Syarat-syarat Pemilihan Jodoh yang Baik

syarat pemilihan jodoh yang baik

Syarat-syarat Pemilihan Jodoh yang Baik – Keputusan untuk memilih pasangan hidup termasuk keputusan yang bisa benar dan bisa juga keliru, mungkin tepat atau meleset, karena semua keputusan berada di tangan Allah. Namun demikian, kita harus tetap berusaha untuk melakukan berbagai upaya dan memilih pasangan hidup dengan baik sekiranya itu sesuai dengan akal kita dan menarik perasaan kita.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan dan kebahagiaan, atau kegagalan dan kesengsaraan pernikahan. Untuk itu, saat memilih pasangan hidup, kita harus mengambil faktor-faktor kesuksesan dan menjauhi faktor-faktor kegagalan yang mengakibatkan kesengsaraan dalam pernikahan. Adapun faktor-faktor yang dimaksud antara lain:

  1. Menjalankan Agama, Baik dalam Bentuk Perkataan maupun Perbuatan

      Laki-laki ataupun perempuan yang taat beragama dan berakhlak baik terhadap Rab-nya maupun sesama manusia juga akan bersikap seperti itu terhadap pasangannya dan akan mengakui jasa-jasa pasangannya. Pernah ada seseorang bertanya kepada Hasan bin ‘Ali radhiyallahu’anhu, “Aku punya seorang anak perempuan dan ia dipinang sejumlah lelaki. Menurutmu siapa yang akan aku nikahkan dengan anakku?” Hasan bin ‘Ali radhiyallahu’anhu menjawab, “Nikahkan anakmu dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah. Karena jika ia mencintai anakmu, ia pasti memuliakannya. Dan jika ia membenci anakmu, ia tidak akan mendzaliminya.”

      Persoalan taat beragama yang hakiki adalah persoalan yang tidak tampak, karena hakikat agama lebih berkenaan dengan hati daripada penampilan lahir. Untuk itu, saat memilih pasangan hidup, kita harus mencari hakikat agama pada dirinya dengan menjadikan serangkaian perilaku dan interaksi seseorang sebagai bukti dan panduan untuk mengetahui bagus-tidaknya agama calon pasangan hidup.

      Islam menjadikan persoalan taat beragama sebagai asas pertama dalam memilih pasangan. Rasulullah bersabda,

,خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ

”Sebaik-baik isteri adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika engkau menyuruhnya, serta menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”[1]

      Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah’ anhu, dari Nabi, beliau bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”[2]

  • Keluarga yang Baik sebagai Tempat Seseorang Tumbuh dan Berkembang

Tumbuh kembang seseorang di tengah keluarga yang baik dan harmonis bersama kedua orang tuanya pada masa kecil dan remaja, termasuk salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam pernikahan. Seseorang yang seperti ini mampu merasakan kokohnya hubungan pernikahan di antara kedua orang tuanya.

Keluarga yang baik bukan berarti keluarga yang kaya atau keluarga yang besar. Yang dimaksud keluarga yang baik adalah anak berada dalam lindungan kedua orang tua yang baik, menumbuhkan mereka berdua di atas landasan agama dan akhlak, keduanya menjadi teladan bagi anak-anak dalam berakhlak baik terhadap keluarga maupun orang-orang di sekitarnya. Nabi bersabda, “Jauhilah oleh kalian tanaman hijau nan kotor.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah tanaman hijau nan kotor itu?” Beliau menjawab, “Wanita cantik ditengah keluarga yang tidak baik.” (HR. Ad-Daruquthuni)

Terkait dengan persyaratan ini, minimal seseorang memiliki pertimbangan untuk tidak memilih pasangan hidup dari kalangan keluarga yang secara terang-terangan memperlihatkan kemaksiyatan, merasa bangga mendzalimi orang lain, meremehkan agama ataupun nilai-nilai kemasyarakatan. Sebab, jika tetap menikahi pasangan hidup dari keluarga seperti ini, ia mungkin saja akan mengikuti mereka sehingga ia menjadi rusak, dan begitu juga dengan keluarganya, atau kehidupan pernikahan keduanya akan berujung pada kegagalan.

