Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Hukum Seputar Janin

HUKUM SEPUTAR JANIN

 HUKUM SEPUTAR JANIN

إنّ الحمد لله, نحمده ونستعينه و نستغفره, ونعوذ با لله من شرور أنفسنا ومن سيّئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضلّ له, ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إلّا الله وحده لا شريك له, وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله.

Dinamakan janin, karena wujudnya yang tersembunyi di dalam perut ibunya dan setiap unsur kata yang terdiri dari huruf al-Jim (ج) dan an-Nun (ن) menunjukkan atas ketertutupan dan ketersembunyian-yian, seperti “al-jinn” atau pun “al-Jannah” dan “Janin” semuanya menunjukkan makna bahwa hal tersebut, yakni surga,jin dan janin, adalah sesuatu yang tersembunyi dan tertutup. Sebagian ahli bahasa berkata : “Selama seorang anak itu berada di dalam perut ibunya maka dia disebut janin. Apabila telah dilahirkan, selama dia masih mengkonsumsi ASI, maka dia disebut dengan bayi, apabila dia telah disapih, maka dia disebut dengan anak-anak atau balita sampai dia berusia 7 tahun. Demikian yang disebutkan oleh Imam al-‘Aini رحمه الله

Adapun hukum-hukum yang berhubungan dengan janin adalah sebagai berikut:

  1. Tidak menganiaya janin dengan jenis penganiayaan apapun, dan diantara salah satu penganiayaan tersebut adalah aborsi

Aborsi yang mana sudah sangat banyak sekali prakteknya di masa ini, Allahu Musta’an, maka hukum asal dari aborsi adalah tidak diperbolehkan. Karena perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk penganiayaan terhadap cikal bakal janin yang Allah simpan di rahim ibunya dan itu merupakan sebuah amanah yang wajib bagi mereka untuk menjaganya. Dalil yang menunjukkan atas hal ini adalah perkataan Allah سبحانه وتعلى :

ألم نخلقكم من مآء مهين , فجعلنه فى قرار مكين , إلى قدر معلوم , فقدرنا فنعم القدرون

“Bukankah kami menciptakan kamu dari air yang hina (mani), kemudian kami letakkan ia dalam tempat yang kukuh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, lalu kami tentukan (bentuknya), maka (kamilah) sebaik-baik yang menentukan.” (QS. al-Mursalat 20-23)

Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar menjaga cikal bakal janin tersebut yakni dari setetes air mani, baik dia berasal dari cara yang halal maupun cara yang haram, telah shaih hadits sahabat “Imran bin Husain” beliau berkata :

عن عمران بن حصين انّ امرأة من جهينة أتت نبي الله وهي حبلى من الزنى فقالت يانبي الله أصبت حدا فأقمه  عليّ فدعا نبيّ الله وليّها فإذا وضعت فأتني بها ففعل فأمربها نبيّ الله فشكت عليها ثيابها ثم أمربها فرجمت ثم صلّى عليه فقال له عمر تصلي عليها يانبيّ الله وقد زنت فقال لقد تابت توبة لو قسمت بين سبعين من أهل المدينة لوسعتهم وهل وجدت توبة أفضل من أن جادت بنفسها لله تعالى. رواه مسلم (3209)

Artinya: “Telah menceritakan kepadanya dari ‘Imran bin Hushain, bahwa seorang wanita dari Juhainah datng menghadap kepada nabi, padahal dia sedang hamil akibat melakukkan zina. Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melanggar hukum, oleh karena itu tegakkanlah hukuman itu atasku.” Lalu Nabi Allah memanggil wali perempuan itu dan berkata kepadanya: “Rawatlah wanita ini sebaik-baiknya, apabila dia telah melahirkan, bawalah dia ke hadapanku.” Lalu walinya melaksanakan pesan tersebut. Setelah itu nabi memerintahkan untuk merajam wanita tersebut, maka pakaian wanita tersebut dirapikan (agar auratta tidak terbuka saat dirajam). Kemudian beliau perintahkan agar ia diraja. Setelah dirajam, beliau menshalatkan jenazahnya, namun hal itu menjadikan Umar bertanya kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, perlukah dia dishalatkan? Bukankah dia telah berzina?” beliau menjawab: “Sungguh, dia telah bertaubat kalau sekiranya taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti taubatnya akan mencukupi mereka semua. Adakah taubat yang lebih utama dari pada menyerahkan nyawa kepada Allah Ta’ala secara ikhlas?” HR. Muslim (3209).

Imam an-Nawawi رحمه الله menjelaskan kosakata yang sukar dalam hadits tersebut, beliau berkata “dalam kebanyakan cetakan/manuskripnya, lafadz haditsnya adalah “fasyukkat” dan di dalam sebagian manuskrip lainnya adalah “fasyuddat” dengan menggunakan ad-dal sebagai pengganti al-kaff, itu sama saja semakna dengan kata yang pertama.”

