz (hina). Mendengar nama tersebut, beliau ﷺ pun berbelok arah dan tidak mau melewatinya.Aku tidak mendapatkan taklerzi-nya setelah penelitian yang cukup panjang.
Adalah beliau begitu memperhatikan perkara penamaan ini. Siapa saja yang mengkaji as-Sunnah, akan mendapati bahwa ada keterkaitan antara makna yang terkandung di dalam sebuah nama dengan nama yang bersangkutan. Bahkan seolah-olah makna itu diambil dari nama objek yang dinamai tersebut, dan seakan-akan nama-nama itu juga diambil dari makna-makna yang terkandung di dalamnya. Perhatikanlah dengan baik sabda beliau
أَسْلَمُ سَالَمَهَا اللهُ، وَغِفَارُ غَفَرَ اللَّهُ لَهَا، وَعُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ
Artinya: “Aslam, semoga Allah menyelamatkannya; Ghifar, semoga Allah mengampuninya; dan ‘Ushayyah, ia telah bermaksiat kepada Allah.”[7]
Ketika Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah, Nabi ﷺ berkata kepadanya: “Semoga urusanmu menjadi mudah (sahhala amrakum).”[8] Demikian pula ketika beliau ﷺ bertanya kepada Buraidah tentang namanya, lalu dijawabnya bahwa ia bernama Buraidah. Mendengar namanya, beliau pun bersabda: “Wahai Abu Bakar, urusan kita menjadi dingin (barida amruna)”
Kemudian beliau bertanya lagi: “Dari mana asalmu?” Buraidah menjawab: “Dari Aslam.” Beliau berkata kepada Abu Bakar: “Kita selamat (salimna).” Kemudian beliau bertanya kembali: “Pulang dari mana?” la menjawab: “Dari Sahm,” lalu beliau berkata:
“Keluarkan panahmu (kharrij sahmaka)!” Abu Umar menyebutkan hadits ini dalam kitab al-Istidzkar. Hingga perihal keterkaitan antara makna dan nama itu pun berlaku dalam ta’bir mimpi. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ
رَأَيْتُ كَأَنَّا فِي دَارِ عُقْبَةَ بْنِ رَافِعٍ، فَأُتِيْنَا بِرُطَبٍ مِنْ رُطَبٍ ابْنِ طَابٍ، فَأَوَّلْتُ الرِّفْعَةَ لَنَا فِي الدُّنْيَا وَالْعَاقِبَةَ فِي الْآخِرَةِ وَأَنَّ دِينَنَا قَدْ طلب
Artinya: “Aku pernah bermimpi seakan-akan kami berada di rumah Uqbah bin Rafi, lalu kami disuguhi kurma (yang sudah masak) bernama kurma Ibnu Thab. Maka, aku takwilkan mimpi itu bahwasanya derajat yang tinggi (Rafi) bagi kami di dunia dan akhir kesudahan yang baik (Uqbah) di akhirat, dan sungguh agama kami telah baik (thâb).”[9]
Jika Anda ingin lebih mengetahui tentang pengaruh sebuah nama pada objek yang dinamainya, perhatikanlah dengan seksama hadits Sa’id bin al-Musayyab dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengisahkan: “Suatu hari aku pernah menemui Nabi ﷺ lalu beliau bertanya: “Siapakah namamu?” “Aku Huzn (sedih),” jawabku. Mendengar namaku, beliau pun berkata: “Kamu Sahl (mudah).” Tetapi kakekku enggan menggantinya, seraya berkata: “Aku tidak akan mengubah nama yang telah diberikan ayahku.” Sa’id bin al-Musayyab berkata: “Setelah kejadian itu, kesedihan selalu menyertai kami.”[10]
الخزونة menurut bahasa berarti الغلطة (keras), di antara penggunaannya adalah أرْضُ حزنة (tanah yang keras berbatu dan tandus) dan أرضُ سَهْلة (tanah yang mudah ditanami).
Perhatikan pula hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dari Yahya bin Sa’id, ia mengisahkan bahwa suatu ketika bin al-Khathab bertanya kepada seorang laki-laki: “Siapa namamu?” “Jamrah (bara api),” jawabnya. “Anak siapa kamu?” tanya Umar.
“Anaknya Syihab (meteor).” jawab laki-laki itu. “Dari suku mana?” tanya Umar lagi. “Harqah (terbakar),” jawabnya. Beliau bertanya lagi: “Di mana kamu tinggal?” “Saya tinggal di Harratun Når (panasnya api).” Jelasnya. “Di wilayah bagian mana?” tanya Umar. “Di wilayah Dzâtu lazha (api yang bergejolak).” Mendengar penuturan laki-laki tersebut, Umar berkata: “Temuilah keluargamu di sana, karena mereka dalam keadaan terbakar.” Ternyata setelah laki-laki itu kembali, ia menemukan tempat itu dalam keadaan terbakar seperti apa yang dikatakan Umar.
Asy-Sya’bi juga meriwayatkan hadits ini, ia mengisahkan: “Seorang laki-laki dari kabilah Juhainah pernah datang kepada Umar bin Khathab lalu Umar bertanya kepadanya: ‘Siapakah namamu?’ la menjawab: ‘Syihab (meteor). ‘Anak siapa?’ tanya Umar. Laki-laki tadi menjawab: ‘Putra Jamrah (bara api). Umar bertanya lagi: ‘(Jamrah) anak siapa?” la menjawab: ‘Putra Dhiram (kobaran api). ‘Dari keturunan siapa?” tanya Umar. ‘Dari al-Harqah (kebakaran), jawab laki-laki itu. ‘Di mana rumahmu?” tanya Umar lebih lanjut. Ia menjawab: ‘Di Harratin Naar (panasnya api). Setelah mendengar jawabannya, Umar berkata: ‘Celaka kamu, pulanglah ke rumahmu dan temuilah keluargamu, karena sungguh kamu telah membakar mereka (dengan menyebutkan nama- nama itu). Lalu ia (perawi) berkata: ‘Kemudian laki-laki itu pulang dan mendapati mereka telah terbakar semuanya.”
Insyaallah bersambung ke artikel berikutnya.
REFERENSI:
Disusun oleh: Tamim Abu Zubair, S.T. (Staff Ponpes DQH OKU Timur)
Referensi: Qayyim, Ibnu (2022). Hanya Untukmu Anakku. (Harianto, terjemahan). Hal: 186-193. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii.
[1] (Hadits dhaif) HR. Abu Dawud dan selainnya.
[2] (Hadits dhaif) HR. Ibnu Majah dan selainnya.
[3] HR. Muslim no.2203.
[4] (Hadits dhaif) HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya.
[5] (Hadits Dhaif) HR. Abdurrazaq.
[6] (Hadits dhaif) HR. Al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir.
[7] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[8] HR. Al-Bukhari.
[9] HR. Muslim.
[10] HR. Al-Bukhari.
BACA JUGA :
Leave a Reply