
Taubat Umum dan Khusus – Manusia terkadang menyadari dosa tertentu, kemudian berusaha bertaubat darinya. Namun, boleh juga dia melakukan satu taubat secara umum dengan niat melepaskan diri dari semua jenis dosa tersebut dan segala sesuatu yang di benci Allah.
Dengan demikian, kita bisa membagi dua macam taubat yang dilakukan seseorang.
Pertama, seseorang yang taubat dari suatu dosa, tapi telah melakukan dosa lain yang sejenis. Misalnya, dia bertaubat dari narkoba dan merokok tapi dia masih tetap mengonsumsi minuman keras atau dia bertaubat dari zina dengan seorang wanita, tapi masih tetap berzina dengan selainnya. Taubat seperti tidak benar dan tidak diterima, karena sebenarnya dia belum bertaubat dari dosa. Ia hanya sekedar meninggalkan satu jenis dosa dan berpidah ke jenis lain yang masih satu kategori. Jadi, dia belum dikatakan bertaubat.
Kedua, seseorang bertaubat dari satu dosa tertentu tapi masih melakukan dosa lain yang tidak ada kaitan dengannya,dan bukan juga sejenisnya. Contoh, dia bertaubat dari membunuh dan memakan harta anak yatim, tapi masih mengonsumsi minuman keras dan berzina. Maka taubat seperti ini merupakan taubat khusus. Hukum taubat seperti itu sah, tapi taubat tersebut hanya untuk dosa yang ia tinggalkan dengan syarat dosa yang ia tinggalkan bukan suatu perkara yang menjadi syarat bagi amal ibadah. Misalnya, iman yang menjadi syarat bagi amalan lainnya.
Allah a’ala berfirman,
وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا
Artinya: “Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. “(QS. Al-Isra: 19).
Sementara itu, dosa yang belum seseorang tinggalkan tetap di catatan hingga orang itu bertaubat darinya. Jadi, setiap dosa memiliki taubat tersendiri secara khusus yang bersifat fardhu ain yang tidak terkait dengan dosa lain yang tidak sejenis dengannya. Misalnya, seseorang melakukan satu ibadah wajib dan meninggalkan ibadah wajib yang lain, maka dia berhak mendapatkan hukuman atas ibadah yang ia tinggalkan sementara dia berhak mendapat pahala atas ibadah yang ia kerjakan. Ibadah yang ia tinggalkan tidak membatalkan ibadah yang ia kerjakan. Seperti orang yang mengerjakan shalat dan zakat, tapi meninggalkan puasa atau haji.
Ketiga, seorang hamba berhenti melakukan semua dosa dan bertaubat dari semua dosa. Inilah taubat secara umum yang tidak menyisakan satu dosa sedikit pun. Dia akan mendapatkan ampunan bagi semua dosanya, dengan syarat setelah bertaubat dia tetap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya serta menyesali apa yang ia lalaikan, baik besar maupun kecil, dan merealisasikan syarat taubat secara sempurna.
Telah dijelaskan di atas bahwa taubat senantiasa akan menyertai seorang hamba semenjak dia memulai hidup hingga akhir hayatnya. Seseorang yang telah menghimpun tekad dan niatnya untuk taubat nasuha wajib untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sebagaimana air susu tidak akan pernah kembali lagi ke putingnya, bahkan harus mengikuti setiap kesalahan dengan kebaikan dan perbaikan.
Jika dia kembali lagi ke dalam maksiat dan mengulangi dosanya, maka dia telah membatalkan taubatnya. Karena syarat sahnya taubat adalah harus berkesinambungan. Jika seorang bertaubat dari suatu dosa tertentu, kemudian melakukan dosa lain, maka dia harus bertaubat.
Namun jika seseorang bertaubat dari satu maksiat kemudian melakukannya lagi, apakah dosa maksiat sebelumnya kembali lagi padanya sehingga dia berhak mendapatkan hukuman atas dosanya yang dulu? Jika dia mati dalam keadaan tetap melakukannya atau hal itu telah menjadi batal secara keseluruhan, maka dosanya kembali padanya. Apakah dia hanya akan disiksa karena maksiat yang dia lakukan setelah taubat.
