Kesucian Air Laut

KESUCIAN AIR LAUT

KESUCIAAN AIR LAUT

Sesungguhnya Segala Pujian hanyalah milik Allah Semata.  Kami memujinya memohon pertolongan dan meminta ampun kepadanya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri-diri kami dan kejelekan amal-amal perbuatan kami Barang siapa diberi hidayah oleh Allah niscaya tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa disesatkan oleh Allah niscaya tiada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya saya bersaksi  yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah Dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah hamba dan utusannya.

Nusantara terkenal dengan lautan yang mengelilinginya dan memisahkan antara pulau-pulaunya lautan bagi penduduk Indonesia merupakan salah satu sarana yang menghubungkan dan mengantarkan mereka mengenal serta mengetahui pulau-pulau yang ada di samping lautan juga menjadi salah satu sumber rezeki bagi banyak penduduk Indonesia khususnya kaum muslimin. Hubungan lautan dengan kita sangat erat, bagi berhubungan dengan airnya, hewannya maupun kandungannya. Sehingga sepantasnya kita mengenal seputar lautan dan kesuciannya dengan harapan dapat menjadi pencerahan terhadap kaum muslimin umumnya dan pada nelayan khususnya.

AIR LAUT SUCI MENSUCIKAN

Para ulama berbeda pendapat seputar hukum menggunakan air laut untuk bersuci. Yang rajin atau kuat adalah Pendapat yang menyatakan bahwa air laut itu suci dan mensucikan artinya boleh digunakan dalam bersuci baik ketika ada air yang lain ataupun ketika tidak ada air yang lain. Inilah pendapat mayoritas ulama dari para sahabat atau tabiin dan setelah mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar radhiallahu Anhu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu diriwayatkan juga dari agama bin amin ini pula pendapat dan lain-lain ini adalah pendapat yang menhazh fiqih

Diantara argumentasi pendapat ini adalah:

Firman Allah Subhanallah Wa Ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Artinya: “Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Kata air dalam air bersifat umum mencangkup semua air kecuali yang dikhususkan oleh dalil air laut termasuk dalam keumuman air tersebut adalah

اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُه مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۚوَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ

Artinya: “Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan darat, selama kamu sedang ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali).(QS. Al-Maidah: 96)

Sabda rasulullah ketika ditanya tentang air laut:

هو طهور ماءه الحلُّ ميتته

Artinya: “Air laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR dawud, tirmizi, an-nasai)

Sebagian ulama mengkalimah adanya ijma’ tentang air laut itu suci mensucikan, diantaranya Ibnu Yudha dari ulama Manhaj malikiyah dalam kitab Alfani halaman 44 menyatakan “air mutlak adalah yang masih ada pada masa penciptanya, maka ia Suci mensucikan secara ijma baik airnya tawar atau asin karena, baik dari laut, langit atau tanah.”

Penampilan ijma’ seperti ini lemah dan tidak benar sebagai benua aluminasir dalam 1/246 menyatakan, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku hafal dan aku temui bahwa orang yang bersuci dengan air itu sah kecuali air laut, karena ada pembeda pendapat dan berita dari para ulama terdahulu

Sedangkan Ibnu abdilbar dalam menyatakan, sepakat mayoritas ulama dan banyak sekali Iman imam-imam Fatwa di seluruh negeri dari kalangan ahli fiqih bahwa air laut itu suci dan wudhu diperbolehkan dengannya kecuali yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Al Khattab dan Abdullah Bin Abu Bin aqas diriwayatkan keduanya menaklukan berwudhu dengan laut wallahualam

BILA AIR LAUT BERUBAH

Apabila air yang banyak seperti air sungai dan air laut mengalami perubahan pada salah satu sifatnya: bau, frasa atau warnanya, maka perubahan ini memiliki dua keadaan.

  1. Sifat air laut tersebut berubah dengan cepat campuran benda suci yang dominan sehingga tidak lagi dinamakan air dan disebut dengan nama yang lain, misalnya minyak bumi atau selainnya karena minyak bercampuran dengan air laut lebih dominan. Dalam keadaan ini mayoritas ulama memandang air yang banyak atau air laut tersebut tidak sah menjadi alat bersuci. Ini yang ini yang shahih dari mazhab Hanafiah dan pendapat Abu Yusuf. Ini juga adalah pendapat mazhab malikiyah dan mamalia. Diantara argumen yang meracikkan pendapat ini adalah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاِۤئطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air untuk akun atau menyentuh perumpamaan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka saya muntah dengan tanah yang baik kamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al- maidah: 6)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mewajibkan tayamum bagi orang yang tidak menemukan air mutlak sehingga menunjukkan tidak bolehnya memakai zat cair selain air yang tidak memakai air secara mutlak.

b). Sifat air laut tersebut berubah dengan sebab campuran benda suci yang tidak sampai menghilangkan penamaan secara air. Hal ini ada dua macam:

  1. Campuran benda suci yang merubah sifat air tersebut termasuk yang susah sekali dipisahkan seperti warna hijau akibat air mengenang terlalu lama, atau lumut dan tumbuhan yang hidup di dalamnya. Juga kadang dedaunan yang jatuh ke air atau kayu dan sebagainya terbawa banjir sehingga mengotori air dan merubah sebagian sifat-sifat air lainnya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat para ulama akan terusnya air tersebut dan: para ulama akan kesucian air tersebut karena mutlak bercampur dengan benda suci dan tidak bisa dipisahkan dan tidak dominan juga, sehingga tetap dalam keadaan suci.
  2. Campuran benda sucinya tidak menghilangkan nama air darinya dan memungkinkan untuk dipisahkan seperti minyak bumi dan sejenisnya. Pada masalah ini ada perbedaan pendapat para ulama dalam dua pendapat:
  3. Pendapat mazhab malikiyah dan Shafiyah serta Amaliyah menyatakan tidak sama Suci dengan air yang merubah sifatnya karena tercampur benda suci yang bisa dipisahkan.
  4. Pendapat mazhab Hanafiah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad setan dirajikan atau dikuatkan Syahrul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan sampai Suci dengan air yang berubah sifatnya karena tercampur benda suci selama belum menghilangkan penamaan sebagai air. Firman Allah dalam surat al-maidah ayat 6.

Kata air dalam ayat ini umum mencakup semua air tanpa membeda-bedakannya kecuali bila ada dalil lain yang membedakannya. Juga tidak ada perbedaan air dengan sebab susah atau setidaknya dipisahkan dari yang mencampuri air sehingga berlaku secara umum.

Hadits ibnu abbas yang berbunyi : Seseorang datang dalam keadaan ihram bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lalu terjatuh dari ontanya kemudian Terinjak oleh untanya hingga mati. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda tanda memandikanlah dengan air dicampur bidara dan kafanilah dengan dua kain ihramnya tersebut dan jangan tutupi kepalanya, karena dia akan datang di hari kiamat dalam keadaan bertabiyah. (HR. Muslim)

Dalam hadis ini Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan mencampur air dengan daun bidara dan tentunya mengakibatkan perubahan pada sifat airnya. Telah dicampur, air yang sudah dicampur daun bidara itu digunakan untuk memandikan mayat dalam rangka untuk mensucikannya dengan demikian Perubahan akibat campuran benda suci tersebut tidak Menghilangkan sifat Suci mensucikan air tersebut.

hadits Ummu Hani Radhiyallahu Anhu yang berbunyi: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mandi dengan Maimunah dari satu bencana Dalam bejana berisi bekas adonan roti.” ( HR. Ibnu majah)

Biasanya air berlubang sifatnya karena tidak boleh bekas adonan dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menggunakannya untuk bersuci. Demikianlah kekuatan dalil ini meracikkan pendapat kedua ini wallahualam dengan sesuatu yang masih diragukan pada.

PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH KEHIDUPAN MANUSIA PADA AIR LAUT

Dewasa ini limbah kehidupan manusia berupa kotoran, sampah dan air yang digunakan untuk mencuci tanah mandi dan keperluan manusia sehari-hari banyak yang terbang ke laut. Tanda sebagiannya yang proses sebelum masuk laut dan ada yang langsung masuk ke lautan.

Sudah dimaklumini limbah-limbah sesemut banyak yang membawa benda-benda najis. Apabila dibuang ke lautan atas Sungai umumnya tidak merubah sifat air karena luas dan banyaknya air laut tersebut. Namun kadang berubah zat sebagian tertentu karena campuran najis tersebut. Maka bagian yang berubah  karena najis tersebut adalah air najis.

Penulis kitab mawahib Al Jalil Syahril, Syekh Muhammad bin Muhammad bin Abi Rahman Al Maghribi wafat tahun 954 Hijriyah dan nama isyaratkan masalah ini beliau model dari Ibnu di teluk iskandariyah Mesir berlayar kapal kapal laut. Apabila air sungai Nil mengalir maka ia bersih dan Billahi hilang air sungai Nil tersebut berubah warna tanda komarasan dan baunya. Kapal-kapal itu pelayaran seperti biasanya dan kayak karetnya menumpah kotoran padanya tidak sepatunya berwudhu dengan air tersebut biasanya diketahui secara pasti bahwa warnanya tidak berubah akibat pembuangan toilet tersebut dan seandainya berubah karena hal itu maka ia adalah najis menurut ijmak. Ketika tidak diketahui dengan jelas maka yang lebih hati-hati dianggap aja. Tandanya mendapatkan perubahan warna namun tidak diketahui perubahannya disebabkan najisnya menyerupainya maka dianggap suci.

Demikian 2 masalah berkaitan dengan kesucian air laut yang disampaikan para ulama semoga bermanfaat Aamin.

REFERENSI:

Ustadz khalid syamhudi, L.C

Majalah As-Sunnah no 11/thn.XVII JUMADIL AWAWAL 1435 H /MARET 2014

Diringkas oleh: Helmi Lia Putri

Status: Pengabdian Ma’had Darul Qur’an wal Hadits

Baca juga artikel:

Fenomena Ghuluw

Khutbah Jumat Ustadz Ali Zhufri

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.