Muslim Memang Kontributif

Muslim Memang Kontributif
Sumber gambar: http://fusiua.blogspot.co.id

Oleh: Brilly El-Rasheed

Di kanan-kiri kita banyak kita dapati orang-orang yang shalih, yang teguh ibadahnya, khusyu shalatnya, tegar aqidahnya, kuat puasanya, rajin mengajinya. Tapi sayang, keshalihannya tidak dirasakan orang lain, tidak kontributif bagi saudaranya se-Islam. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri, disebabkan terlalu tingginya ego dan rendahnya empati. Betapa banyak contoh menyedihkan, dimana seorang menjadi alim tapi orang-orang awam tidak mendapatkan manfaat ilmunya. Atau, seorang shalih yang bertetangga dengan ahli maksiat, namun tetangganya tidak memperoleh faidah dari sang shalih, hingga ia tetap saja berkubang dalam lumpur maksiat.

Kontributif adalah ciri orang shalih. Bukanlah termasuk orang shalih, bila tidak kontributif bagi dunia. Dalam hal apa saja yang berguna, akhirat maupun dunia, sepanjang masih dalam koridor keshalihan amal. Bahkan, karakter kontributif adalah bagian dari Iman. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan pribadi mukmin sebagai teladan yang konsisten dalam karakter kontributif ini. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengibaratkannya seumpama pohon kurma, seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَثَلُ الْمُؤْمِن مَثْلُ النَّخْلَة مَا أَخَذْتَ مِنهَا مِن شَيْءٍ نَفَعَكَ

Perumpamaan seorang mu`min adalah laksana pohon kurna. Tidaklah Anda mengambil sesuatu darinya, kecuali Anda mendapatkan manfaat darinya.” (Shohih Al-Jami’ no. 5848; Ash-Shohihah no. 2285)

Seorang mukmin selalu berusaha untuk berkontribusi kepada umat manusia dengan niat karena Allah Azza wa Jalla, untuk bisa memandang wajah-Nya, dan bukan karena tendensi duniawi, atau ketenaran pribadi.

Sebaik-baik Manusia yang Dicintai Allah Azza wa Jalla

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menuturkan, yang artinya:

Manusia yang paling Allah Azza wa Jalla cintai adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amal yang paling Allah Azza wa Jalla cintai adalah membuat gembira seorang muslim atau menghilangkan kesusahan darinya, atau melunasi hutangnya, atau menghilangkan kelaparan darinya. Dan berjalan bersama saudara sesama muslim untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah lebih saya cintai dari pada beri’tikaf di dalam masjid selama sebulan … Barangsiapa berjalan bersama saudara sesama muslim untuk suatu keperluan sampai teguh dalam memenuhi kebutuhan tersebut untuk saudaranya tersebut, Allah Azza wa Jalla jadikan teguh kakinya pada hari dikuncinya kaki-kaki. Buruknya akhlak dapat merusak amal sebagaimana cuka merusak madu.” (Shohih Al-Jami’ no. 176; Ash-Shohihah no. 906)

Di kesempatan lain beliau mengatakan,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُم لِلنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Shohih Al-Jami no. 3289; Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah no. 426)

Anda merasakan adanya korelasi dari kedua hadits ini? Ya, korelasi yang sangat erat dan dekat. Sebaik-baik manusia yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang yang paling kontributif. Orang yang paling bermanfaat bagi manusia, makhluk lain dan juga lingkungan, sebagaimana diuraikan dalam nash-nash yang lain.

Kita semua ingin dicintai Allah Azza wa Jalla, dan kita semua berlomba-lomba menjadi manusia terbaik, nomor satu di dunia. Maka sudah selayaknya kita menjadi insan paling kontributif, disamping tetap merawat pohon iman dan memelihara bunga taqwa, hingga ajal datang menyapa. Itulah perjuangan kita di negeri yang fana, untuk menggapai nikmat surga yang tiada tara.