Perhatian dan kepedulian syariat islam terhadap janin dalam kandungan ibunya

Rasulullah telah menjelaskan dan menetapkan ad-diyah (pembayaran denda/uang tebusan) bagi mereka yang membunuh janin, sedangkan dia berada di dalam kandungan ibunya, dan ketika janin tersebut terpisah dari jasad ibunya untuk membayar diyat (tebusannya) sebanyak 1/10 diyat ibunya (diyat perempuan adalah separuh dari diyat laki-laki,apabila diyat laki-laki adalah 100 ekor untu, maka perempuan adalah 50 ekor unta. Maka 1/10 tersebut nilainya setara dengan 5 ekor unta. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim, beliau berkata:

أنّ أبا هريرة قال اقتتلت امرأتان من هذيل فرمت إحداهم اللأخرى بحجر فقتلتها وما في بطنها فاختصموا إلى رسول الله فقضى رسول الله أنّ دية جنينها غرّة عبد أو وليدة وقضى بدية المرأة على عاقلتها وورّسها ولدها ومن معهم فقال حمل بن النابغة الهذليّ يارسول الله كيف أغرم من لا شرب ولا أكل ولا نطق ولا استهلّ فمثل ذلك يطلّ فقال رسول الله إنّما هذا من إخوان الكهّان من اجل سجعه الّذي سجع. متفق عليه

Artinya: “ Bahwa Abu Hurairah berkata, “Dua wanita Bani Hudzail sedang berkelahi, yang satu melempar lawannya dengan batu sehingga menyebabkan kematiannya dan kematian anak yang dikandungnya. Lalu mereka mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah. Beliau lalu memberi putusan bahwa (diyat) denda bagi janin tersebut adalah ia harus membayar dengan ghurrah : seorang budak yang mahal, baik itu budak laki-laki atau perempuan. Sementara (diyat) denda untuk wanita (yang terbunuh, yakni si ibu janin) dibebankan kepada kerabat dekat wanita (si pembunuh). Dan beliau menetapkan bahwa harta warisan (wanita yang terbunuh) untuk anak laki-lakinya dan orang yang bersama mereka. “Hamal bin Nabighah Al-Hudzali (wali wanita pembunuh) berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana aku harus menanggung orang yang belum bisa makan dan minum, bahkan belum bisa berbicara ataupun menjerit sama sekali? Bukankah itu sebuah kesia-siaan belaka?” Mendengar hal itu Rasulullah pun bersabda: “ Hanya saja ini (perkataan Hamal) seperti saudara-saudaranya dukun, karena sajak/ mantra yanng ia ucapkan.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Penulis menjelaskan kosa kata yang sukar dalam hadits yakni lafadz “yutoll” dengan mendhommakan al-ya dan mentasydidkan al-lam. Artinya adalah tidak ada sesuatu atasnya, tidak ada nilainya.

Kalimat “wa huwa fi batni ummihi” (dia berada di dalam perut ibunya) menunjukkan bahwa apabila janin tersebut terbunuh dan dia tidak berada di dalam perut ibunya, maka tidak termasuk ke dalam maksud teks ini, apabila telah diketahui bahwa bayi tersebut hidup setelah keluar dari perut ibunya, maka hukum membunuh bayi tersebut adalah di qishash (nyawa dengan nyawa), adapun apabila perbuatannya tersebut dimaafkan oleh keluarga si bayi maka bagi si pembunuh untuk membayar diyat secara sempurna (yakni senilai 50 ekor unta apabila itu adalah bayi perempuan dan 100 ekor unta apabila itu adalah bayi laki-laki). Baginya melaksanakan kaffarah pembunuhan yakni membebaskan seorang budak mukmin dan apabila tidak mampu, maka berpuasa 2 bulan berturut-turut.

Kalimat “in-infasol” (apabila telah terpisah dari perut ibunya) menunjukkan bahwa tidak termasuk ke dalam maksud teks ini adalah janin tersebut tidak keluar dari perut ibunya, yakni dia telah meninggal di dalam perut ibunya, maka dalam hal ini tidak ada hukuman baginya, tidak juga membayar diyat dan tidak juga membayar ghurroh (1/10 diyat ibunya). Kemudian apabila ibunya tersebut meninggal maka baginya qishah atau apabila dimaafkan oleh keluarga korban maka baginya membayar diyat dan melaksanakan kaffarah pembunuhan sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Kalimat “maytan” (mayat/mati) menunjukkan sesuatu yang tidak termasuk ke dalam maksud teks ini adalah ketika janin tersebut keluar dari ibunya dan dia dalam keadaan hidup, apabila janin yang keluar dari ibunya dalam keadaan hidup kemudian meninggal dalam keaddaan sakit yang disebabkan kejahatan seperti pukulan, tubrukan, hantaman di perut dan lain sebagainya, maka bagi si pembunuh membayat diyat secara sempurna untuk kematian bayi dan baginya kaffarah pembunuhan. Adapun apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup dan sehat, tidak terlihat sakit karena sesuatu yang dilakukan kepadanya ketika di dalam perut ibunya, kemudian dia meninggal, maka tidak ada pembayaran diyat kepadanya.

