Memahami Takdir Secara Adil

memahami takdir secara adil

Memahami Takdir Secara Adil – Segala puji hanya milik Allah yang telah menetapkan takdir-takdir makhluk-Nya sebelum diciptakannya langit dan bumi. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi agung kita Nabi Muhammad, Dia lah suriteladan kita hingga akhir zaman. Bagi sebagian orang asing, memahami masalah takdir tidaklah mudah. Buktinya, dalam hal ini banyak di antara kaum muslimin  yang terjebak pada salah satu di antara dua kutub kesesatan yang saling berlawanan.

Pertama, kesesatan jabariyah. Yaitu golongan yang berlebihan dalam masalah takdir hingga menganggap bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan tidak memiliki pilihan untuk berbuat. Semua serba dipaksa oleh Allah, laksana gerakan getar tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh pemiliknya.

Kedua, kesesatan qodariyah. Yaitu golongan yang berlebihan menolak takdir hingga semua kegiatan manusia tidak di campuri oleh Allah dan kehendak-Nya.

Mengapa demikian ? Sebab dalam memahami takdir, sebagian orang lebih banyak berpijak pada asas logika. Padahal masalah takdir termasuk perkara ghaib yang tidak akan dapat dijangkau detail-detailnya hanya berdasarkan logika. Bukan wilayah logika untuk memahami takdir dengan tuntas, ia harus dipahami berdasarkan wahyu dan keimanan. Ketika takdir sudah terjadi pun, kadang orang tidak mampu menangkap hikmah yang terkandung di baliknya.

Yang pasti, takdir Allah harus diimani sebagaimana orang mengimani ketetapan syariat-Nya. Keduanya merupakan ketetapan Allah. Ketika orang menjalankan ketetapan-ketetapan syariat Allah dan mengimaninya, misalnya syariat shalat, orang juga harus mengimani ketetapan takdir Allah, misalnya takdir hidup, mati, laki-laki, perempuan, sakit, miskin, dan takdir-takdir lainnya. Karena semuanya berasal dari Allah, pencipta Alam semesta dan penetap syariat bagi sekalian hamba-Nya. Iman kepada takdir merupakan salah satu rukun dan asas keimanan di antara rukun iman yang ke enam. “Barang siapa yang mengingkari takdir, maka bukanlah ia seorang mukmin yang sesungguhnya.”

Rasulullah ketika ditanya oleh malaikat jibril alaihis salam tentang iman, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

Artinya: “Iman ialah jika engkau beriman kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, Para RasulNya hari akhirat dan jika engkau beriman kepada takdir, baiknya dan buruknya.” (HR. Muslim)

Jadi orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada takdir, dan beriman kepada rukun-rukun iman lainnya. Sebab takdir merupakan kekuasaan, kewenangan, dan kehendak Allah. Iman kepada takdir tidak bisa di pisahkan dengan kepada Allah dan kepada rukun-rukun iman lainnya semua saling terkait kuat. Maka orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhirat, harus pula beriman kepada takdir.

Sebagaimana halnya nama dan sifat-sifat Allah serta masalah gaib lainnya, takdir juga merupakan masalah yang diluar jangkauan akal manusia. Maka kebenaran dalam memahami takdir harus sesuai dengan petunjuk wahyu yang datangnya dari Allah, dzat yang maha menentukan takdir bagi segala sesuatu. Bukan dengan petunjuk logika ataupun perasaan orang yang serba terbatas.

Sama halnya ketika orang mengimani Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya pun, harus berdasarkan wahyu. Demikian pula ketika orang menjalankan dan mengimani syariat, juga harus sesuai dengan petunjuk wahyu. Dan diantara  wahyu Allah adalah sunnah Rasulullah, sebab beliau adalah utusan-Nya yang di percaya untuk menerima dan menyampaikan wahyu-Nya , baik berupa al-quran maupun sunnah. Dalam hal ini beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda;

ألاوإنى أوتيت القرآن ومثله معه

Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi wahyu al-Quran dan yang semisal al-quran (sunnah) didatangkan bersamanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Hadits ini menunjukan bahwa ada wahyu lain yang datang bersama Al-Quran, yaitu sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

URUTAN DALAM MENGIMANI TAKDIR

Supaya seorang muslim bisa benar dalam memahami dan mengimani takdir, maka ia harus memahami dan mengimani empat peringkat (perkara) takdir secara benar, seperti dinyatakan oleh para ulama. Imam Ibnu Qoyyim dalam kitabnya, Syifa’ul ‘Alil menyatakan pada bab kesepuluh tentang peringkat-peringkat qadha’ dan qadar. Barang siapa tidak mengimani peringkat-peringkat ini berarti ia belum beriman kepada qadha’ dan qadar. Lalu beliau menjelaskan peringkat-peringkat tersebut bahwa peringkat takdir ada empat :

Pertama, mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya.

