40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 5)

40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah 5

40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah – HADITS KE-13, banyak kita mengetahui tentang karakter muslimah, yang mana kaum muslimah berbeda dengan laki-laki dari satu aturan syari’, meskipun terkadang banyak kesamaannya dengan laki-laki, seperti shalat, puasa, dll. Adapun diantara perbedaannya seperti dalam hadits berikut; Dari Ali Radhiyallahu Anhu, dia berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ أَنْ تَحْلِقَ الْمَرْأَةُ رَأْسَهَا.

Artinya: “Rasulullah melarang perempuan menggundul kepalanya.” (HR. an-Nasa`i dalam sunannya).

Diriwayatkan oleh an-Nasa’i, 8/130 melalui jalur Muhammad bin Musa al-Kharasyi, dari Abu Dawud ath-Thayalisi, dari Hammam, dari Qatadah, dari Khilas bin Amr, dari Ali; dan at-Tirmidzi meriwa- yatkan (dalam kitabnya nomor) 915 dari Muhammad bin Basysyar, dari Abu Dawud ath-Thayalisi, dari Hammam, semakna dengannya, di sini tidak disebutkan dari Ali. Ia berkata, “Dalam hadits Ali ada Idhthirab (kegoncangan).” Dan telah diriwayatkan hadits mursal dari Hammad bin Salamah dari Qatadah, dari Aisyah, dari Nabi. Az-Zaila’i dalam Nashb ar-Rayah berkata pada juz 3, hal. 95, bahwa Abdul Haq (al-Isybili) berkata dalam kitab Ahkamnya, “Hadits ini di- riwayatkan oleh Hammam dari Yahya, dari Qatadah, dari Khilas bin ‘Amr, dari Ali. Hal ini diselisihi Hisyam ad-Dastawa’i dan Hammad bin Salamah, mereka berdua meriwayatkan dari Qatadah dari Nabi secara mursal.” Saya berkata, Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab Sunannya 2/2502 dari jalur Ibnu Juraij, dari Abdul Humaid bin Jubair bin Syaibah, dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, Ummu Utsman binti Abu Sufyan telah menceritakan kepadaku dari Ibnu Abbas, dan jalur lain dari Ibnu Juraij, dia berkata, “Telah sampai kepadaku (hadits ini) melalui Shafiyyah.”

Az-Zaila’i berkata dalam Kitab Nashb ar-Rayah, “Bahwa Ibnu al-Qaththan berkata dalam kitabnya, Hadits ini dhaif dan munqathi’;

Penjelasan:

Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan pada juz 10, hal. 375, “Sebagaimana kaum wanita dilarang menambah rambutnya (dengan konde), begitu juga mereka dilarang menggundul kepalanya tanpa udzur syar’i.”

An-Nawawi dalam al-Majmu’ mengatakan pada juz 8/204, “Para ulama sepakat, bahwa kaum wanita dilarang menggundul kepalanya, dan dia hanya boleh me- mendekkan rambutnya.”

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan pada juz 1, hal. 90 bahwa al-Hasan berpendapat, “Ia me rupakan hukuman.” Juga disampaikan pendapat Imam Ahmad tentang wanita yang tidak mampu mengobati yang pertama, ia terputus dari jalur Juraij, perkataannya, telah sampai kepadaku dari Shafiyah, namun tidak diketahui siapa yang meri wayatkan kepadanya, dan yang kedua, perkataan Abu Dawud, “Seorang laki-laki tsiqah yang diberi kunyah Abu Ya’qub telah mence ritakan kepadaku,” dan ini tidak cukup, namun jika yang dimaksud dengan Abu Ya’qub adalah Abu Ishaq bin Ibrahim bin Abu Isra’il, maka dia adalah orang yang ditinggalkan oleh orang lain, karena pikirannya kotor atau karena hafalannya lemah. Adapun Ummu Ut sman binti Abu Sufyan, maka keadaannya tidak diketahui.

Saya berkata, Ishaq bin Isra’il, al-Hafizh berkomentar tentangnya dalam kitabnya at-Taqrib, no. 338, “Ia adalah shaduq yang diperbin cangkan, disebabkan bersikap abstain berkaitan dengan fitnah ter tang al-Qur’an.” Dan dia berkata, no. 8747, bahwa Ummu Utsman adalah shahabiyah.