Akhirat dan Dunia

Dalam hal apa saja, perkara akhirat dan dunia, kita hendaknya berkontribusi bagi masyarakat dunia, yang masih hidup atau yang sudah wafat, sekecil apapun karena esensi dakwah adalah memberi manfaat kepada orang lain. Saat Abu Dzar Al-Ghifari masuk Islam, di antara perbincangannya bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Rasullullah berkata kepadanya, artinya:

Apakah Anda dapat menjadi utusanku kepada kaum Anda? Semoga Allah Azza wa Jalla memberi manfaat kepada mereka melalui Anda, dan memberi pahala kepada Anda bersama mereka.” (Mukhtashor Shohih Muslim no. 1711)

Yang pertama kali menjadi lahan bagi kita untuk berkontribusi adalah keluarga kita. Selain mereka adalah orang-orang terdekat kita, dimana Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan baik. Keluarga juga merupakan orang-orang yang paling berjasa kepada kita. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menghasung kita untuk senantiasa membalas kebaikan setiap orang, lebih-lebih keluarga kita.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

أَحَبُّ اْلعِبَادِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنفَعُهُم لِعِيَالِهِ

Hamba yang paling Allah Azza wa Jalla cintai adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya.” (Shohih Al-Jami’ no. 172; Ar-Raudh An-Nadhir no. 481)

Pula, membantu keluarga lebih wajib dan lebih banyak pahalanya. Abu Qilabah pernah mengungkapkan; “Seorang laki-laki yang paling banyak pahalanya adalah laki-laki yang menginfaqkan hartanya untuk keluarganya yang masih anak-anak. Allah Azza wa Jalla akan mencukupkan mereka atau membantunya melalui orang ini dan Allah Azza wa Jalla akan membantu mereka dan mencukupkannya melaluinya.” (Shohih Muslim no. 38/ 1994)

Sebagian orang merasa enggan untuk melalukan aktivitas yang sebetulnya tidak merugikannya, bahkan memberi manfaat bagi orang lain, meski hanya untuk perkara duniawi. Ini bukan karakter mukmin, karena mukmin adalah orang-orang yang selalu memanfaatkan kesempatan untuk beramal shalih. ‘Umar bin Khoththob pernah mengecam keras Muhammad bin Maslamah yang melarang Dhohhak bin Kholifah untuk menggali saluran air yang melewati tanah miliknya: “Mengapa Anda melarang saudara Anda (mengerjakan) yang bermanfaat baginya? Bukankah itu juga bermanfaat bagi Anda? (Yaitu membuahkan pahala dunia akhirat) Mengairi tanah pertama dan yang terakhir tidak akan merugikan Anda. Demi Allah Azza wa Jalla, dia boleh menggali saluran air walaupun harus melewati perut Anda.” (Al-Muwaththo’, Kitab Al-Aqdiyyah, bab 26, hadits no. 33)

Pada dasarnya, seorang Muslim harus mengulurkan bantuan bagi siapa saja yang membutuhkan, memberi petunjuk bagi orang yang tidak tahu dan memberi bantuan kepada orang yang berhak. Apalagi jika semua itu dilakukan atas inisiatif sendiri sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Pernah beliau menawarkan diri kepada pamannya, Al-‘Abbas, untuk beberapa hal,

يَا عَمِّ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَنْفَعُكَ أَلَا أَصِلُكَ

Wahai Pamanku, apakah Anda ingin aku mencintai Anda? Apakah Anda ingin aku memberi manfaat untuk Anda? Dan apakah Anda ingin aku menguatkan silaturrohim dengan Anda?” (Shohih Sunan Ibnu Majah no. 1138, 1146; Shohih At-Targhib wa At-Tarhib no. 678; Takhrij Al-Misykah no. 1328, 1329)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan karakter kontributif. Sudahkah kita melaksanakannya?

