Kewajiban Mendahulukan Wahyu Daripada Akal

KEWAJIBAN MENDAHULUKAN WAHYU DARIPADA AKAL

KEWAJIBAN MENDAHULUKAN WAHYU DARIPADA HAWA NAFSU / AKAL

Diantara sebab penghalang ittiba’ (mengikuti ajaran Nabi shallahu ‘alahi wasallam, ialah mendahulukan hawa nafsu atau akal daripada wahyu yang berlandasan dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Maka dari itu permasalahan yang berkaitan dengan agama  harus dikembalikan kepada Al- Qur’an maupun Sunnah Nabi shallahu ‘alahi wasallam bukan dengan pendapat seseorang kiyai atu ijtihadnya. Agar lebih memahami, ayo kita baca artikel ini.

Dari Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash rodiyaallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به

Artinya: ‘’Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.’’ (HR. Al-Bukhori, dalam kitab Qurratul ‘Ainani (I/38,no:45) Hadist hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih).

Penjelasan:

‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash rodiyaallahu ‘anhuma tergolong sahabat yang banyak meriwayatkan hadist dari Nabi shallahu ‘alahi wasallam, sebab ia sebagai penulis wahyu, sehingga Abu Hurairah rodiyaallahu ‘anhu merasa ingin mengunggulinya (ghibthah). Abu Hurairah rodiyaallahu ‘anhu berkata: ‘’Saya tidak tahu orang yang mengungguliku dalam periwayatan hadist Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam selain ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash rodiyaallahu ‘anhuma, sebab ia menulis sedangkan aku tidak menulis. (HR. Al-Bukhori, dalam kitab al-‘ilmu, bab kitaabatul ‘ilmi (no.113).

Sabda Nabi shallahu ‘alahi wasallam: لا يؤمن أحدكم (Tidak beriman salah seorang di antara kalian), artinya: iman secara sempurna. حتى يكون هواه (hingga hawa nafsunya), artinya: arah dan tujuannya (sesuai/ mengikuti syari’at Nabi shallahu ‘alahi wasallam).

  • Beberapa faedah dari hadist Dari Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash rodiyaallahu ‘anhuma, agar kita bisa mengambil pelajaran sebagai berikut:
  1. Peringatan bagi manusia untuk tidak mengedepankan akal dan adat istiadat diatas risalah yang dibawakan Nabi shallahu ‘alahi wasallam, sebab ketidak sempurnaan iman ini dapat menafikan keimanan darinya.

Apabila seseorang berkata: mengapa kalian mengartikannya dengan ‘’Tidak beriman secara sempurna?’’

Jawaban: kami mengartikannya demikian sebab tidak mungkin hal ini terjadi dalam setiap permasalahan. Bisa jadi hawa nafsunya mengikuti banyak hal yang bersumber dari Nabi shallahu ‘alahi wasallam, namun dalam sebagian yang lain tidak mengikutinya, maka dari itu diartikan ’Tidak beriman secara sempurna?’’. Dan kita katakan: apabila hawa nafsunya menolak semua ( perkara agama) yang datang dari  Nabi shallahu ‘alahi wasallam, maka ia menjadi orang yang murtad (kafir).

  1. Wajib atas seseorang untuk mendahulukan mencari dalil, sebelum memutuskan suatu hukum, bukan menghukumi dulu lantas mencari dalil. Artinya: jika Anda ingin menetapkan suatu hukum dalam hal keyakinan atau amalan yang dzahir, maka kewajiban Anda yang pertama adalah mencari dalil, kemudian menetapkannya. Jangan melakukan sebaliknya karena mendahulukan akal sebagai sumber rujukan pokok, sedangkan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai cabangnya.