Hafizh berkata dalam Kitab at-Talkhis al-Habir, juz 2, hal. 261. “Sanad hadits tersebut hasan” dan dia menambahkan penisbatan hadits ini kepada ad-Daraquthni dan ath-Thabrani. Allahu a’lam.

rambutnya dari penyakit, apakah ia boleh mencukurnya dengan dasar hadits Maimunah? Imam Ahmad ber- kata, “Mengapa ia memotongnya?” Dikatakan kepada- nya, “Bahwa ia tidak mampu memakai minyak rambut dan sesuatu yang mengobatinya, sedangkan kutu-kutu bertebaran di rambutnya.” Imam Ahmad berkata, “Jika untuk suatu kebutuhan yang mendesak (darurat), maka saya berharap hal itu diperbolehkan (tidak berdosa).” Lihat Kitab Nail al-Authar, juz 4, hal. 102-103.

HADITS KE-14

Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam bersabda:

طِيبُ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ، وَطِيْبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ.

Artinya: “Minyak wangi bagi kaum laki-laki adalah yang mencolok wanginya dan warnanya samar, sedangkan minyak wangi untuk kaum wanita adalah yang nampak jelas warnanya dan wanginya samar (tidak terlalu harum).” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, 5/107; dan an-Nasa’i, 8/151 dari jalur Sufyan, dari al-Jurairi, dari Abu Nadhrah, dari seorang laki-laki, dari Abu Hurairah. Dan dari jalur Isma’il bin Ibrahim, dari al-Jurairi, dari Abu Nadhrah, dari ath-Thafawi, dari Abu Hurairah secara maknanya, Abu Isa at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hadits hasan, namun ath-Thafawi tidak kami kenal kecuali dalam hadits ini, dan kami tidak mengenal namanya. Hadits yang diriwayatkan melalui jalur Isma’il bin Ibrahim lebih panjang dan lebih sempurna.” Juga diriwayatkan dari jalur Abu Bakar al-Hanafi dari Sa’id dari Qa tadah dari al-Hasan dari Imran bin al-Hushain dengan lafazh seperti di atas dan ada tambahan lafazh:

وَنَهَى عَنْ مِيثَرَةِ الْأَرْجُوَانِ.

Artinya: “Dan beliau melarang memakai pelana merah.” (At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hadits hasan gharib dari sisi ini).”

Penjelasan:

Al-Munawi berkata dalam Kitab Faidh al-Qadir, juz 3, hal. 284 “Minyak wangi bagi kaum wanita adalah yang nampak jelas warnanya dan wanginya tidak harum tercium orang asing seperti minyak za’faran.” Karena itu, diharamkan bagi laki-laki memakai minyak yang dilu- muri za’faran. Al-Baghawi mengutip perkataan Sa’ad, “Saya memandang bahwa perkataan Nabi طِيبُ النِّسَاءِ ﷺ (minyak wangi wanita) itu mereka bawa kepada peng- ertian (bolehnya memakai minyak wangi) ketika hen- dak keluar rumah, sedangkan apabila mereka berada di rumah di samping suaminya, maka dia boleh memakai minyak wangi apa saja sesukanya.”

Ibnu Hajar dalam al-Fath pada juz 10, hal. 366 ber- kata, “Sisi perbedaannya adalah bahwa seorang wanita diperintahkan agar menutup aurat ketika keluar dari rumahnya.” Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan hadits Aisyah, bahwa ia memakaikan Rasulullah minyak wangi dengan tangannya ketika hendak ihram dan ketika di Mina sebelum thawaf ifadhah. Lalu Ibnu Hajar berkata,

Saya berkata, Hadits ini menjadi syahid bagi hadits Abu Hurairah , hanya saja di dalam sanadnya ada kelemahan; yaitu al-Hasan ti- dak mendengar hadits dari Imran. Demikian juga ada penguat dari hadits Anas. Penulis Kitab al-Faidh berkata, “Al-Bazzar me riwayatkan darinya, al-Haitsami berkata bahwa para perawi hadits tersebut adalah perawi ash-Shahih.” Hadits Abu Hurairah diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ahmad dalam Musnadnya, 2/540.

