
Mengenang Ramadhan: Untaian Nasihat Dan Faedah Dari Ulama – Bismillah Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du:
Pada artikel kali ini, kita akan menyajikan beberapa fedah singkat dari hasil kajian video pendek Al-Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri yang penulis dengar via Youtube, berikut diantaranya:
Belajar Ikhlas di Bulan Ramadhan
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan: “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak merasa dirinya tinggi. Dan orang yang paling banyak jasanya adalah orang yang tidak pernah melihat dirinya berjasa atau dirinya mulia atau dirinya penuh dengan kebaikan.” Sejatinya kebaikan itu adalah taufik dari Allah subhanahu wata’ala. Inilah yang harusnya diresapi oleh kita, khususnya bagi orang-orang yang berpuasa Ramadhan dan orang-orang yang bersemangat beribadah di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan mengajarkan kita keikhlasan, bagaimana menjadi seorang hamba. Seorang hamba itu tidak semena-mena, hamba itu selalu menahan diri di hadapan tuannya. Hamba itu lapar, haus, dan berbagi, itulah hamba. Menjadi seorang hamba itu tidak mengingat kebaikannya, yang dia ingat adalah dosanya, kekurangannya, dan aibnya. Lalu ingatan itu dijadikan modal untuk merengek memohon ampunan kepada Rabbul Alamin. Inilah profil orang-orang yang mulia, orang-orang yang puasanya diterima oleh Allah subhanahu wata’la. Maka dari itu, beramallah, berkarya, memberi kepada yang lain, lalu banyak melakukan kebaikan, dan setiap kita melakukan kebaikan, maka lupakan bahwasanya kebaikan itu adalah jasa kita.[1]
Belajar Mengendalikan Hawa Nafsu
Nasihat dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
طلب فضول الدنيا عقوبة عاقبة الله بها أهل التوحيد
Terjemahannya: “Mencari hal duniawi yang melebihi kebutuhan kita, sejatinya adalah hukuman yang Allah berikan kepada ahli tauhid.”
Contoh saja, kita hanya perlu satu rumah tapi kita beli dua, tiga, empat dan seterusnya padalah kita tidak menggunakan kecuali hanya satu rumah saja. Itu sejatinya adalah hukuman. Seratus mobil bisa jadi aman di hari kiamat karena itu kebutuhan kita dan digunakan untuk yang bermanfaat, sedangkan dua mobil bisa jadi masalah di hari kiamat karena bahkan kita tidak butuh dua-duanya. Itu sejatinya hukuman. Jadi jangan bangga dengan ketika membawa plastic-plastik belanjaan di tangan kiri dan kanan, dengan beralasan mendapat banyak diskon akhirnya memborong semua yang ditawarkan. Coba tanya ke diri sendiri, kalau besok meninggal kemudian dihisab, bagaimana pertanggungjawabannya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sama halnya ketika membeli makanan berbuka puasa, yang sebenarnya kita tidak butuh tetapi tetap saja dibeli dengan alasan “pengen” , itu sama saja dengan memberikan hawa nafsu kita panggung dalam kehidupan. Dan ketika itu terjadi, maka siap-siap kita akan didikte oleh hawa nafsu dalam kotak-kotak kehidupan kita yang lain. Bukankah itu hukuman? Tentu saja jawabnya, hukuman. Buka puasa adalah kegembiraan. Gembira ketika berbuka adalah kegembiraan seorang hamba ketika diberikan taufik oleh Allah sehingga berhasil puasa full pada hari tersebut. Bukanlah gembira dalam rangka melampiaskan nafsu makan kita yang sempat direm beberapa jam sebelumnya. Inilah salah satu pesan dalam ibadah puasa. Kita harus menahan ego dan menahan hawa nafsu.[2]
Sifat Kasih Sayang ‘Sang Gula’
Profil dari Abu Hamzah As-Sukkariy dengan julukan nama belakang beliau yang disematkan oleh masyarakat sekitar. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Maimun rahimahullah. Beliau dinamakan As-Sukkariy (Sang Gula) karena tutur kata beliau yang manis layaknya gula. Kalau bicara luar biasa dan beliau adalah salah satu ulama yang diakui.
