Perundungan dari Sudut Pandang Islam

PERUNDUNGAN DARI SUDUT PANDANG ISLAM

PERUNDUNGAN DARI SUDUT PANDANG ISLAM

Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai sosial, terlebih lagi dalam masalah pergaulan, sebagaimana diterangkan dalam sabda Nabi ﷺ,

‌الْمُؤْمِنُ ‌الَّذِي ‌يُخَالِطُ ‌النَّاسَ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih besar pahalanya dibandingkan seorang mukmin yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bisa sabar atas gangguan mereka.” (HR. Ibnu Majah, no. 4032. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Seseorang yang bergaul dengan orang lain tidak akan lepas dari tiga keadaan:

  1. Berbuat baik kepada mereka baik dalam segi harta, perbuatan, maupun akhlak. Tidak terlalu mengoreksi, banyak memberikan uzur, dan tidak menyulitkan mereka sehingga menyakiti mereka.
  2. Memerintahkan mereka pada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar.
  3. Berpaling dari orang-orang bodoh dan tidak menyibukkan diri meladeni mereka.

Ketiga hal ini terkandung dalam firman Allah ﷻ,

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Tipikal dan tabiat orang memang berbeda-beda. Oleh karena itu, Islam menunjukkan cara menyikapinya, sehingga yang muncul adalah kebaikan, bukan keburukan. Tidak semua keburukan disikapi dengan respon yang sama; aspek kemaslahatan perlu diperhatikan di balik tindakan tersebut, sebagaimana Allah ﷻ firmankan,

اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ السَّيِّئَةَۗ

“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. Al-Mukminun: 96)

Islam tidak mengenal istilah kasta dan hirarki karena kemuliaan dan kehormatan dalam Islam tidak terikat pada fisik, materi, keturunan, dan jabatan. Semua itu hanya penilaian yang bersifat subjektif. Oleh sebab itu, dalam Islam ditetapkan sebuah standar yang lebih objektif dan universal yang semua kalangan dapat memperolehnya, yaitu ketakwaan. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Nilai inilah yang menjadi acuan dan terbawa dalam setiap interaksi muslim, baik di keluarga, teman, tetangga, dan masyarakat pada umumnya. Nabi ﷺ juga berpesan dalam sabdanya, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain; dia tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya terzalimi.” (HR. Bukhari, no. 2442 dan Muslim, no. 2580)

Prinsip diatas juga berlaku dalam interaksi seorang muslim dengan orang non muslim untuk perkara duniawi. Allah ﷻ berfirman,

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Dalam hal keagamaan, seorang muslim wajib berlepas diri dari berbagai ritual agama lain. Kendati demikian, seorang muslim tidak boleh mencela sesembahan atau ritual agama tersebut. Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)

Islam jelas mengharamkan karena termasuk kezaliman; kezaliman dalam bentuk apa pun diharamkan dalam Islam. Salah satu dalil yang menunjukkan keharaman perundungan adalah firman Allah ﷻ,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)

Nabi ﷺ bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain; dia tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya terzalimi.” (HR. Bukhari, no. 2442 dan Muslim, no. 2580)

Dalam sabdanya yang lain disebutkan, “Seorang muslim (sejati) adalah seorang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari, no. 10 dan Muslim, no. 40)

Bentuk-Bentuk Perundungan

Perundungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:

  1. Perundungan secara verbal: Berupa sebutan nama, hinaan, fitnah, kritikan kejam, menghina, perkataan yang nuansanya ejekan seksual, atau pelecehan seksual, teror, surat menyurat yang melakukan intimidasi, sangkaan yang tidak benar kasak-kusuk, tuduhan yang keji dan dusta, gosip, dan lainnya.
  2. Perundungan secara fisik: Berupa pemukulan, penendangan, penamparan, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan perusakan serta penghancuran barang-barang milik individu yang ditindas.
  3. Perundungan secara relasional: Berupa pelemahan martabat korbannya dengan sistematik dengan cara mengabaikan, mengucilkan, atau menjauhi. Tindakan perundungan tersebut bisa meliputi tingkah laku yang disembunyikan, misalnya pandangannya yang agresif, lirikan matanya, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek, dan gestur tubuhnya yang mengejek.
  4. Perundungan elektronik: Perundingan yang dilaksanakan tersangkanya dengan media elektronik, misalnya dengan komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS, dan sebagainya.