  • Sifat Dasar

Saat memandang asal usul seseorang, kita harus memandang bahan dasarnya. Bahan dasar maksudnya adalah hal-hal yang memenuhi sifat-sifat insani yang baik. Singkat kata, seorang laki-laki harus mencari wanita yang baik, dan seorang wanita harus mencari seorang laki-laki yang baik. Perhatikan ketika Abu Talhah-saat masih musyrik dan kafir-ketika meminang seorang Muslimah bernama Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Talhah! Demi Allah, lelaki sepertimu tak patut ditolak oleh siapapun. Tetapi kamu ini lelaki kafir sedangkan aku wanita Muslimah. Aku tidak boleh menikah denganmu. Jika kamu bersedia masuk islam, itulah maharku.”

Arti dari ungkapan wanita cerdas ini adalah lelaki yang datang meminangnya itu memiliki sifat-sifat (dasar) insani yang didambakan oleh setiap wanita. Akan tetapi, Ummu Sulaim menolak karena Abu Thalhah masih kafir. Singkat kata, yang dulu kita cari adalah siapa orangnya.

  • Akhlak

Kita dapat mengetahui asal usul seseorang laki-laki maupun perempuan melalui akhlaknya. Sebab, akhlak yang baik merupakan buah dari asal usul yang baik dan agama yang baik dan benar. Sebaliknya, akhlak yang buruk merupakan buah dari asal usul yang buruk dan agama yang dusta atau batil. Karena itu Allah berfirman,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nuur: 26)

Ada baiknya jika seorang suami berusia lebih tua satu hingga sepuluh tahun dari istri. Sebab, kemungkinan-kemungkinan perceraian semakin meningkat ketika usia istri lebih tua dari suami, atau suami lebih tua sepuluh tahun dari istri. Semua itu terjadi akibat tidak adanya keserasian dalam hal seksual dan pemikiran diantara keduanya.

Kedekatan usia antara suami istri membuat kecenderungan dan pemikiran di antara keduanya serasi dan mirip. Lain halnya ketika usia di antara suami istri terpaut jauh, tentu tidak mudah untuk mewujudkan keselarasan, atau ketika mengatasi perselisihan guna mencapai solusi terbaik yang bisa diterima oleh kedua belah pihak.

  • Sekufu dalam Hal Pendidikan, Keyakinan, dan Latar Belakang Sosial

Saat memilih pasangan hidup, ada baiknya memperhatikan kesamaan keyakinan, pandangan hidup, latar belakang pendidikan dan peradaban. Sebab, kemungkinan keberlangsungan pernikahan akan semakin meningkat ketika suami-istri berasal dari satu masyarakat yang sama. Keduanya memiliki kesamaan keyakinan, pendidikan, tingkat peradaban, perekonomian, dan faktor-faktor lain yang membuat keduanya memiliki kesamaan dalam kebiasaan, tradisi, gaya hidup, pola pikir dalam persoalan sosial, pendidikan, dan keagamaan.

  • Kematangan Kepribadian dan Kemampuan untuk Memikul Tanggung Jawab

Keharmonisan pernikahan bertumpu pada kematangan kepribadian suami-istri dan kemampuan mereka berdua dalam memikul tanggung jawab kehidupan. Oleh sebab itu, sebelum mengambil keputusan menikah ada baiknya untuk terlebih dahulu mengetahui kepribadian calon suami-istri, bagaimana sikapnya dalam menjalankan kewajiban, tanggung jawab kerja dan keluarga serta menanyakan tentang teman-temannya, termasuk hubungannya dengan kedua orang tua dan keluarganya.