Suatu ketika, orang yang bertetangga dengan beliau mau menjual rumah dan mengatakan sedang membutuhkan uang, hingga akhirnya ada yang tertarik untuk membeli rumahnya. Kemudian pembeli bertanya mengenai harga, setelah itu dijawab oleh si penjual rumah sebesar dua puluh ribu (20.000) itu harga rumahnya dan dua puluh ribu (20.000) lagi harga menjadi tetangga Abu Hamzah As-Sukkariy, jadi harga empat puluh ribu (40.000). Bertetangga dengan orang shalih ahli ilmu di zaman dulu itu ada harganya. Anda harus bayar ketika saya harus pindah dan menjauh dari Abu Hamzah. Tidak mudah mempunyai tetangga yang tutur katanya manis dan baik, orangnya rajin beribadah, tempat bertanya dan berinteraksinya dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Diriwayatkan bahwasanya, Abu Hamzah ketika mendapati tetangganya sakit, beliau akan bantu pengobatannya, beda halnya dengan kita yang hanya sebatas level kirim buah saja, bahkan jangan saja kita bantu, menjenguk pun kita terkadang lupa. Jadi ketika harus menjauh dari seorang ulama yang seperti ini, tetangga pasti merasa rugi. Kebersamaan dengan orang-orang baik dan orang-orang shalih itu ada harganya dan mahal.
Ketika mendengar keluh kesah tetangganya yang membutuhkan uang hingga harus jual rumah dan menawarkan satu harga lagi untuk harga bertetangga dengan beliau, maka Abu Hamzah datang ke tetangganya dan memberikan empat puluh ribu (40.000) dan berkata, “Ini uang empat puluh ribu (40.000), ambillah dan jangan jual rumahmu, tetaplah jadi tetangga saya”. Mendengar kisah seperti ini, seolah-seolah kita disuguhi cerita dongeng saja, dan ini baru level ulama. Bagaimana dengan level seorang Rasulullah shallallahu alahi wasallam, atau level para sahabat? Memang ilmu itu adalah rahmat (kasih sayang), sehingga para pengemban ilmu (Ulama) dididik untuk menyayangi umat dan menyangi manusia.[3]
Maka, ketika sudah masuk bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, hari-hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat dan para ulama bersedekah dan memberikan makan serta apa saja yang bisa diberi untuk yang membutuhkan. Sepatutnya kita juga mengikuti beliau dan mereka semua. Kita yang mengaku mengikuti salafush shalih sepatutnya mengikuti jalan-jalan yang mereka tempuh.
Satu Tingkat dengan Raja Dunia
Ada sebuah kalimat dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
إذا ما كنت ذا قلب قنوع فأنت ومالك الدنيا سواء
Terjemahannya: “Apabila anda adalah seseorang yang memiliki hati yang qana’ah, maka anda dan pemilik dunia, raja-raja dunia, itu sama saja.”
Jadi kalau ada pertanyaan, “mungkinkah kita menjadi raja dunia?” Jawabannya, “Mungkin.” Akan tetapi, solusinya bukan mengumpulkan uang. Intinya adalah mempunyai hati yang qana’ah. Ridha dengan apa yang Allah berikan kepada kita. Ketika Allah subhanahu wata’ala memberikan yang sedikit, kita terima dengan lapang dada. Dan ini adalah salah satu mental yang dibentuk dalam bulan Ramadhan, yaitu menjadi pribadi yang menerima (ridha), yang tidak mengeluh, yang tidak komplain, yang mensyukuri apa yang ada. Ketika kita berbuka, mental qana’ah kita diuji, bisa atau tidak cukup dengan yang kita butuhkan saja. Jika kita tidak qana’ah, hari ini tentu kita akan berbuka dengan tujuh menu, dan besoknya kita akan cari menu yang lain. Beralasan menu yang lain sudah tidak selera lagi dan ingin mencoba makanan yang lain. Ternyata yang sebenarnya terjadi adalah ini bukan masalah menu, ini adalah masalah qana’ah.