Kontributif, Sekecil Apapun Itu

Kontribusi sekecil apapun yang bisa kita persembahkan, lakukanlah, jangan pendam potensi itu, sebab kesempatan tidak selalu datang dua kali. “Manfaatkanlah lima sebelum datang yang lima!” Betul, sekecil apapun. Sebab Allah Azza wa Jalla tidak pernah menganggap kecil amal shalih hamba-Nya. Karenanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan petuah kepada Abu Barzah ketika ia mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sembari meminta, “Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkan aku sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagiku dari Allah Azza wa Jalla !” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Carilah hal-hal yang berpotensi membahayakan orang banyak, lalu buanglah dari sisi mereka.” (Musnad Imam Ahmad 4/423. Dalam Shohih Muslim terdapat hadits senada, hadits no. 132/ 1914)

Sekali lagi, dalam hal yang paling tersembunyi sekalipun, yang nampaknya tidak begitu menimbulkan efek bagi orang lain. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menguraikannya dengan lugas, “(Termasuk amal bernilai sedekah adalah) Bekerja dengan tangan sendiri sehingga dapat membantu dirinya untuk bersedekah. Ia juga dapat membantu orang yang sedang membutuhkan. Apabila ia tidak dapat melakukannya, maka hendaklah ia menjaga diri agar tidak melakukan kejahatan, karena hal itu juga termasuk sedekah.” (Shohih Al-Bukhori no. 5676, 6022)

Pernah pula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam n ditanya oleh seorang badui tentang siapa orang yang paling baik. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seseorang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya dan seorang laki-laki yang mengasingkan diri, ia beribadah kepada Robbnya dan meninggalkan kejahatan.” (Shohih Al-Bukhori no. 6129, 6494). Jihad adalah strata tertinggi dalam kontribusi, dan ber’uzlah (mengasingkan diri) adalah tingkatannya yang paling rendah. Tidak baik seorang mu`min tetap istiqamah dalam tingkatan seperti itu, kecuali jika hanya sebatas itu yang bisa dilakukannya.

Ketika Maksiat Merajalela

Sebagai seorang muslim, sudah semestinya kita memberikan kontribusi kepada komunitas kita dan komunitas lain. Terlebih bila dalam komunitas kita telah merajalela kemaksiatan, sedangkan masih lebih besar jumlah orang-orang yang shalih ketimbang para pelaku maksiat tersebut, tidak terkecuali bid’ah. Bila kita enggan menghentikan maksiat tersebut, itu artinya kita tidak berkontribusi bagi keselamatan masyarakat dari adzab.

Dari ‘Abdulloh bin ‘Umar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika Allah Azza wa Jalla telah menurunkan suatu adzab kepada suatu kaum, niscaya adzab itu menimpa semua orang yang berada dalam kaum tersebut. Kelak mereka akan dibangkitkan menurut amal perbuatan masing-masing.” (Shohih Al-Bukhori, Kitabul Fitan, no. 7108; Shohih Muslim, Kitabul Fitan, no. 2880)

Zainab bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ

“Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam akankah kita binasa sedangkan di tengah-tengah kita masih ada orang-orang shalih?”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

Ya, bila perbuatan keji telah merajalela.” (Shohih Al-Bukhori, kitab Al-Fitan, no. 7059; Shohih Muslim, kitab Al-Fitan, no. 2880; Mukhtashor Shohih Muslim no. 1996)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani menguraikan makna hadits ‘Abdulloh bin ‘Umar dalam masterpiece-nya, Fat-h Al-Bari 16/377-378, “Maksudnya setiap orang di antara mereka akan dibangkitkan sesuai dengan amal yang dahulu dikerjakannya. Jika amalnya shalih, ia akan mendapatkan balasan yang baik. Demikian pula apabila amalnya buruk, maka ia juga akan mendapatkan pahala yang buruk. Dengan demikian, adzab secara merata tersebut menjadi pembersih dosa bagi orang-orang yang shalih dan menjadi hukuman bagi orang-orang fasiq (ahli maksiat).”