“Apabila hadits tadi kuat, maka harus digabungkan de ngan pengertian hadits ini dan hadits bab (hadits Abu Hurairah di atas), “Bahwasanya dianjurkan bagi wanita untuk mencuci bekas minyak wangi, apabila ia hendak keluar rumah, karena larangan tersebut khusus ketika ia hendak keluar rumah, Allahu a’lam.”

Ibnul Jauzi berkata dalam Kitab Ahkam an-Nisa’, hal. 42, “Sesungguhnya minyak wangi yang tidak ada harumnya diperuntukkan bagi kaum wanita, agar wa- nginya tidak tersebar melaluinya, terutama jika mereka keluar rumah, dan sungguh wanita telah dilarang untuk memakai sesuatu yang membuatnya menonjol. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ }

Artinya: “Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar di ketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS.  An-Nur: 31)

Ada yang menafsirkannya dengan al-Khalkhal (gelang kaki yang berbunyi), Ibnu Aqil berkata, ‘Dikiaskan dengan hal tadi, yaitu haramnya ash-Sharir (hiasan yang mengeluarkan bunyi) di sekolah-sekolah’.

Asy-Syaukani dalam Nail al-Authar mengatakan pada juz 1, hal. 129, “Hadits ini menunjukkan bahwa se- harusnya kaum laki-laki memakai minyak wangi yang harum, namun warnanya tidak begitu nampak seperti minyak kesturi, anbar, parfum, dan gaharu, dan bahwamakruh hukumnya jika mereka memakai minyak wangi yang warnanya nampak jelas seperti az-Zabad.” Kemu- dian ia berkata, “Adapun wanita sebaliknya.”

Imam an-Nawawi berkata dalam Kitab al-Majmu’, juz 5, hal. 109, “Adapun bagi kaum wanita, maka ma- kruh hukumnya,jika pergi ke masjid memakai segala minyak wangi yang berbau harum.”

HADITS KE-15

Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمُ لَهَا.

Artinya: “tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk bepergian dalam jarak sehari semalam kecuali dengan bersama mahramnya.” (shahih, HR. An-Nasa’i)

Penjelasan: Hadits ini menunjukkan tentang keharaman seorang wanita safar sendirian tanpa mahramnya karena dikha- watirkan terjadi keburukan yang besar. Para ulama ber- beda pendapat tentang safar sendirian tanpa mahram untuk menunaikan ibadah haji yang fardhu. Kebanyakan para ahli ilmu mengatakan bahwa boleh bagi wanita sa- far tanpa mahram untuk hal tersebut, dan tidak disya- ratkan harus dengan mahram, tetapi yang disyaratkan 19 Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 2/54; Muslim, 4/102; at-Tirmidzi, 3/472; Abu Dawud, 2/140; Ibnu Majah, 2/967; dan Imam Ahmad dalam Musnadnya, 1/222, 346.

adalah keamanan jalan, sebagaimana ini masyhur di ka langan madzhab Syafi’iyah. Namun, pendapat yang tepat adalah disyaratkan bagi wanita safar beserta mahramnya hingga aman dari musibah besar. Apabila ia berhaji sen- dirian, maka hajinya tetap sah, tetapi ia mendapat dosa karena safar sendirian tanpa disertai mahram, padahal haji yang pertama itu tidak wajib baginya.

Al-Khaththabi dalam Ma’alim as-Sunan mengatakan pada juz 2, hal. 144, “Hadits ini mengandung penjelasan bahwa seorang wanita tidak diwajibkan menunaikan iba- dah haji jika tidak mendapatkan mahram laki-laki yang dapat menyertainya dalam safar. Ini adalah pendapat an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, para ahli ra’yu, Imam Ah- mad dan Ishaq bin Rahawaih رحمها اية

Imam Malik عانة berkata, “Wanita dibolehkan safar bersama jama’ah kaum wanita.” Imam asy-Syafi’i ber- pendapat, “Ia boleh safar beserta Muslimah yang mer- deka dan tepercaya.”