Diibaratkan kita memiliki kawasan sepenuh satu kabupaten saja, jika kita tidak mempunyai sifat yang merasa puas, sesuatu yang sudah banyak ini saja kita bisa merasa kurang dan kurang lagi. Kita akan mengeluh lagi dan selalu berambisi untuk menguasai daerah-daerah yang lain. Walau sudah mendapatkan yang dua kawasan kabupaten sekalipun, maka kita tetap akan mengeluh dan terus membesarkan ambisi. Ternyata yang sebenarnya terjadi adalah, lagi-lagi yang menjadi masalah bukan propertinya, yang menjadi masalah bukan angka di rekening, akan tetapi yang menjadi masalah adalah qana’ah-nya.
Marilah kita miliki harta yang tidak berseri, yaitu qana’ah. Dan usahakan ketika keluar dari Ramadhan, kita selevel dengan raja-raja dunia.[4]
Surat dari Allah
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau menyampaikan: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, para sahabat, memandang Al-Quran sebagai surat dari Rabb mereka. Sehingga mereka mentadabburi Al-Quran di waktu malam dan mempelajari dan mengamalkannya di waktu siang.”
Ini adalah salah satu rahasia yang tidak kita sadari, bahwasanya Al-Quran adalah surat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Permisalan sederhananya, ketika kita sedang melamar pekerjaan di sebuah perusahan yang kuat, kita pasti nunggu diberi surat dari perusahaan tersebut. Setiap hari pasti dicek sudah ada surat dan email atau belum. Ini adalah surat dari perusahan dan bukan perusahan milik kita juga. Sedangkan ini adalah surat dari Rabbul Alamin, yaitu Al-Quran. Ada di depan mata kita, setiap hari lewat di depan etalase yang isinya ada Al-Quran, tapi tidak pernah kita buka, sampai berdebu. Lalu bagaimana jika ditanya oleh Allah pada hari kiamat tentang waktu kita habis untuk apa.
Abdullah bin Mas’ud radhiyalllahu anhu mengatakan,
“Jika anda ingin tahu kadar cinta anda kepada Allah, maka timbanglah diri anda dengan Al-Quran”
Al-Quran adalah parameter cinta. Lihatlah bagaimana anda berinteraksi dengan Al-Quran, karena pecinta itu akan semangat dan menanti surat dari yang ia cintai.
Carilah Rasa Manis dalam Beribadah
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah pernah mengatakan,
تفقدوا الحلاوة في ثلاثة أشياء: في الصلاة وفي الذكر، وفي قراءة القرآن، فإن وجدتم.. وإلا فاعلموا أن الباب مغلق
Terjemahannya: “Carilah kelezatan hidup dalam tiga hal, dalam shalat, dalam berdzikir, dalam membaca dan mentadabburi Al-Quran, jika kalian mendapatkan, maka untung. Jika tidak, maka ketahuilah bahwasanya pintu kebahagiaan itu telah ditutup”[5]
Kelezatan sejati itu ada dalam ibadah. Dalam beberapa hal, diantaranya dalam shalat, dalam shalat rawatib, shalat Dhuha, shalat tarawih, carilah ia ketika membaca ayat-ayat Allah dalam shalat, dalam dzikir-dzikir setiap gerakannya, resapi dan renungkan apa yang sudah dibaca, ketika berada di belakang imam yang shalat jahr (dikeraskan); carilah kenikmatan hidupnya hati ketika sedang membaca Al-Quran, atau ketika sedang mentadabburinya, atau sedang mempelajari tafsirnya. Carilah kebahagian yang sejati di sana. Kalau kita bisa mendapatkannya, maka kita termasuk orang-orang yang beruntung dan bergembira. Maka teruskan dan jangan diotak-atik dengan kemaksiatan dan bid’ah. Tapi jikalau kita tidak mendapat kebahagian itu, mak seluruh pintu kebahagiaan itu sudah tertutup bagi kita, kita dalam ibadah maupun pada hal duniawi. Tidak akan mendapat kebahagiaan apapun yang diusahakannya, jikalau pun merasa senang, maka itu adalah kesenangan sesaat saja.