Laki-laki atau perempuan yang matang secara emosional, ia akan menjadi suami atu istri yang sukses. Ia mampu mengontrol diri ketika marah, dan mampu menjalankan tanggung jawab keluarga.

  • Harta, Kecantikan, dan Keturunan

Kecantikan atau ketampanan, harta, dan keturunan yang baik dianjurkan untuk dimiliki suami-istri. Karena sesuai tabiatnya, manusia menyukai dan menginginkan kecantikan atau ketampanan. Ketika ia mendapatkan kriteria itu, ia menjadi tenang dan bahagia. Sebab, “Allah itu Maha-indah dan menyukai keindahan”. Untuk itu, Islam tidak menghapus kriteria kecantikan ketika memilih calon istri, karena kecantikan merupakan kunci penerimaan, kerelaan, dan kepuasan perasaan.

Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Nabi, beliau bersabda,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَـاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.”[3]

Ketika Mughirah bin Syu’bah hendak meminang dan memberitahukan prihal tersebut kepada Rasulullah beliau mneasihatkan kepadanya, “Pergilah lalu lihatlah dia, karena (melihat calon istri) lebih patut untuk melanggengkan di antara kalian berdua.” Maksudnya, akan lebih melanggengkan cinta kasih dan pergaulan mereka berdua setelah kamu merasa kagum padanya.

Salah satu syarat yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan dan tidak diperdebatkan semua orang adalah syarat kekayaan bagi orang yang hendak menikah. Batas minimal kekayaan adalah mencukupi segala kebutuhan dan melakukan kewajiban-kewajiban pernikahan.

Ulama menafsirkan hadits Rasulullah,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400)

الْبَاءَةَ maksudnya adalah nafkah-nafkah pernikahan dan kemampuan seorang laki-laki untuk menghidupi istri. Islam mensyaratkan keabsahan akad dan keberlangsungan pernikahan dengan kemampuan suami untuk memberi nafkah.

Disebutkan dalam hadits shahih bahwa nasab yang baik merupakan salah satu faktor yang mendorong laki-laki menikahi seorang wanita. Kemuliaan nasab tidak mengharuskan adanya harta ataupun kekayaan. Sebab, arti kemulian nasab yang baik adalah kemasyhuran, keluhuran, dan kepemimpinan.

Orang-orang, khususnya pada masa jahiliyah Arab, banyak yang masyhur dan mencapai puncak kemuliaan terbesar meskipun tidak memiliki harta, tetapi semata karena kemuliaan asal usul, sifat, dan akhlak mereka. Hatim Ath-Tha’I misalnya, ia adalah pimpinan kaumnya meskipun tidak kaya. Bani Hasyim berada di puncak kemuliaan dan nasab di antara kaumnya meski mereka tidak kaya secara harta. Bangsa Arab menjunjung tinggi akhlak, memerhatikan asal usul kabilah. Dan mengukur kemulian seseorang hanya dengan standar tersebut.

  • Menikahi Wanita dari Luar Keluarga

Sebaiknya seorang laki-laki memilih calon istri dari luar keluarga, terlebih jika ada riwayat penyakit-penyakit keturunan di keluarganya. Sejumlah penelitian menunjukkan tingginya rata-rata penyebaran penyakit, keterbelakangan mental dan jasmani akibat kelainan-kelainan genetik dalam pernikahan sesama kerabat.

  • Perawan atau Perjaka

Perawan atau perjaka termasuk salah satu kriteria yang diinginkan dalam pernikahan. Rasulullah sendiri menganjurkan sahabatnya menikahi gadis, seperti disebutkan dalam hadits dari Jabir dalam kitab Shahihain bahwa Rasulullah bertanya kepadanya, “Engkau sudah menikah Jabir?” Tanya Rasulullah. “Iya.” Jawab Jabir. “Perawan ataukah janda?” Rasulullah kembali bertanya. “Janda”. Jawab Jabir kemudian.