Pendapat yang benar adalah dosa dan maksiat yang ia telah tinggalkan dan telah bertaubat darinya maka tidak kembali lagi, bahkan dosa tersebut terhapus seperti orang yang tidak pernah berbuat maksiat sama sekali, dan sepert orang yang tidak pernah berbuat dosa. Dosa yang dilakukan setelah taubat merupakan bentuk maksiat baru, karena taubat yang terdahulu adalah amal kebaikan, sedangkan mengulangi perbuatan maksiat merupakan keburukan sementara keburukan tersebut tidak membatalkan amal kebaikan yang terdahulu, begitu juga keburukan terakhir tidak membatalkan kebaikan yang sedang dijalankan.
Hamba yang bertaubat harus mengobarkan semangatnya untuk mempertahankan kebersihan hati dan kesucian diri hingga akhir hayat serta menjauhkan diri dari semua dosa. Dia berusaha membangun tekad membaja. Dia benci kembali berbuat dosa seperti kebenciannya bila dimasukkan ke dalam api neraka dan demikian itu tanda keimanan.
Taubat berawal dari sikap penyesalan dan diakhiri dengan amal salih serta di hiasi dengan berbagai ketaatan. Taubat adalah penggerak hati agar terbebas dari seluruh kotoran kemaksiatan dan pendorong jiwa untuk tidak kembali kepada dosa selamanya.
Hendaknya seorang hamba bertaubat hanya karena mencari ridha Allah, bukan karena menjaga kesehatan, mempertahankan harta benda,atau takut ancaman seseorang atau jeratan hukum dunia, atau karena tidak ada paktor pendorong maksiat. Seorang hamba hendaknya bertaubat dan meninggalkan dosa karena tidak ingin membuat Allah dan RasulNya murka dan marah, karena manusia terbaik di sisi Allah bukan seorang hamba yang tidak pernah bersalah.
Ketahuilah, bahwa taubat hukumnya wajib atas setiap bagian anggota tubuh manusia. Taubatnya mata, dengan memalingkan pandangan dari hal-hal haram. Taubatnya tangan, dengan menghindari perilaku yang diharamkan. Taubatnya telinga, dengan tidak mendengarkan suara yang diharamkan dan taubatnya kemaluan, dengan menjauhi perbuatan zina dan sebagainya.
Seharusnya seorang hamba memperbaiki semua keteledoran dalam menjalankan kewajiban, mengembalikan semua hak orang lain yang ada padanya secara sempurna, menyibukkan anggota badan dengan berbagai macam ketaatan kepada Allah, dengan menjalankan perintah Allah dan menjahui laranganNya serta menjauhkan diri dari makanan syubhat dan haram.
Tingkatan orang bertaubat.
Orang-orang yang bertaubat memiliki tingkatkan berbeda-beda sesuai dengan kondisi pribadi dan amal shalih yang mereka lakukan, serta keteguhan mereka dalam menjani taubat hingga akhir hayatnya, begitu pula dengan keistikomahan mereka di atas kebaikan.
Ada empat derajat orang bertaubat:
Tingkatkan pertama, mereka yang istikomah setelah bertaubat hingga ajal tiba tidak pernah tergoda untuk kembali kepada perbuatan maksiat. Mereka pemilik jiwa yang tenang dan para pemilik tingkatkan taubat tertinggi, karena mereka meniti shirathal mustaqim. Mereka membiasakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka meninggalkan semua maksiat dan perangai yang tidak diridhai Allah. Inilah orang-orang yang bertaubat menepati tingkatkan tertinggi.
Tingkatkan kedua, mereka yang meniti jalan raya istikomah dan tegak di atas jalan taubat sepanjang usia. Hanya saja mereka tidak lepas dari maksiat yang mengikat mereka atau maksiat hasil buaian nafsu mereka, bukan karena disengaja. Bahkan setiap kali mereka berbuat dosa, mereka mencela dirinya dan memperbarui tekadnya serta menyesali keburukan itu kenapa mereka lakukan. Tingkatkan ini merupakan tingkatkan tinggi, tapi berada dibawah tingkatkan pertama. Inilah keadaan mayoritas orang-orang yang bertaubat.
