
Memperhatikan Pergaulan Keluarga – Ketika mewajibkan seseorang menjaga keluarganya dari api neraka, Allah menujukan kewajiban tersebut kepada seorang mukmin terhadap dirinya sendiri dan keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يا أيها الذين امنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membebankan tanggung jawab terbesar dalam hal mendidik anak dan mewajibkannya kepada ayah dan ibu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemerintah yang menguasai manusia adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka. Seorang lelaki adalah pemimpin terhadap keluarganya dan akan ditanya tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan anak-anaknya, dan akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan akan ditanya tentangnya. Ingatlah, setiap kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Orang yang dengan baik menjaga anak lelaki dan anak perempuannya, ketika mendapatkan pihak lain yang membantunya untuk memperbaiki anaknya, dia tetap bersungguh-sungguh, dan tidak lantas menyepelekan urusan anaknya. Dia justru akan tetap bersemangat, tidak bermalas-malasan. Dia akan mendukung dan saling membantu dengan pihak lain tersebut, tidak lantas diam. Dia akan terus mengikuti perkembangan anaknya, tidak lantas lalai.
Ketika anaknya berubah ke arah yang lebih utama dan lebih bagus, sesuai dengan naluri dan kasih sayang seorang ayah, dia ingin agar anaknya meraih kedudukan yang tertinggi, keadaan yang terbaik, dan orientasi yang paling selamat.
Dia tidak ingin dirinya bertindak berlebih-lebihan yang justru akan mengantarkan dirinya bertindak melampaui batas dan zalim terhadap keluarganya, sehingga dia mencelakakan mereka dan dirinya sendiri. Atau sebaliknya; bersikap meremehkan yang akan melemahkan dirinya (dalam hal mendidik anak) seiring dengan berlalunya waktu, sehingga anaknya kembali ke keadaan semula atau lebih jelek dari itu.
Mendidik anak bukan urusan sepele dalam agama ini. Salah bersikap terhadap anak bisa menimbulkan dampak yang tidak ringan. Alih-alih menjadi anak baik, anak justru lari berbalik. Karena itu, penting adanya bimbingan orang-orang alim dalam perjalanan kita mendidik anak.
Bersikap terhadap anak harus sesuai dengan tingkatan usianya. Setiap tingkatan usia membutuhkan metode tersendiri. Adakalanya kita menghadapi kanak-kanak, praremaja, atau anak-anak yang telah baligh. Yang kanak-kanak membutuhkan belaian kasih sayang, sementara yang lebih dewasa membutuhkan pendidikan.
Ada ahli hikmah mengatakan, “Jika anakmu masih kecil, luruskanlah dia! Jika anakmu berangkat remaja, temanilah dia. Jika anakmu telah dewasa, arahkanlah dia!”
Tiga tahapan usia ini seyogianya diperhatikan oleh setiap orang tua dalam menentukan metode pendidikan bagi anak-anaknya :
Usia Kanak-Kanak
Anak-anak dalam usia ini hendaknya diajari adab. Pengajaran ini harus dilakukan dengan cara yang baik. Sebab, apabila anak—terutama pada masa sekarang ini—disikapi keras, terkadang justru semakin jauh dari orang tuanya. Ia semakin jauh dari kebenaran yang sedang diajarkan, semakin jauh pula dari ketaatan. Ia pun enggan untuk patuh, enggan untuk menjalankan shalat.
Sebaiknya orang tua memberikan pengajaran adab dengan cara yang tidak menimbulkan kebencian anak terhadap amalan ketaatan. Untuk anak di bawah usia tamyiz, orang tua hendaknya tidak mewajibkan hal-hal yang belum diwajibkan bagi anak.
Misalnya, masalah aurat anak perempuan. Ada hukum-hukum tertentu pada anak di bawah usia tamyiz. Begitu pula anak antara usia 7—10 tahun, ada hukum-hukum tertentu pula dalam masalah auratnya.
Terkadang, orang tua bersikap terlampau ketat pada anak dalam urusan yang sebenarnya dibolehkan oleh syariat. Sikap seperti ini kadangkala tidak membawa kebaikan, justru bisa membuat anak-anak membenci kebaikan.