Faktor yang memicu tindakan perundungan terdiri atas faktor internal maupun eksternal.

  1. Faktor internal
  2. a) Karakteristik kepribadian. Menurut ilmu psikologi, kepribadian manusia terbagi menjadi dua; introvert (tipe kepribadian seseorang yang tertutup) dan ekstrovert (tipe kepribadian seseorang yang terbuka). Tipe kepribadian ekstrovert cenderung lebih terbuka terhadap lingkungan, aktif, bersikap lebih agresif — bahkan bertindak tanpa berpikir panjang, dan cenderung impulsif. Sebaliknya, kepribadian introvert cenderung pasif dan tertutup terhadap lingkungan. Dengan demikian, pada umumnya perundungan dilakukan oleh individu yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert.
  3. b) Kekerasan yang dialami pada masa lalu. Tindakan kekerasan bisa berasal dari pengalaman masa lalu yang dilihat secara langsung. Penglihatan seseorang pada sekitarnya yang bertindak kekerasan membekas pada dirinya dan selanjutnya menirunya.
  4. c) Tingkat emosi. Kemampuan individu dalam mengontrol emosi diri secara efektif akan menghasilkan daya tahan yang baik dan kemampuan dalam mengatasi masalah. Tingkat emosi berhubungan erat dengan pola asuh orang tua; orang tua yang menerapkan pola asuh yang kasar akan membentuk anak dengan tingkat emosi yang buruk dan memiliki tingkat agresivitas yang tinggi.
  5. d) Perasaan berkuasa. Rasa berkuasa menjadikan suatu alasan siswa melancarkan perundungan. Pelaku merasa bangga jika dipandang hebat dan siswa lain menyukainya. Tindakan perundungan ini merupakan usaha untuk mencari perhatian kepada teman sebayanya yang dapat memicunya mengulangi perilaku tersebut.
  6. Faktor eksternal
  7. a) Keluarga. Hubungan yang hangat dalam keluarga akan berdampak baik bagi anak. Pola Pendidikan juga berpengaruh terhadap baik atau buruknya mental anak.
  8. b) Sekolah. Di sekolah, anak menghabiskan cukup banyak waktu. Hal tersebut menjadi salah satu ruang pengembangan karakter siswa. Patut disayangkan jika pihak sekolah justru sering mengabaikan fungsinya sebagai media pengembangan diri dan kematangan pribadi anak. Akibatnya, fenomena perundungan tumbuh berjamuran tanpa pencegahan dan penanganan yang memadai. Alhasil, siswa yang menjadi pelaku perundungan merasa memperoleh penguatan terhadap perilakunya dalam mengintimidasi siswa lain.
  9. c) Kelompok sebaya. Teman sebaya, sebagai lingkungan sosial untuk remaja, memiliki kontribusi penting bagi tumbuh kembang karakternya. Salah satu pengaruhnya tampak dalam pengembangan identitas diri dan pengembangan kecakapan berkomunikasi antar individu dalam pergaulan dengan teman sebayanya. Sebagian anak melakukan perundungan demi menunjukkan kapabilitasnya untuk memasuki lingkaran pertemanan tertentu, walaupun terkadang mereka sebenarnya merasa tidak nyaman dan mereka paham bahwa perbuatannya itu keliru.
  10. d) Kondisi lingkungan sosial. Kemiskinan adalah salah satu kondisi lingkungan sosial yang dapat memicu perundungan. Sebagian anak melakukan perundungan karena kebutuhan hidup, sehingga tindakan perundungannya juga disertai dengan perampasan atau pengambilan barang anak lain secara paksa.

Perundungan membawa dampak negatif dari berbagai sisi.

1) Dampak terhadap korban. Misalnya: kurangnya minat untuk menyelesaikan tugas sekolah, sering bolos, menurunnya prestasi, kurangnya pergaulan dengan teman-teman, emosional (labil), sering mengalami berbagai keluhan fisik (sakit kepala, sakit perut, nafsu makan menurun, atau susah tidur), sering terlihat adanya luka dan memar di tubuh, atau barang-barang pribadinya banyak yang hilang karena dirampas secara paksa atau dicuri oleh pelaku perundungan.