Nabi bertanya, “Kenapa tidak menikahi perawan saja? Engkau bisa bermain dengannya dan ia bisa bermain pula denganmu”. Jabir menjawab, “Aku ini memiliki saudari perempuan yang banyak. Aku menikahi janda agar ada wanita yang merawat, mengurusi dan menyisiri rambut mereka.” Nabi pun menasehati, “Adapun jika engkau telah sampai di rumah, maka kumpulilah istrimu, kumpulilah istrimu.” (HR. Al-Bukhari no. 2097 dan Muslim no. 1089).

Intinya, gadis merupakan salah satu kriteria yang disukai dan yang dicari. Kecuali jika ada pertimbangan-pertimbangan lain yang menguatkan, seperti pengakuan Rasulullah terhadap Jabir.

  1. Cinta

Banyak di antara mereka yang ingin menikah menyatakan betapa pentingnya cinta sebelum menikah. Sebagian di antara mereka bahkan menjadikan cinta sebagai syarat utama pernikahan yang sukses. Mereka menyebut pernikahan sebelum adanya cinta sebagai pernikahan yang gagal. Kata-kata ini bersumber dari hawa nafsu dan ketidaktahuan akan hakikat pernikahan, dan karakter kehidupan antara seorang laki-laki dan permpuan.

Tidak masalah manakala hati seorang lelaki menyukai seorang wanita manakala mendengar tentang sifat, akhlak, dan perangainya. Juga tidak perlu heran jika ada seorang wanita menyukai seorang lelaki yang ia lihat atau ia ketahui sifat dan peranngainya yang mendorongnya untuk menikahi lelaki tersebut. Akan tetapi, sama sekali tidak boleh adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, lebih dari mengenal sifat-sifat hakiki sebagai landasan untuk menikah. Hubungan yang membawa dosa yang terjadi sebelum pernikahan jelas menjadi faktor utama hancurnya faktor kebahagian pernikahan.

Cinta sempurna antara seorang laki-laki dan perempuan hanya akan terwujud setelah pernikahan. Sebab, dalam pernikahan itulah akan terbuka lebar kesempatan untuk saling berbagi manfaat, menerjemahkan ketulusan, kesetiaan, dan pengorbanan demi melayani pasangan dalam hal tindakan yang nyata. Sementara, sebelum menikah, pada umumnya cinta hanya sebatas kecenderungan naluri antara seorang laki-laki dan perempuan. Cinta semacam ini mungkin akan semakin membara oleh angan-angan dan mimpi-mimpi yang indah.

Angan-angan, ambisi, menampakkan pengorbanan dan ketulusan yang diberikan oleh laki-laki kepada perempuan atupun sebaliknya, sebelum menikah memang dapat menumbuhkan rasa cinta dan menguatkan kecenderungan hati. Akan tetapi, panasnya kehidupan, rutinitas dalam kehidupan pernikahan, dan lamanya pergaulan akan menghancurkan angan-angan dan ambisi besar tersebut jika kedua pasangan tidak memiliki pemahaman yang benar tentang makna khidupan pernikahan. Oleh sebab itu, hakikat cinta sejati hanya akan tumbuh setelah menikah.

Demikianlah yang bisa penulis sampaikan mengenai “Syarat-syarat Pemilihan Jodoh yang Baik” semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Semoga Allah melapangkan dada kita untuk meraih kebahagianan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mengdengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan doa.

Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber:

  • Kitab terjemahan Tuhfatul Arusain (Judul Terjemahan: Aku Terima Nikahnya) karya Syaikh Ahmad Muhammad Abdurrahim, Pustaka Istanbul, Jakarta: 1439 H/ 2018 M.

Diringkas oleh: Rika Kowasanda (pengajar ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)


[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari ‘Abdullah bin Salam. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 3299).

[2] HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1466) kitab ar-Radhaa’, Abu Dawud (no. 2046) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i.

[3] HR. Abu Dawud (no. 2082) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14176, 14455) dan menurut adz-Dzahabi, para perawinya tsiqat.

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.