Kedua, mengimani bahwa Allah menuliskan segala sesuatu itu di lauhil mahfudz sebelum kejadiannya.

Ketiga, mengimani bahwa Allah maha mengehendaki kejadian segala sesuatu itu.

Keempat,  mengimani bahwa Allah pasti menciptakan dan mengadakan segala sesuatu yang telah diketahuinya itu.

Itulah empat peringkat atau empat perkara yang hakikatnya merupakan takdir itu sendiri. Artinya, ketetapan takdir Allah pada hakikatnya tidak lepas dari ilmu pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu semenjak segala sesuatu itu belum ada, kemudian apa yang diketahuinya ini dituliskan di lauhil mahfudz, selanjutnya apa yang diketahui dan dituliskan itu pasti dikehendaki terjadinya oleh Allah. Terakhir, Allah pasti menciptakan dan mengadakan apa yang telah diketahui dan dikehendaki-Nya itu.

Takdir baik maupun buruk, iman atau kufur, semuanya merupakan takdir Allah, sebab Allah sudah mengetahui sebelumnya bahwa itu akan terjadi dan sudah dituliskannya dilauhil mahfudz, dengan demikian allah pasti mengehendaki terjadinya, dan jika Allah mengehendaki, pasti Allah mengadakannya.

Tidak mungkin Allah mengehendaki suatu kejadian sedangkan sebelumnya Allah tidak tahu. Atau mengetahui bahwa sesuatu akan terjadi, tetapi kemudian Allah mengehendaki yang lain. Misalnya,  seseorang yang sudah diketahui Allah bahwa ia akan mati kafir, maka tidak mungkin Allah mengehendaki agar ia tidak mati dalam keadaan kafir. Sebab antara ilmu dan kehendak Nya tidak mungkin saling berlawanan dengan apa yang dikehendakinya. Maha suci Allah dari hal-hal yang demikian. Tidak mungkin wilayah  kekuasaan-Nya terjadi sesuatu yang di luar kehendaknya.

Tetapi perlu dipahami bahwa sesuatu yang di kehendaki Allah tidak selalu identik dengan sesuatu yang disukai dan dicintai-Nya. Tidak setiap yang Allah kehendaki terjadi, pasti Allah sukai. Misalnya, homoseksual terjadi dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak menyukai kemaksiatan tersebut. Fakta semacam itu banyak sekali contohnya. Itulah yang disebut dengan iradhah kauniyah, kehendak Allah yang bersifat takdir. Salah satu contohnya adalah pencurian. Pencurian tidak akan terjadi tanpa kehendak kauniyah Allah. buktinya, banyak pencurian yang gagal, meskipun sudah dengan perhitungan yang super teliti. Sebab, Allah tidak mengehendaki pencurian itu terjadi.

Maka, terjadinya pencurian adalah karena kehendak Allah tetapi apakah lantas berarti pencurian itu diridhai oleh Allah? Tentu tidak. Jadi, tidak setiap yang Allah kehendaki terjadi, pasti Allah sukai. Empat peringkat itu sangat banyak dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah yang shahih. Dan bahkan merupakan kesepakatan seluruh para Nabi dan kitab-kitab-Nya.

Oleh sebab itu, berkaitan dengan empat peringkat takdir tersebut, Imam Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan, ringkasnya antara lain sebagai berikut: “Adapun yang pertama, yaitu bahwa Allah sudah terlebih dahulu mengetahui segala sesuatu sebelum itu terjadi. Ini sudah menjadi kesepakatan Rasul Allah, mulai dari Rasul Allah yang pertama hingga Rasulullah penutup. Demikian pula telah menjadi kesepakatan seluruh sahabat nabi serta umat Islam setelahnya yang mengikuti jejak mereka. Yang menyelisihi kesepakatan mereka adalah golongan majusinya umat Islam ini. Dan penulisan segala sesuatu di lauhil mahfudz sebelum kejadiannya, membuktikan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu itu sebelum terjadinya.