Makanya dalam surat An-Nahl ayat 97,
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…”[6][7]
Saatnya Menjadi Ahli Puasa Terbaik
Ada sebuah hadist dari salah seorang sahabat mulia, Sahl bin Muadz radhiyallahu anhu,
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا
Artinya: “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Siapakah ahli puasa terbaik yang Rasulullah?” Maka beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Orang yang paling banyak berdzikir kepada Allah.”[8]
Telah datang juga dari istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,
كانَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ علَى كُلِّ أحْيَانِهِ
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, berdzikir (mengingat) Allah di setiap waktu beliau.”[9]
Setiap waktu, baik pagi atau petang, siang atau malam, baik sendiri maupun beliau sedang bersama manusia, beliau selalu mengingat Allah jalla wa ‘ala. Di bulan Ramadhan ini khususnya dan bulan-bulan yang lain usahakan istighfar kita sebanyak seratus kali, sebagaimana praktik Nabi shallallahu alaihi wasallam. Apalagi kita ini adalah manusia yang puasnya masih banyak lalainya, puasa kita masih banyak ngomongnya, puasa kita masih banyak melihat yang tidak jelas, puasa kita masih banyak suka mendengar hal-hal yang tidak disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Harusnya kita memperbanyak istighfar. Lalu perbanyak membaca tasbih, tahmid dan takbir. Dan ketahuilah bahwasanya Al-Quran adalah dzikir terbaik. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahihamullah:
اعلم أن تلاوة القرآن هي أفضل الأذكار
Terjemahannya: “Ketahuilah, bahwasanya membaca Al-Quran adalah sebaik-baik dzikir.”
Khususnya jika dibaca dengan penuh pentadabburan dan diamalkan, sebagaimana dijelaskan oleh Sufyan At-Tsauri rahimahullah. Salah seorang ulama, Ibrahim an-Nakha’i ketika masuk bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Quran setiap tiga malam sekali. Begitu juga dengan Imam Asy-Syafi’i, di bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al-Quran dalam sehari sebanyak dua kali, dan di dalam bulan Ramadhan bisa enam puluh kali khatam. Tidak heran kenapa ulama benar-benar memprioritaskan Al-Quran di bulan Ramadhan karena mereke ingin menjadi yang terbaik. Menjadi ahli puaa terbaik, adalah yang paling banyak berdizkir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Itulah yang membuat puasa kita semakin bermakna.[10]
Faidah terakhir yang mungkin bisa kami sebutkan adalah bahwasanya ahli puasa itu adalah orang-orang yang pandai menyembunyikan amalnya dan paling pandai menghindari riya’. Karena ketika berpuasa, tidak ada yang tahu bagaimana keadaan puasanya kecuali hanya Allah dan dirinya seorang. Ketika dia benar-benar berpuasa, maka dia tidak memberitahukannya kepada orang lain sehingga dia ikhlas dan terus melanjutkan rasa lapar dan hausnya hanya untuk menaati perintah Rabbnya.
Duhai Ramadhan, kini engkau telah berlalu. Ya Allah, terimalah amalan kami selama bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang telah berlalu. Ya Allah, pertemukanlah kembali kami dengan Ramadhan dan istiqamahkanlah kami di dalam ketataan dan lindungilah kami dari sumber bencana kemaksiatan. Amin.
REFERENSI:
Ditulis dari: Beberapa Videp Pendek Kajian Al-Ustadz Muhammad Nuzul Dzikir Spesial Ramadhan via Youtube
Ditulis oleh: Tamim Abu Zubair Adi Joyo Prasetyo (Staff Ponpes DQH, OKU Timur)
[1] Belajar Ikhlas di Bulan Ramadhan, Muhammad Nuzul Dzikri, Youtube.
[2] Belajar Mengendalikan Hawa Nafsu, Muhammad Nuzul Dzikri, Youtube.
[3] Sifat Kasih Sayang ‘Sang Gula’, Muhammad Nuzul Dzikri, Youtube.
[4] Satu Tingkat dengan Raja Dunia, Muhammad Nuzul Dzikri, Youtube.
[5] Hilyatul Aulia, 4/318.
[6] QS. An-Nahl: 97.
[7] Carilah Rasa Manis dalam Beribadah, Muhammad Nuzul Dzikri, Youtube.
[8] HR. Ahmad dan Ath-Thabarani.
[9] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[10] Saatnya Menjadi Ahli Puasa Terbaik. Muhammad Nuzul Dzikri, Youtube.
BACA JUGA :
Leave a Reply