Beliau kemudian mengutip penjelasan Al-Imam Ibnu Bathol, “Hadits ‘Abdulloh bin ‘Umar ini menerangkan makna hadits Zainab binti Jahsy yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam apakah kita akan binasa padahal di tengah-tengah kita masih ada orang-orang shalih?’ Lantas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, bila telah merajalela perbuatan keji.’ Dengan demikian dihancurkannya seluruh anggota kaum adalah saat kemunkaran telah mendominasi dan kemaksiatan dikerjakan secara terang-terangan.”

Di bagian lain dari karya beliau tersebut di jilid yang sama di halaman 452, beliau menukil keterangan dari Al-Qodhi Muhammad bin ‘Abdulloh bin Al-‘Arabi Al-Maliki, “Dalam hadits ini (hadits Zainab binti Jahsy) dijelaskan bahwa orang yang baik akan binasa bersamaan dengan binasanya orang yang berbuat keburukan, manakala ia tidak mengubah perbuatan keji yang dikerjakan orang tersebut. Demikian pula jika ia telah mengubahnya namun orang tersebut masih saja melakukan perbuatan buruknya, maka perbuatan buruk tersebut akan semakin banyak dilakukan oleh masyarakat. Akhirnya, kemaksiatan tersebut merata di tengah masyarakat. Pada saat itulah semua anggota masyarakat akan dibinasakan, kemudian setiap orang akan dibangkitan sesuai amal masing-masing.”

Maha benar Allah Azza wa Jalla, Dia telah memperingatkan,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

“Dan Robbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zholim, sedang penduduknya adalah orang-orang yang mushlih.” (QS Hud: 117)

وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ

“Dan tidaklah Kami menghancurkan negeri-negeri kecuali karena penduduknya adalah orang-orang yang zholim.” (QS Al-Qoshosh: 59)

Dari Abu Bakar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, artinya:

“Jika masyarakat melihat seseorang berbuat zholim (kemaksiatan) dan mereka tidak mencegahnya (dan dalam riwayat lain: mereka tidak mengubahnya menjadi kebaikan), niscaya Allah Azza wa Jalla akan menimpakan adzabNya secara merata kepada mereka.” (Shohih Al-Jami’ no. 1973, 1974; Takhrij Misykah Al-Mashobih no. 5142; Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah no. 1671)

Dari Jarir bin ‘Abdulloh, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, artinya:

“Tidaklah ada yang melakukan kemaksiatan pada sebuah kaum; padahal mereka (orang-orang yang shalih) lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya dari orang-orang yang melakukan kemaksiatan tersebut, namun mereka tidak mau menghentikan kemaksiatan tersebut, melainkan Allah akan menimpakan adzabNya secara merata kepada mereka semua.” (Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Shohih Al-Jami’ no. 5749)

Sampaipun Orang Zholim

Sampaipun orang zholim, kita diperintahkan untuk berkontribusi, baik kita yang dizholimi atau orang lain, dengan cara mencegahnya agar tidak berlanjut kezholimannya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan,

انصر أخاك ظالما أو مظلوما إن يك ظالما فاردده عن ظلمه وإن يك مظلوما فانصره

Tolonglah saudara Anda yang berbuat zholim maupun yang terzholimi. Jika saudara Anda adalah pelaku kezholiman, maka cegahlah dia dari kezholimannya, dan jika dia adalah orang yang terzholimi, maka tolonglah dia.” (Shohih Al-Jami’ no. 1501; Irwa` Al-Gholil no. 2449)

Mengapa begitu tandasnya Allah Azza wa Jalla dan Rosul-Nya memerintahkan untuk menjadi manusia shalih yang kontributif? Karena dengannya lah Islam akan semakin kemilau dan dunia akan tertuju padanya, simpati dan semakin banyak yang memilih Islam sebagai agamanya. Sekarang kita raba diri kita dan tanyakan, “Adakah aku sebagai insan shalih yang memiliki karakter kontributif?”


Sumber: Majalah Lentera Qolbu, tahun ke-4 edisi ke-9

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.