
Peristiwa Penting Pada Masa Kekhalifahan Utsman – Bismillah, Segala puji hanyalah bagi Allah Pengatur seluruh alam, yang dengan pengaturannyalah alam menjadi teratur. Seluruh perbuatan-Nya seluruh baik dan Maha Hikmah. Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta kepada keluarga besar, sahabat-sahabat beliau seluruhnya, dan seluruh orang yang mengikuti sunnah dan agama mereka ini dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’du:
Khalifah ketiga Utsman bin Affan semoga Allah meridhainya memiliki catatan-catatan sejarah dan kebijakan-kebijakan yang sangat penting yang terjadi pada masa kekhalifahan beliau. Di antaranya:
Permasalahan yang Pertama Kali Beliau Tangani Ketika Ditunjuk Menjadi Khalifah
Kasus pertama yang beliau hadapi adalah kasus Ubaidillah bin Umar al-Khaththab. Kasusnya, Ubaidullah mendatangi anak perempuan Abu Lu’luah pembunuh Umar, kemudian membunuhnya. Kemudian ia juga membunuh seorang Nashrani yang bernama Junaifah dengan pedang. Ia juga membunuh al-Hurmudzan yang berasal dari Tustar. Dikatakan bahwa mereka berdua adalah penghasut Abu Lu’luah untuk membunuh Umar semoga Allah meridhainya.[1]
Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Umar telah memerintahkan agar Ubaidillah dipenjarakan agar khalifah setelahnya dapat menjatuhkan vonis hukum. Ketika jabatan khalifah telah diduduki oleh Utsman bin Affan, beliau duduk bersama sahabat yang lain untuk menjatuhkan hukuman terhadap kasus Ubaidillah. Ali berkata, “Tidak adil jika ia dibiarkan.” Dan Ali mengisyaratkan bahwa ia harus diqishash. Sebagian muhajirin berkata, “Kemarin ayahnya dibunuh, apakah sekarang anaknya juga harus dibunuh?” Amr bin al-Ash berkata, “Ya Amirul Mukminin, Allah telah melepaskan dirimu dari permasalahan tersebut dan kasus ini terjadi bukan pada masa pemerintahanmu, maka kesampingkanlah kasus ini.”[2]
Kemudian Utsman bin Affan membayar denda orang yang terbunuh tersebut dari harta pribadinya, karena kasus ini dikembalikan kepada dirinya sebab orang-orang yang terbunuh tersebut tidak mempunyai ahli waris selain Baitul Mal. Dan beliau melihat bahwa yang demikian itu lebih besar maslahatnya, lantas beliau membebaskan Ubaidillah.
Peristiwa yang Terjadi Pada Tahun 24 H
Ibnu Jarir berkata, pada tahun ini, Utsman bin Affan memecat al-Mughirah bin Syu’bah dari jabatan gubernur wilayah Kufah dan menggantikannya dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, dan ini merupakan gubernur pertama yang beliau angkat. Umar pernah berkata, “Jika khalifah ini dilimpahkan kepada Sa’ad, maka harus dilaksanakan, jika tidak, maka kalian tanya kepadanya siapa di antara kalian yang patut memegang amanah tersebut. Sesungguhnya aku memecat Sa’ad bukan karena ia seorang yang lemah atau karena ia telah berbuat khianat.” Utsman bin Affan memberikan jabatan tersebut kepadanya. Selama setahun kemudian beliau ganti dengan yang lain.