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan hukum-hukum pembunuhan terhadap janin yang masih berada di dalam perut ibunya adalah sebagai berikut:

a). Jumlah pembayaran diyat janin, yang paling sedikit adalah senilai 5 ekor unta dan hal tersebut harus memenuhi 2 syarat :

-Syarat yang pertama adalah janin dibunuh ketika di perut ibunya

-Syarat yang kedua adalah janin tersebut keluar dari perut ibunya dalam keadaan tidak bernyawa.

Maka apabila kedua syarat ini terpenuhi, maka bagi si pembunuh diyat senilai 5 ekor unta dan itu adalah 1/10 diyat ibunya atau setengah 1/10 diyat sempurna (diyat laki-laki adalah 100 unta, 1/10 adalah 10 unta, setengahnya adalah 5 unta).

b). Apabila janin yang dibunuh adalah janin yang sudah dilahirkan, maka dikenakan hukum qishash bagi si pembunuh, karena telah membunuh bayi atau apabila dia telah dimaafkan dari qishash, maka baginya membayar diyat secara sempurna yakni 50 ekor unta apabila perempuan dan 100 ekor unta apabila bayi laki-laki serta wajib baginya melakukan kaffarah pembunuhan.

c). Apabila si janin telah dibunuh di dalam perut ibunya dan ketika keluar dari perut ibunya ternyata kita dapati bahwa bayi tersebut dalam keadaan hidup, maka dalam hal ini ada perincian pada hukumnya.

– Pertama, apabila si bayi keluar dari perut ibunya dalam keadaan hidup dan tidak ada tanda-tanda sakit padanya, kemudian setelah itu dia meninggal, maka tidak ada hukum yang berlaku terhadapnya.

– Kedua, apabila si bayi keluar dari perut ibunya dalam keadaan hidup dan terdapat padanya tanda-tanda sakit serta diketahui sakitnya tersebut adalah bekas dari penganiayaan, pukulan sewaktu di dalam perut ibunya, kemudian setelah itu dia meninggal, maka bagi si pembunuh untuk membayar diyat dan kaffarah pembunuhan.

Sifat janin yang harus dibayarkan 1/10 diyat ibunya (Ghurrah)

Menurut ulama syafi’iyyah, ghurrah berlaku untuk janin yang hanya berwujud sepotong daging yang sudah berbentuk menyerupai manusia, meskipun masih samar, seperti tangan yang masih tersembunyi atau belum sempurna. Semua itu apabila mendapatkan persaksian dari qawabil (orang-orang yang membantu dalam proses kelahiran) baik itu 4 orang perempuan atau 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan atau 2 orang laki-laki dewasa. Apabila mereka mengatakan bahwa pada janin itu sudah terdapat bentuk penciptaan meskipun masih samar, maka pembunuhnya harus membayar ghurrah, berbeda apabila mereka mengatakan bahwa janin tersebut belum terdapat tanda-tanda penciptaan, maka tidak ada ghurrah padanya. (Ahmad al-Qalyubi, Ahmad Umairah, Hasyita Qalyubiy wa ‘Umairah, kadar ghurrah, (Beirut: Dar el Fikr, 1415 AH/1995 M), Juz. IV, hlm. 161.)

Tidak dapat menyebutkan sebagai janin. Apabila yang keluar adalah segumpal daging dan hal itu dipersaksikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya daripada qawabil (orang-orang yang membantu proses kelahiran, seperti perawat, bidan, dokter, dll) dan mereka berkata bahwa sesungguhnya pada segumpal daging tersebut terlihat wujud manusia meskipun samar, maka disana terdapat hukum ghurrah.

Apabila orang-orang yang membantu proses kelahiran tersebut menyaksikan bahwa daging tersebut hanyalah merupakan proses awal penciptaan manusia yang akan terbentuk wujudnya, apabila janin dibiarkan sedikit lebih lama, maka akan terjadi proses penciptaan, dalam hal ini ada dua pendapat.

Yang pertama, pendapat ini adalah adalah yang paling mendekati kebenaran, yaitu tidak ada ghurrah padanya karena dia belum diciptakan, maka tidak wajib membayar diyat ghurrah atasnya, hukumnya sama seperti segumpal darah biasa, karena kaidah asalnya adalah baroatudz dzimmah. Maka hendaknya kita tidak menetapkan hukum ghurrah dengan dibangun diatas keragu-raguan, karena sejatinya janin tersebut belum tercipta sebagai manusia, maka tidak dapat ditetapkan hukuman ghurrah atas pelakunya.