Saya katakan, wanita Muslimah yang merdeka dan tsiqah (tepercaya) seperti yang disifati Imam asy-Syafi’i, tidaklah berstatus sebagai laki-laki mahram baginya. Pa- dahal Nabi telah melarang kaum wanita bersafar ke- cuali dengan laki-laki mahramnya. Pembolehan wanita bersafar untuk haji dengan tidak adanya syarat yang di- tetapkan Nabi merupakan suatu hal yang menyelisihi sunnah. Jika safarnya seorang wanita bersama selainmahram merupakan maksiat, maka tidak boleh mewa- jibkan ibadah haji padanya, karena ini merupakan ke- taatan kepada perkara yang menyebabkan kemaksiatan. Sebagian besar pengikut asy-Syafi’i berargumentasi da- lam masalah ini dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi, ketika beliau ditanya tentang al-Istitha’ah:

فَقَالَ: الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ.

Artinya: “Bekal dan kendaraan.”

Mereka mengatakan, “Wajib bagi kaum wanita jika ditakdirkan memiliki kemampuan, untuk menunaikan ibadah haji.” Mereka menakwilkan hadits yang mela- rang tersebut dengan safar yang sifatnya sunnah, bu- kan safar yang wajib.

Saya katakan, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibrahim bin Yazid al-Khuzi dari Muhammad bin Abbad bin Ja’far dari Ibnu Umar. Ibrahim al-Khuzi ini adalah perawi matruk (tertuduh berdusta). Dan hadits ini juga diriwayatkan dari jalur al-Hasan secara mursal, dan me- nurut asy-Syafi’i hadits-hadits mursal tidak bisa dipakai sebagai hujjah.

Pengikut madzhab Imam asy-Syafi’i menyerupa- kan perempuan tersebut dengan perempuan kafir yang masuk Islam di daerah kafir, kemudian ia pergi hijrah ke daerah Islam tanpa mahram. Begitu pula halnya se orang wanita tawanan yang Muslimah ketika bebas daricengkeraman tangan orang-orang kafir. Mereka menyata- kan bahwa maknanya itu adalah safar yang wajib bagi wanita tersebut, demikian juga halnya haji.

Saya berkata, “Jika mereka ini sama, tentunya boleh bagi seorang wanita menunaikan ibadah haji sendirian tanpa disertai laki-laki mahramnya atau perempuan yang tepercaya. Namun, ketika tidak diperbolehkan seorang wanita menunaikan haji sendirian kecuali harus dengan perempuan Muslimah merdeka dan tepercaya, maka hal ini menunjukkan perbedaan antara kedua per- masalahan tersebut.”

Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 2, hal. 367, “Hadits ini menerangkan keharaman seorang wanita yang bersafar tanpa ditemani mahram. Hal ini si- fatnya umum, baik bersafar sebentar maupun lama.” Ke- mudian ia berkata, “Para ulama berkata tentang bolehnya wanita safar sendirian dalam rangka berhijrah dari negeri kafir, mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, membayar hutang, mengembalikan titipan, dan kembali (rujuk) setelah membangkang (durhaka) terhadap suaminya. Ini se- mua telah disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah pergi haji yang wajib. Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang wanita muda tidak boleh pergi haji yang wajib kecuali dengan mahramnya, Hal ini berbeda dengan pendapat Imam asy-Syafi’i man Padahal hadits dengan mengkhususkan keumuman ayat, dan hadits ini umum bagi wanita 11 muda dan tua. Lihat Kitab Nail al-Authar, juz 4, hal. 291.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata dalam Kitab al-Muhalla, juz 7, hal. 27, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan tentang pelarangan wanita untuk bersafar secara mutlaq kecuali dengan suaminya atau dengan mahramnya, berargumentasi dengan hadits-hadits shahih, yang tidak bo leh menyelisihinya, kecuali berdasarkan nash atau dalil shahih lain yang menjelaskan hukum tersebut.”

REFERENSI:

Diringkas oleh : Angii Abu Rayyan pegawai ponpes DQH

Referensi : 40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah oleh al ustadz Mansyur Bin Hasan Al-abdullah

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.