Al-Waqidi menyebutkan dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, bahwa Umar mewasiatkan agar para gubernur yang telah ia angkat jangan ditukar selama setahun. Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah, beliau membiarkan al-Mughirah bin Syu’bah tetap memegang jabatannya selama setahun kemudian barulah ia menonaktifkannya. Setelah itu beliau mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai penggantinya kemudian kembali diaganti dengan al-Walid bin Uqbah bin Abi al-Muith.[3]
Peristiwa yang Terjadi Pada Tahun 26 H
Al-Waqidi berkata, “Pada tahun ini Utsman bin Affan memerintahkan untuk memperbarui tanda-tanda batas tanah haram dan memperlebar Masjidil Haram.”[4]
Pada tahun ini juga Sa’ad bin Abi Waqqash dilepaskan dari jabatan sebagai gubernur wilayah Kufah dan digantikan dengan al-Walid bin Uqbah Abi al-Muith. Sebab permakzulan Sa’ad adalah bahwa ia meminjam uang Baitul Mal dari Ibnu Mas’ud. Ketika uang tersebut ditagih oleh Ibnu Mas’ud, ia tidak sanggup membayarnya dengan berbagai alasan hingga terjadi pertengkaran di antara mereka yang membuat Utsman marah kepada mereka berdua dan akhirnya Utsman membuat kebijakan untuk menggantikan Sa’ad dengan al-Walid bin Uqbah, yang waktu itu masih menjabat sebagai gubernur di wilayah al-Jazirah. Ketika al-Walid datang, penduduk Kufah menerimanya, dan ia menetap di sana selama lima tahun di dalam rumah yang tidak berdaun pintu. Ia adalah seorang yang sangat lembut terhadap rakyatnya.
Utsman Memakzulkan Amr bin Al-‘Ash dari Jabaran Gubernur Mesir
Al-Waqidi dan Abu Masy’ar berkata, “Pada tahun ini Utsman bin Affan menonaktifkan Amr bin al-‘Ash dari jabatannya sebagai gubernur Mesir dan menggantinya dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Beliaulah orang yang dilindungi oleh Utsman tatkala Rasulullah menghalalkan darahnya pada saat pembukaan kota Mekah.
Peristiwa yang Terjadi Pada Tahun 28 H
Al-Waqidi berkata, “Pada tahun ini Utsman menikahi Na’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyah, seorang wanita yang beragama Nasrani kemudian masuk Islam sebelum Utsman bin Affan mencampurinya. Pada tahun ini beliau membangun rumahnya dari Az-Zaura’. Juga pada tahun ini beliau pergi bersama orang-orang untuk menunaikan ibadah haji.
Penulisan Mushaf Al-Quran
Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau menyatukan kaum Muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Quran terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah yakni ketika Jibril mendiktekan al-Quran kepada Rasulullah pada tahun terakhir masa hidup beliau. Sebabnya, bahwa Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu ad-Darda’ dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Quran diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya daripada bacaan yang lain terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran. Hal itu membuka jurang perselisihan yang sengit sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman menghadap Utsman bin Affan dan berkata, “Ya Amirul Mukminin, benahilah umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab suci mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kitab suci mereka.” Kemudian Hudzaifah menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum Muslimin. Maka seketika itu juga Utsman mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkataan tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Quran harus ditulis dalam satu qira’ah dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan. Beliau kemudian meminta lembaran-lembaran al-Quran yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya. Lembaran ini berada di tangan Abu Bakar ketika masih hidup kemudian pindah ke tangan Umar bin al-Kaththab. Setelah Umar wafat, lembaran-lembaran al-Quran tersebut berada di tangan Hafshah, Ummul Mukminin. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Said bin al-‘Ash al-Umawi dengan disaksikan Abdullah bin az-Zubair al-Asadi, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumi. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy.[5]
Maka ditulislah satu Mushaf al-Quran untuk penduduk Syam, satu mushaf untuk penduduk Mesir, satu mushaf al-Quran dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Quran dikirim ke Kufah, begitu juga ke Mekah dan Yaman dan satu mushaf al-Quran untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut mushaf al-A’immah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman, tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshari. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Herclius, karena dibuat pada masa pemerintahannya. Kemudian Utsman mengumpulkan semua msuhaf yang beredar di kalangan Masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak timbul lagi perselisihan.
Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Jakfar dan Abdurrahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin ‘Alqomah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku ketika Utsman membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya, niscaya aku yang akan melakukannya.’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan di bakar, dan mengatakan bahwa beliau dahulu masuk Islam lebih dahulu daripada Zaid bin Tsabit, penulis mushaf tersebut, dan menyuruh murid-murid mereka dengan membaca Firman Allah,
وَمَن يَغلُل يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَومَ ٱلقِيَٰمَةِۚ
Artinya: “Barangsiapa yang mengambil secara khianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu…”[6]
Kemudian Utsman bin Affan mengirimkan sepucuk surat kepadanya yang berisi ajakan untuk mengikuti para sahabat yang telah bersepakat atas suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan, semoga Allah meridhai beliau.
Peristiwa yang Terjadi Pada Tahun 29 H
Pada tahun ini Utsman bin Affan semoga Allah meridhainya memakzulkan Abu Musa al-Asy’ari dari jabatan gubernur Bashrah setelah menjabat selama enam tahun dan ada yang mengatakan tiga tahun, kemudian menggantikannya dengan Abdullah bin Amir bin Kuraiz bin Rabiah bin Habib bin Abdus Syams anak paman Utsman bin Affan. Beliau menyatukan pasukan Abu Musa dan pasukan Utsman bin Abu al-‘Ash untuk Abdullah bin Amir yang masih berusia dua puluh lima tahun, dan dia menetap di sana selama enam tahun.
Pada tahun ini Utsman bin Affan memperluas Masjid Nabi dan membangunnya dengan batu kapur yang diangkut dari lembah Nakhl dan batu berukir, tiang-tiangnya dari batu bundar, atapnya dari kayu jati, panjangnya 160 hasta, lebarnya 150 hasta dan membuat enam pintu sebagaimana zaman pemerintahan Umar bin al-Khaththab. Pemugaran tersebut dimulai pada bulan Rabiul awal tahun itu.
Pada tahun ini juga Utsman pergi melaksanakan haji bersama orang banyak dan didirikan kemah untuk beliau di Mina kemudian menyempurnakan rakaat shalat (tidak mengqashar) dan mendapat protes dari sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Mas’ud sehingga ia berkata, “Semoga saja dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang diterima.”
Apa yang dilakukan Utsman tersebut dibantah oleh Abdurrahman bin Auf. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Utsman berkata, “Aku berkeluarga di Mekah.” Abdurrahman berkata, “Dan Anda juga memiliki keluarga di Madinah, berarti tempat mukimmu adalah di tempat di mana keluargamu tinggal.” Utsman berkata, “Aku punya usaha di Thaif yang ingin aku lihat usai haji ini.” Abdurrahman berkata, “Tetapi antara tempatmu dan Thaif berjarak tiga hari perjalanan.” Utsman berkata, “Ada sekelompok penduduk Yaman, berpendapat bahwa shalat mukim itu dua rakaat, jika aku shalat dua rakaat, mereka nanti akan berhujjah dengan perbuatanku.” Abdurrahman berkata, “Dahulu wahyu masih turun kepada Rasulullah dan kaum Muslimin masih sedikit, namun beliau shalat di sana (Thaif) dua rakaat. Abu Bakar juga shalat di sana dua rakaat, begitu juga Umar dan pada awal pemerintahanmu engkau juga shalat di sana dua rakaat.” Maka Utsman bin Affan pun terdiam lalu berkata, “Ini hanya pendapatku.”[7]
Peristiwa yang Terjadi Pada Tahun 30 H
Pada tahun ini Utsman bin Affan semoga Allah meridhainya memakzulkan al-Walid bin Utbah dari jabatan gubernur daerah Kufah dan menggantinya dengan Said bin al-‘Ash. Sebabnya adalah pada suatu pagi al-Walid bin Utbah melaksanakan shalat Shubuh sebanyak empat rakaat, setelah selesai ia menoleh dan berkata, “Apa masih mau ditambah?” Seseorang berkata, “Sampai sekarang kami masih mengikutimu shalat subuh empat rakaat.” Kemudian sekelompok orang menentangnya hingga terjadi pertengkaran di antara mereka. Kasus ini kemudian dilaporkan kepada Utsman bin Affan. Sebagian mereka memberi persaksian kepada Utsman bin Affan bahwa al-Walid meminum khamar dan yang lain menyaksikan sendiri bahwa al-Walid muntah khamar. Utsman memerintahkan untuk membawanya dan menderanya. Dikatakan bahwa Ali membuka pakaiannya dan Said bin al-‘Ash menderanya di hadapan Utsman bin Affan.