Sebab itu Anda dapatkan sebagian ulama- semoga Allah merahmati dan memaafkan mereka- yang mendewa-dewakan madzhab mereka. Madzhab itu mereka jadikan dalil dan rujukan pokok bagi para pengikut madzhab mereka, kemudian mereka berupaya memutar-mutarkan ‘tengkuk’ nash (Al-Qur’an dan As-sunnah) agar sesuai dengan apa yang dinyatakan madzhab mereka dengan cara yang tidak tepat. Ini termasuk musibah yang menimpa sebagian ulama. Maka yang wajib atasmu adalah menjadikan hawa nafsu mengikuti apa yang datang dari Nabi shallahu ‘alahi wasallam.

  1. Pembagian hawa nafsu atau akal kepada terpuji dan tercela. Pada dasarnya, ketika hawa nafsu atau akal dikatakan secara umum, maka yang dimaksud adalah hawa nafsu atau akal yang tercela, sebagimana yang disebutkan dalam al-Qur’an dan As-Sunnah.

Setiap yang Allah sebutkan dalam hal mengikuti hawa nafsu, secara otomatis itu berarti jelek. Namun hadist ini menunjukkan bahwa hawa nafsu (dapat diarahkan agar mengikuti syari’at yang di bawa oleh Nabi shallahu ‘alahi wasallam).

Dengan kata lain, hawa nafsu terbagi menjadi dua:

Pertama: Terpuji, yaitu manakala ia mengikuti apa yang dibawakan Nabi shallahu ‘alahi wasallam.

Kedua: Tercela yaitu yang menyelisihi yang dibawakan oleh Nabi shallahu ‘alahi wasallam.

Allah ta’ala telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Akan tetapi kebanyakkan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah Ta’ala tetapkan, yang mana menghalangi mereka untuk ittiba’. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua kelompok manusia:

Pertama: Kelompok yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.

Kedua: Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikan akal tersebut sumber pembuatan syari’at dan mendahulukan akal di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya , sesungguhnya jika permasalahan agama yang didahulukan akal, maka manusia seperti tidak tahu arah dalam kehidupan di dunia ini. Agama islam sudah sempurna sebelum Nabi shallahu ‘alahi wasallam wafat semua risalah beliau sudah disampaikan kepada seluruh umat agar mereka tidak tersesat, maka dari itu agama Islam sudah sempurna jangan di tambah-tambahkan maupun dikurangi.

Soal: Kenapa di dalam permasalahan agama tidak boleh mendahulukan akal ataupun hawa nafsu?

Jawab: Bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah ta’ala tidak membiarkan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu. Dan juga Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash yaitu akal sebelum menerimanya. Sebagimana dalam firman Allah Ta’ala:

فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكمون فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما

Artinya: ‘’Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di salam perkara yang mereka perselisikan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’’. (QS. An-Nisaa: 65)

  1. Kewajiban menerapkan hukum syari’at Islam dalam segala hal,berdasrkan sabda beliau ‘’mengikuti apa yang aku bawa’’ sedangkan Nabi shallahu ‘alahi wasallam diturunkan dengan membawa segala hal yang akan bermanfaat bagi manusia, baik di dunia maupun diakhirat. Allah Ta’ala berfirman:

ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء

Artinya: ‘’Dan Kami turunkan kepadmu al- kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.’’(QS. An-Nahl: 89)

Tidak ada satu pun diantara persoalan yang dibutuhkan manusia, baik dalam hal akhirat atau dunia –alhamdulillah- seluruhnya telah dijelaskan Nabi shallahu ‘alahi wasallam, entah penjelasannya gamblang, setiap orang mengetahuinya, atau penjelasan bagi sesuatu yang sulit, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang kuat dalam hal keilmunya (ulama).

  1. Iman itu bersifat bertambah dan berkurang, sebagimana yang diyakini oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Wallaahu ‘alam.

Referensi:

Kitab Syarah Hadist Arba’in karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin

Peringkas: Nensi Lestari (Ummu Salma Atikah Hasna)

Baca juga artikel:

Hakikat Cinta Nabi Antara Sunnah dan Bid’ah

Dasar-dasar Fiqih Kurban

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.