Tingkatkan ketiga, mereka senantiasa tegak di atas jalan taubat selama beberapa masa kemudian tertarik kembali untuk berbuat maksiat dan dikalahkan oleh syahwat, sehingga mereka mencampur amal shalih dengan amal keburukan. Namun mereka diinginkan oleh diri mereka atas kebaikan yang mereka lalaikan dan menyesali kesalahan yang mereka perbuat. Mereka ini berada pada posisi yang sangat berbahaya, karena bisa saja mereka dijemput ajal sebelum mereka bertaubat, sehingga mereka menyesal di saat segala penyesalan tidak berguna.
Tingkatkan keempat, mereka yang istikomah di atas jalan taubat selama beberapa masa kemudian jiwa mereka tergoda oleh rayuan keburukan dan melenceng menuju nafsu syahwat, sehingga mereka berbuat maksiat tampa ada keinginan untuk bertaubat. Mereka ini dikhawatirkan akan mendapatkan su’ul khatimah, karena mereka tunduk dan patuh kepada hawa nafsu mereka serta melalaikan tempat kembali yang mulia, yaitu serga abadi. Orang yang berakal lagi beruntung adalah orang yang membebaskan dirinya dari kesesatan dan mengembalikannya menuju ketaatan. Dia kembali menuju jalan yang lurus dan mengambil hidayah dari cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wahai Rabb kami, berikanlah jiwa kami ketakwaan. Sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik penyuci. Engkau adalah Pelindung dan Pemeliharaan. Wahai Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan mengasihi kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi. Wahai Rabb kami, berilah ampunan dan rahmat. Ampunilah segala apa yang Engkau lebih mengetahuinya. Sesungguhnya Engkau Maha Mulia lagi Maha Pemurah. Engkau Maha Tahu sedang selaiMu tidak mengetahui. Semoga shalawat Allah curahkan atas Rasulullah beserta keluarga dan para sahabatnya.”
Istikomah setelah bertaubat dan bagaimana membendung bisikan setan di dalam jiwa dengan keimanan dan amal shalih merupakan suatu keharusan. Taubat di mulai dengan penyesalan dan penanggalan maksiat lalu diakhiri dengan amal shalih sebagai tanda kejujuran taubat dan kesungguhan kembali kepada Allah. Amal shalih memberi konsekuensi positif dalam jiwa dan menjadi pendorong utama bagi setiap hamba untuk menanggalkan perbuatan maksiat. Setelah bertaubat, seorang hamba harus mengisinya dengan kebaikan, karena jiwa akan condong kepada keburukkan akibat pengaruh kekosongan yang dirasakan jiwa setelah ia menanggalkan maksiat, karena Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَاِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَّغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْۗ وَنُقِرُّ فِى الْاَرْحَامِ مَا نَشَاۤءُ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوْٓا اَشُدَّكُمْۚ وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّتَوَفّٰى وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرَدُّ اِلٰٓى اَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔاۗ وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ
Artinya: “Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5).
Ibnu Qayyim berkata, “ketika bobot taubat semangkin kuat dan sempurna, akibat maksiat dirasakan seorang hamba membawa kehinaan, ketundukan, keinginan kembali kepada Allah, merasa takut kepada Allah dan menangis karena takut kepada Allah. Jika semua hal diatas menguat, maka seorang hamba yang bertaubat akan kembali kepada derajat lebih tinggi dan setelah taubat kondisinya lebih baik sebelum terjadi kesalahan. “
Dalam kondisi seperti ini, kesalahan bisa menjadi rahmat buatnya, karena kesalahan tersebut mengikis sifat ujub darinya yang membuat terlalu percaya terhadap kehebatan dirinya dan keunggulan amalannya. Dia letakan pipi kehinaan, ketundukan dan kelemahannya pada ambang pintu Rabbnya. Dia mampu mengenali kelemahan dirinya, mengakui kekurangannya, dan merasa perlu memelihara hubungan dengan Rabbnya, merasa butuh kepada maafNya dan ampunananNya. Sehingga tumbuh dalam lubuk hatinya dorongan ketaatan yang membara yang bisa melenyapkan perasaan sombong, takabur atau sikap meremehkan orang lain.
REFERENSI:
Di Tulis Oleh: Zainal Abidin bin Syamsuddin
Diringkas Oleh: Usman
Diambil dari Buku: Ya Allah Ampuni Aku, Bertaubat Sebelum Terlambat
BACA JUGA :
Leave a Reply