Pada tahun ini juga cincin Rasulullah jatuh ke dalam sumur Aris dari tangan Utsman bin Affan. Tempat tersebut berjarak dua mil dari kota Madinah dan termasuk sumur yang paling sedikit airnya. Berbagai usaha telah dilakukan dan banyak biaya yang dikeluarkan, namun sampai sekarang belum juga ditemukan. Kemudian Utsman bin Affan menggantinya dengan cincin perak yang bertuliskan Muhammad Rasulullah. Ketika Utsman terbunuh, cincin tersebut hilang tidak diketahui siapa yang mengambilnya.
Pada tahun ini juga terjadi perselisihan di negeri Syam antara Mu’awiyah dan Abu Dzar yakni bahwa Abu Dzar mengkritik Mu’awiyah dalam beberapa permasalahan. Beliau mengingkari orang-orang kaya mengumpulkan harta kekayaan dan menyimpannya melebihi kebutuhan primer serta mewajibkan menginfakkannya. Beliau berdalil dengan Firman Allah:
وَٱلَّذِينَ يَكنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”[8]
Kemudian Mu’awiyah melarangnya untuk menyebarkan pendapat tersebut, namun Abu Dzar tetap tidak berhenti. Lantas hal itu dilaporkan kepada Utsman bin Affan, lalu Utsman mengirmkan surat kepada Abu Dzar yang isinya agar beliau datang ke Madinah untuk menghadap. Abu Dzar pun datang menghadap dan Utsman menyesalkan apa yang telah beliau perbuat. Lalu Utsman memintanya untuk menarik pendapat tersebut, namun Abu Dzar tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya. Kemudian Utsman bin Affan menyuruhnya untuk tinggal di tempat yang bernama Rabadzah, yaitu sebuah tempat yang berada di sebelah timur kota Madinah. Dikatakan bahwa ia sendiri yang meminta Utsman untuk menempatkan dirinya di sana dan berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepadaku:
إذا بلغ البناء سلعا فاخرج منها
Artinya: “Jika bangunan-bangunan sudah sampai ke gunung Sala’, maka keluarlah dari kota Madinah.”[9]
Bangunan sudah menjamah gunung Sala’ maka Utsman bin Affan mengizinkannya untuk tinggal di Rabadzah dan beliau menyarankan agar sekali-kali mendatangi Madinah, supaya orang-orang arab dusun tidak murtad setelah hijrahnya. Abu Dzar mematuhi saran tersebut dan tetap tinggal di sana sampai beliau wafat.
Pada tahun ini juga Utsman bin Affan menambah adzan Jumat menjadi dua kali yang dikumandangkan di tempat yang bernama Az-Zaura’.
Sekian yang bisa kami tuliskan di sini. Semoga kita bisa mengambil faedah.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, wasshalatu wassalamu ‘ala nabiyyina muhammadin.
Referensi:
Katsir, Al-Hafizh Ibnu (2017). Perjalanan Empat Khalifah Rasul yang Agung. (A. Abu Ihsan, terjemahan). Hal: 449-461. Jakarta: Darul Haq.
Dinukil oleh:
Tamim Abu Zubair, S.T. (Staff Ponpes DQH OKU Timur)
[1] Tarikh ath-Thabari, 4/240.
[2] Tarik ath-Thabari, 4/239.
[3] Tarikh ar-Rusul wal- Muluk, 4/244.
[4] Tarikh ar-Rusul wal- Muluk, 4/251.
[5] Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Quran, Bab Jam’u al-Quran, 9/11 (Fathul Bari).
[6] QS. Ali Imran: 161.
[7] HR. Ath-Thabari dalam tarikhnya, 4/268 dari jalur al-Waqidi dan dia matruk (ditinggalkan riwayatnya).
[8] QS. At-Taubah: 34.
[9] HR. Al-Hakim.
BACA JUGA :
Leave a Reply