Beliau juga mengatakan hal yang sama tentang tingkat kedua, ketiga dan keempat, tentang penulisan takdir segala sesuatu di Lauhul Mahfudz, tentang kehendak Allah bagi terjadinya segala sesuatu dan tentang penciptaan segala sesuatu yang di kehendakinya bahwa hal itu semua juga sudah merupakan kesepakatan seluruh rasul Allah dan kesepakatan semua kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul-Nya.

Diantara dalil-dalilnya yang sangat banyak antara lain firman Allah Subhanahu Wata’ala:

إن الله عنده علم الساعة وينزل الغيث ويعلم ما فى الأرحام وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت إن الله عليم خبير

Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisinya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan dialah yang menurunkan hujan( yang mengandung berkah), dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa hasil yang diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui. Maha mengenal.” (QS. lukman/31: 34)

Dari Abu Hurairah Rhadiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:

مفاتيح الغيب خمس لايعلمها إلا الله: لايعلم ما فى غد إلا الله ولايعلم ماتغيض الأرحام إلاالله, ولايعلم متى يأتي المطر أحد إلاالله, ولاتدري نفس بأي أرض تموت,ولا يعلم متى تقوم الساعة إلاالله.

Artinya: “Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah; tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang berkurang dari rahim kecuali Allah, tidak ada seseorangpun yang mengetahui kapan hujan datang kecuali allah, tidak ada seorangpun di bumi mana dia mati, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat keculali Allah.” (HR Bukhari)

Dalam riwayat Ibnu umar dia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:

مفاتيح الغيب خمس,ثم قرأ: إن الله عنده علم الساعة…..

Artinya: “Kunci-kunci perkara ghaib ada lima lalu beliau membaca firman Allah (QS. Luqman ayat 34 yang artinya, ”Sesungguhnya Allah hanya pada sisinya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat.” (HR. Bukhari)

HIKMAH BERIMAN KEPADA TAKDIR

Ada banyak hikmah yang terkandung dalam beriman kepada takdir diantara-Nya bahwa, beriman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Disamping itu juga merupakan sempurnanya keyakinan seseorang terhadap tauhid rububiyah Allah kemudian, dengan beriman kepada takdir, akan terwujud tawakal yang benar kepada Allah tanpa mengabaikan usaha-usahapun orang akan merasa tenang dalam kehidupannya. Karna memahami bahwa apa yang menimpanya pasti memang harus menimpanya dan apa yang tidak akan menimpanya pasti tidak akan menimpanya. Dengan beriman kepada takdir, orang juga tidak akan membanggakan diri sendiri ketika berhasil memperoleh sesuatu yang di inginkannya,  dan tidak akan merasa sangat sedih ketika gagal memperolehnya. Sebab ia memahami bahwa kesuksesannya memperoleh sesuatu tidak lain kecuali karna ketetapan takdir dari Allah. Sedangkan usaha yang ia lakukan hingga berhasil mendapatkan sesuatu , bukan lain karna usaha itu merupakan sebab yang di mudahkan oleh Allah baginya. Adapun ketika gagal memperoleh sesuatu, ia pun memahami bahwa itu adalah ketetapan Allah, sehingga ia ridha menerimanya.

Allah telah mengisyaratkan dua sikap di atas; tidak bangga terhadap diri sendiri ketika sukses meraih cita-cita, dan tidak sedih secara berlebihan ketika gagal meraih sukses, dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:

مآأصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأهآ إن ذلك على الله يسير. لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما ءاتاكم والله لا يحب كلا مختال فخور.

Artinya: “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis  dalam kitab lauhil mahfudz sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap yang luput dari kamu, dan tidak pula menjadi bangga terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid/22: 23)

Demikianlah, sebenarnya sangat mudah memahami dan mengimani takdir Allah secara benar, yaitu hanya dengan tunduk kepada wahyu, dan tidak mendewakan akal. Akal harus tunduk kepada wahyu, bukan wahyu yang tunduk kepada akal. Sementara mengimani takdir tidak berarti meniadakan usaha, karena melakukan usaha merupakan perintah, sedangkan antara perintah dan takdir tidak bertentangan sama sekali.

REFERENSI:

Di ambil dari: Syarhu Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.