Kelahiran Dan Empat Puluh Tahun Sebelum Kenabian-Artikel kali ini adalah membahas tentang kelahiran Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam. Seorang Manusia biasa yang mendapat amanah luar biasa dari Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Nabi dan Rasul. Ringkasan artikel ini terdiri dai 3 bagian yang Insya Allah akan memberikan pengetahuan yang baik tentang Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam. Selamat membaca ;
- Kelahiran Rasulullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada Senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari peristiwa gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M. Berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan peneliti astronomi Mahmud Basya.
Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi pernah ditanya tentang puasa beliau di hari senin, maka beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
ذاك يوم وُلِدْتُ فيه، ويوم بعثتُ
Artinya: “Hari (senin) itu saya dilahirkan, di hari itu juga saya di utus.” (HR. Muslim)
Ibnu Sa’d meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana – istana di Syam.”
Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Yang demikian ini diriwayatkan Al-Baihaqi, sekalipun tidak diakui Muhammad Al-Ghazali.
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal di kalangan Arab. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.
- Di Perkampungan Kabilah Bani Sa’d
Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Sebagai langkah untuk menjauhkan anak-anak itu dari penyakit yang bisa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab dengan fasih. Maka Abdul Muththalib mencari wanita dari Bani Sa’d bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah bin Abu Dzu’aib, dengan didampingi suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.
Saudara-saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu susuan di sana adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisa binti Al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits, yang julukannya justru lebih popular daripada namanya sendiri, yaitu Asy-Syaima`. Wanita inilah yang menyusui beliau dan Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib, anak paman beliau.
Paman beliau, Hamzah bin Abdul Muththalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini juga pernah menyusui Hamzah selagi beliau masih dalam susuannya. Jadi Hamzah adalah saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari dua pihak, yaitu Tsuwaibah dan dari Halimah As-Sa’diyah.
Halimah bisa merasakan barakah yang dibawa beliau, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Inilah penuturannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suaminya dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, “Itu terjadi pada masa peceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua dan tidak bisa diambil susunya lagi walau setetes. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap masih bisa mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata. ‘Dia adalah anak yatim.’ Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah bersiap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku,’ Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang disusui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
“Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu.”
Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu (beliau) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.
“Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku pada esok harinya.
“Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku.
Halimah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap-siap pergi menunggangi keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersama di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, “Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”
“Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu,” kataku.
“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa,” kata mereka.
Kami pun tiba ditempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu aib.” Namun domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan setetes pun tidak mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawa kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.
Begitulah Rasulullah tinggal di tengah Bani Sa’ad, hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, peristiwa pembelahan dada beliau.
Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata. “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkan ke tempat semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata. “Muhammad telah dibunuh!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajah beliau semakin berseri.
- Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta Nan Amat Mengasihi
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, hingga dia mengembalikan kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.
Aminah merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia. Dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Maka dia pergi dari Makkah untuk menempuh perjalanan sejauh lima ratus kilometer, bersama putranya yang yatim, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Abdul Muththalib mendukung hal ini. Setelah menetap selama sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak antara Makkah dan Madinah.
- Di Pangkuan Sang Kakek Nan Amat Menyayangi
Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubari terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk, cucunya yang harus menghadapi cobaan baru di atas lukanya yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang, yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.
Ibnu Hasyim berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muththalib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththalib keluar ke sana, dan tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu kali selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu. Paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata, “Biarkanlah anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya, sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”
Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kakek beliau meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.
- Di bawah Asuhan Paman Nan Penuh Belas Kasih
Abu Thalib melaksanakan hak anak saudaranya dengan sepenuhnya dan menganggap seperti anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri, mengkhususkan perhatian dan penghormatan. Hingga berumur lebih dari empat puluh tahun beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela diri beliau. Pembahasan mengenai masalah ini akan disampaikan di tempatnya tersendiri.
Alhamdulillah, ringkasan artikel tentang Kelahiran dan empat puluh tahun sebelum kenabian bagian 1 telah selesai. Semoga pembaca dapat mengambil ibroh sehingga hal ini dapat menambah keimanan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
REFERENSI:
Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad, Ad-Dala’il, karya Baihaqi, Siroh Ibnu Hisyam, al-Bidayah wa an-Nihayah Karya Ibnu Katsir, dll.
Di rangkum dari buku siroh terjemah, oleh: Ivan Ferdyana (Pegawai Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits)
Nata’ij al-afham, karya al-falaki, hal.28-35., Beirut; Rahmah li al-alamin, 1/38,39. Perbedaan seputar tanggal pada bulan april terjadi berdasarkan kalender lama dan baru.
Thabaqat Ibnu Sa’ad, 1/63; Musnad Ahmad, 4/127,128,185;5/262; ad-Darimi, 1/9.
Ad-Dala’il, karya Baihaqi, 1/126, 127; Tarikh ath-Thabari, op.cit., 2/166, 167; al-Bidayah wa an-Nihayah, 2/268, 269.
Ibnu Hisyam, op.cit., 1/159, 160; Thabaqut Ibnu Saad, op.cit, hal. 103; ath-Thabari, Ibid hal; 156, 157.
Shahih al-Bukhari, hadits no.2645, 5100, 5106, 5107, 5372
Ibnu Hisyam, op.cit., 1/162-164
Shahih muslim, Kitab al-Isra, 1/92
Talqih Fuhum Ahl al-Atsar, op.cit., hal.7; Ibnu Hisyam, op.cit., 1/168; Talqih Fuhum Ahl al-Atsar
Ibnu Hisyam, hal.169. Talqih.
Mukhtasar Sirah al-Rasul, karya syaikh Abdullah an-Najd, hal. 15-16
Baca juga artikel:
Leave a Reply