Usia Praremaja
Mendidik anak-anak dalam rentang usia ini membutuhkan ilmu. Oleh karena itu, hendaknya orang tua mencari tahu dan bertanya kepada ulama tentang cara mengajari anak-anak praremaja ini, baik terkait dengan masalah pakaian (yang sesuai dengan syariat –pen.), meminta izin keluar rumah, pergaulan, apa yang boleh dilihat dan apa yang tidak.
Semua ini diajarkan dengan metode yang bisa menumbuhkan rasa cinta dalam jiwa mereka terhadap kebaikan.
Kita harus menyadari, sebelum anak mencapai usia baligh, mereka mempunyai ke lapangan dalam beberapa hukum. Pembebanan syariat berlaku hanya setelah anak mencapai usia baligh.
Usia Baligh
Pada usia ini, orang tua hendaknya memberikan arahan kepada anak-anaknya untuk mengamalkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Arahan tersebut disertai dengan tindakan menutup semua jalan yang menuju kerusakan.
Jadi, orang tua harus berupaya memerintah putra-putrinya untuk selalu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka, di samping juga melarang mereka dari segala bentuk kemungkaran
Seandainya anak melakukan kelalaian, hendaknya orang tua tidak melulu memberi hukuman fisik. Sebab, pada zaman sekarang, hukuman fisik terkadang tidak memberi banyak manfaat. Bahkan, yang terjadi adalah anak menjauh, enggan menerima kebenaran dan petunjuk. Oleh karena itu, orang tua harus lebih bijaksana dan penuh hikmah ketika memberi hukuman.
Orang tua semesti nya juga memberikan anjuran kepada anak untuk berbuat ketaatan. Di samping itu, orang tua berusaha menjauhkan mereka dari segala jalan kemungkaran, baik di rumah, di jalanan, maupun kemungkaran yang bersumber dari teman-teman mereka.
Hanya saja, semua ini tetap dilakukan tanpa kekerasan, tetapi dengan sikap yang bisa menumbuhkan penerimaan. Bisa jadi, dengan memberi targhib (anjuran) dan terkadang dengan tarhib (ancaman). Yang seperti ini tentu akan lebih memberi manfaat.
Di antara metode terbaik untuk mendidik anak berusia remaja ini adalah memilihkan teman yang baik. Dalam usia ini, anak tidak hanya membutuhkan hubungan dengan orang tua dan saudara-saudaranya semata. Mereka juga membutuhkan teman. Terkadang, dari teman inilah mereka justru bisa menerima saran atau bimbingan.
Manakala ada salah seorang teman mereka yang baik, saleh, dan bisa dipercaya, hendaknya orang tua mendorongnya agar mau berteman dengan si anak. Di sisi lain, anak pun diberi motivasi agar mau berteman dengannya.
Sikap-sikap seperti ini mestinya diperhatikan dan diterapkan oleh orang tua. Akan tetapi, kenyataannya hal-hal di atas sering terluputkan.
Sering didapati berbagai kerusakan terjadi dalam rumah tangga. Ternyata salah satu sebabnya adalah kelalaian orang tua terhadap kewajibannya terhadap anak. Mereka tidak berupaya membenahi keadaan anaknya, tidak pula berusaha menanamkan kecintaan si anak terhadap kebaikan. Setelah kerusakan terjadi, barulah mereka mengeluh.
Oleh karena itu, orang tua harus benar-benar menempuh jalan yang dituntunkan oleh syariat dalam menyikapi anak-anaknya. Jangan sampai ada penyesalan karena orang tua tidak menempuh jalan yang syar’i, hingga terjadi atau terlihat sesuatu yang tidak selayaknya terjadi.
Hendaknya orang tua benar-benar mempelajari bagaimana harus bersikap terhadap anak, bagaimana melaksanakan pendidikan anak, bagaimana upaya yang harus dilakukan, dan bagaimana cara memperbaiki kondisi anak.
Dengan semua itu, insya Allah pendidikan yang baik akan terwujud. Sikap orang tua terhadap anak pun akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam syariat ini.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(Diterjemahkan d dari tulisan Fadhilatusy Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah yang berjudul Ta’amul al-Mar’i Ma’a Auladihi)
BACA JUGA :
Ajukan Pertanyaan atau Komentar