  1. Dampak terhadap pelaku. Misalnya: rendahnya prestasi, senang menyendiri, merokok, memakai narkoba, dan munculnya perilaku yang mengarah pada tindakan kekerasan dan anarkis, sering bolos sekolah, sikap yang menentang orang tua atau orang dewasa, atau terlibat dalam tindak pidana.
  2. Dampak terhadap saksi. Anak yang menyaksikan perundungan yang menimpa temannya akan merasa imbas pada mentalnya. Imbas tersebut tergantung pada intensitas perundungan yang dia lihat. Dampak tersebut tampak dalam bentuk phobia yang berlebihan, kecemasan saat akan berangkat sekolah, ketidaknyamanan apabila berada di sekolah, trauma, rasa benci terhadap tersangka bullying, dan konsentrasi yang rendah dalam mengikuti pelajaran.

Dalam menangani fenomena perundungan, semua pihak harus bekerja sama: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Yang paling penting, tetapi terkadang dilupakan, adalah melibatkan pelaku, korban, dan saksi juga harus ikut andil di dalamnya.

Korban perlu memahami hal berikut ini:

  1. Pada dasarnya manusia itu sama. Perbedaan dan kemuliaan mereka hanya terletak pada iman dan ketakwaan.
  2. Kezaliman dalam bentuk apa pun diharamkan dalam Islam. Terlebih lagi, kezaliman tersebut terhitung sebagai “utang” yang akan harus dibayar di akhirat kelak.
  3. Menyakiti dan merendahkan orang lain merupakan akhlak jahiliyah.
  4. Perundungan menyebabkan pelakunya menjauh dari ketaatan kepada Allah dan tuntunan Rasul-Nya menuju kemurkaan dan laknat-Nya.
  5. Setiap muslim hendaknya memohon perlindungan Allah ﷻ dari godaan setan.
  6. Setiap muslim selayaknya menjadi teladan baik bagi orang lain.
  7. Tidak ada seorang pun yang maksum (terlepas dari dosa dan kesalahan) kecuali para nabi.
  8. Pentingnya menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda, serta meninggalkan perkara yang bisa menyakiti orang lain tanpa disadari, misalnya bercanda berlebihan atau nge-prank.
  9. Wajibnya menjaga hak-hak sesama muslim. Umat muslim bagaikan satu tubuh: apabila seorang muslim tersakiti maka sejatinya itu bagai menyakiti muslim yang lain. Ukhuwah islamiah perlu diperkuat, tinggalkan persaingan yang tercela, serta hilangkan kebencian dan hasad dengan sesama muslim.
  10. Seorang muslim perlu menahan amarah dan belajar memaafkan, serta bersikap adil dan tidak membeda-bedakan orang saat bergaul.

Korban perlu memahami hal berikut ini:

  1. Percaya dan tawakal kepada Allah ﷻ, bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat dan mudharat melainkan atas izin-Nya.
  2. Menjaga privasi dan rahasia; jangan mudah menyebarkannya kepada orang lain.
  3. Meminimalkan pergaulan sesuai kebutuhan.
  4. Menguatkan karakter dan mental.
  5. Belajar membela diri dan tidak pasrah terhadap sikap semena-mena orang lain terhadap dirinya.

Lingkungan sekitar (keluarga, sekolah, dan masyarakat) perlu melakukan hal berikut ini:

  1. Berdiskusi dengan pelaku dan berusaha melakukan perubahan dengan cara yang lembut dan baik.
  2. Memberikan hukuman yang sesuai pada pelaku.
  3. Menciptakan lingkungan dan pergaulan yang baik.
  4. Menolong dan menopang korban perundungan.
  5. Memperkuat edukasi agama dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar.

Demikian yang dapat Penulis jelaskan tentang masalah perundungan dalam Islam. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat untuk kita semua. Akhir kata, kami memohon kepada Allah ﷻ dengan segala asma’ dan sifat-Nya agar memberkahi dan meridhoi tulisan ini. Wabillahi taufiq ila aqwamith thariq.

Referensi: Ditulis oleh: Abdullah Yahya An-Najah, Lc.

Majalah HAI Edisi 66 Dzulhijjah 1445 H.

Diringkas oleh: Aryadi Irwansyah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).

Baca juga artikel:

Hukum Amar Makruf Nahi Mungkar dan Macam-Macam Kemungkaran

Wasiat Salaf dalam Menjaga Lisan

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.