Adapun pendapat yang kedua, adanya ghurrah, karena janin tersebut telah memasuki proses awal penciptaan makhluk dan dapat menyerupai makhluk apabila dibiarkan sedikit lebih lama, akan tetapi hal itu terbantahkan dengan keadaan nutfah dan ‘alaqah, karena nutfah dan ‘alaqah juga termasuk tahap awal penciptaan, tapi tidak ada pada keduanya ghurrah. Maka mudhgoh pun diberikan hukum yang sama dengan hukum nutfah dan ‘alaqah apabila dia belum terjadi pembentukan dan penciptaan.

Permasalahan Aborsi, apakah boleh melakukan aborsi terhadap janin dalam keadaan darurat/ mendesak?

Janin itu memiliki 3 fase, yaitu nutfah (air mani) kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal daging) dan ketika sudah menjadi segumpal daging, selanjutnya akan ditiupkan roh kepadanya. Dalam keadaan yang mendesak, perbuatan aborsi diperbolehkan ketika janin tersebut belum ditiupkan roh kepadanya dan semua itu boleh dilakukan apabila para dokter yang menanganinya menetapkan hal tersebut, bahwa apabila janin tersebut tetap berada di dalam rahim ibunya, akan menyebabkan bahaya besar bagi ibunya bahkan kematian. Maka dalam hal ini perbuatan aborsi boleh dilakukan , atau yang lebih kita kenal dengan istilah operasi “kuretase”.

Perbuatan ini juga diperbolehkan dengan mempertimbangkan kaidah yakni “irtikab akhoffud dhararain” yang bermakna memilih 1 hal yang lebih ringan kerusakannya di antara 2 hal yang sama-sama ada padanya kerusakan. Hal lainnya adalah untuk menjaga keselamatan dan kesehatan ibu dari janin tersebut. Tidak diperbolehkan melakukan perbuatan aborsi pada 3 fase tersebut, apabila tidak ada sesuatu yang mendesak, yang dapat membahayakan kesehatan ibunya. Sebagaimana alassan yang sudah tertera sebelumnya.

  1. Tahapan yang pertama : Aborsi ketika janin berusia di bawah 40 hari dan tidak dalam keadaan darurat.

Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat menjadi 2 pendapat.

Pendapat yang pertama, aborsi ketika janin berusia di bawah 40 hari adalah haram dan ini adalah pendapat yang diambil oleh madzhab imam Malik, madzhab dzohiriyyah serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rajab al-Hanbaly Imam al-‘Izz bin Abdus Salam, dan Ibnu Jauzi.

Menurut Abul Barakat, Ahmad ad-Dardiri al-Maliki, “tidak boleh mengeluarkan mani yang telah terbentuk di dalam rahim meskipun sebelum 40 hari dan apabila janin tersebut sudah ditiupkan ruh padanya, maka menggugurkannya adalah haram dengan kesepakatan ulama (haram secara Ijma’) dan ini adalah pendapat dalam madzhab Imam Malik.

Ibnu Rajab berkata; “sebagian ahli fiqih telah meringankan hukum untuk perempuan dalam menggugurkan apa yang ada dalam perutnya (janin), selama janin tersebut belum ditiupkan ruh kepadanya dan mereka menyamakan hukum aborsi tersebut seperti hukum ‘Azl (mengeluarkan mani diluar rahim), ini pendapat yang lemah. Karena janin adalah anak dari hasil bersatunya kedua air mani dari orang tuanya dan boleh jadi janin tersebut sudah terbentuk wujud manusianya, sedangkan dalam masalah ‘Azl tidak adda bentuk anak sama sekali secara keseluruhan.

Menurut penulis: “dan disana terdapat perbedaan antara aborsi dan ‘azl, yang mana aborsi itu adalah sebuah tindakan kejahatan terhadap sesuatu yang ada wujudnya di dalam rahim, berbeda dengan ‘azl yang belum ada wujudnya di dalam rahim, maka tidak tepat apabila menyamakan hukum aborsi seperti hukum ‘azl.

Diringkas oleh               : Asandri Abu Uwais (pengajar di ponpes darul Qur’an wal Hadits Ogan Komering Ulu timur sumsel)

Judul                                 : Hukum seputar janin

Judul Buku                     : Fiqih seputar hukum kelahiran

Cetakan pertama          : Februari 2021

Cetakan kedua               : September 2021

Penerbit                           : Sinnaur press

Penulis                              : Syaikh Umar bin ‘Awadh bin Dahmasy al-Gharieb

Baca juga artikel:

Hanya Membutuhkan Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam

Begitu Indahnya Agama Islam

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.